Share

Tingkah Nakal Halwa

Apakah kau belum bersedia memaafkanku?" tanya Izzan menoleh ke arahnya.

"Aku sudah memaafkanmu, jadi lebih baik kau menjauh dari kami," jawabnya sedikit ketus.

"Sepertinya aku tidak bisa melakukan itu karena kau..." Izzan menjeda kalimatnya ketika mendengar sang kekasih memanggilnya.

Melihat dokter Halwa mendekati mereka maka itu kesempatan bagi Inayah untuk menjauhi Izzan, perempuan itu langsung melangkah masuk.

"I'm sorry dear, aku tak bisa menepati janji," tandas Halwa seraya memohon maaf.

Sebagai permohanan maafnya, maka gadis cantik berambut panjang itu langsung menggandeng sang kekasih untuk pergi dari rumah sakit, "Jujur saja aku sangat bosan sekali karena harus menangani banyak pasien malam ini," gumamnya sambil bergelayut manja di pundak Izzan.

"Itulah tugasmu sebagai dokter, Wa. Jadi kau tak perlu protes."

"Iya, sayang, malam ini kita makan malam di apartemenku saja, bagaimana?" tanya Halwa menoleh ke arah Izzan.

"Terserah kau saja, tapi sepertinya aku tak akan menginap karena besok akan ada pertemuan di sekolahku," jawabnya sambil membukakan pintu mobil untuk Halwa.

Halwa menganggukkan kepalanya bertanda setuju, meski terkadang Izzan menginap di apartemen kekasihnya namun sebagai cucu dari Al Fattah Shidiq, dia tahu batasan-batasan yang tak akan merugikan Halwa.

Hubungan keluarga Halwa dan Izzan memang sudah dekat sejak dulu. Setiba di apartemen, Halwa membuka pintu apaetemen dan mempersilahkan sang kekasih untuk masuk ke dalam.

"Kok sepi?! Kenapa Tante Hilda?" tanya Izzan kepada Halwa.

"Mama sedang pergi ke luar negeri beberapa hari untuk mengurus bisnisnya," jawab Halwa sambil menyodorkan segelass air putih kepada kekasihnya.

"Kau tunggulah di sini, aku akan memasak makanan yang enak untukmu."

Izzan hanya mengangguk pelan, menghempaskan pantatnya di sofa sambil menatap layar ponselnya. Untuk sesaat kemudian, Izzan menghela napas beratnya, "Maafkan aku, Kak? Aku belum bisa menyampaikan pesanmu kepada perempuan itu."

Pria tampan itu menggeser layar ponselnya dengan pelan menatap sebuah foto seorang pria yang tampan, matanya tiba-tiba saja berlinang melihat foto tersebut.

"Makanan sudah siap, ayo ke dapur sekarang, Zan." Halwa berteriak memanggil Izzan namun pria itu tak juga menghampirinya hingga membuat Halwa nampak heran apakah kekasihnya itu tertidur sehingga dia pun memeriksanya.

"Zan, ayo kita makan," ajaknya memanggil Izzan namun pria itu tak juga meresponnya hingga membuat Halwa mulai kesal dan berteriak. "Izzan.."

"Oh, ada apa, Wa?" ucap Izzan menoleh ke arah kekasihnya.

"Apa sih yang kau pikirkan hingga kau tak mendengar panggilanku?" tanya Halwa kesal.

"Aku hanya merindukan Kakakku," jawabnya beranjak dari duduknnya.

Mendengar Izzan menyebut kakak membuat Halwa paham betul siapa orang yang dirindukan oleh kekasihnya itu. "Aku paham tapi kau juga harus melanjutkan hidupmu, tidak baik bukan berlarut dalam kesedihan."

"Mari kita makan," ajnya smabil menarik tangan Izzan.

Gadis cantik itu mendudukkan Izzan di kursi makan seraya meletakkan sebuah piring di mejanya, "Apakah sudah cukup?" tanya Halwa melirik Izzan yang sedang menumpahkan nasi ke piring.

"Cukup, aku tidak ingin menjadi gendut nantinya," gurau Izzan tersenyum.

Suasana nampak senyap ketika mereka berdua melahap makan malam tersebut, sudah etrbiasa di dalam dua keluarga itu tak boleh makan sambil berbicara, setelahnya barulah Izzan bangun dari duduknya namun tangan Halwa menghentikannya.

"Zan, apakah kau akan serius dengan hubungan kita ini?" tanya gadis itu sangat penasaran.

"Tentu saja, mana mungkin aku tidak serius padamu."

"Kalau begitu..." Halwa beranjak dari duduknya dan langsung mendekati kekasihnya sembari menghempaskan pantatnya duduk dipangkuan Izzan.

Sontak saja hal itu membuat Izzan langsung bangun dan mendorong tubuh Halwa. "Apa-apaan kau, Wa?" ucapnya menaikkan sedikit ritme nada suaranya.

"Bukankah sebentar lagi aku akan menjadi istrimu jadi sangat wajar bukan bila aku bermanja padamu."

"Hubungan kita ini masih sekadar sepasang kekasih dan aku tidak mau menodai cinta kita ini," jawabnya ketus.

Melihat Izzan hendak membalikkan tubuhnya membuat Halwa spontan menarik tangannya. "Kau mau ke mana, Zan? Aku masih ingin berdua denganmu."

"Maaf, Wa. Sebaiknya aku pulang saja, terima kasih untuk makan malamnya."

Halwa berlari melihaat Izzan begitu cepat berjalan, menghadang langkahnya sambil bertanya sesuatu hal, "Apakah kau kecewa padaku, Zan?"

"Sepertinya aku tak perlu menjawabnya karena kau sudah tahu pasti jawabannya namun harus kau ingat satu hal, jika sikapmu begini terus maka jangan salahkan aku bila aku akan menjaga jarak denganmu."

"Tapi, Zan. Aku ing--" Belum menyelesaikan kaa-katanya, Izzan langsung menutup pintu apartemen dengan kasar.

Halwa menarik napas kasarnya, sejujurnya hal itu dia lakukan karena dia merasa cemburu dengan perlakuan Izzan kepada Inayah, dia tidak rela bila Izzan berpaling darinya karena seorang janda beranak satu itu.

"Aku tidak bisa tinggal diam bila kau terus berdekatan dnegan Inayah itu."

Sementara Izzan yang tengah duduk di dalam mobil memukul setir mobilnya, dia tidak menyangka bila Halwa akan melakukan hal serendah itu. "Kenapa Halwa berubah sejak berada di sini?" tanyanya dalam hati.

Meski bukan gadis yang begitu alim namun Izzan tahu betul bahwa Halwa adalah gadis yang baik dan selalu saja sopan. Dia mengenal Halwa itu bukan satu atau dua tahun. Bahkan mereka saling mengenal puluhan tahun jadi hal ini sungguh membuat Izzan sangat heran dengan sikap gadis itu.

Melajukan mobilnya menuju jalan pulang, Al Fattah terlihat tengah berdiri di depan pintu seraya mondar-mandir. Izzan tahu betul bahwa sang kakek sedang menunggunya. Mwndengar suara mobil si pria paruh baya itu berdehaam keras dan melontarkan banyak pertanyaan kepada Izzan.

"Kau dari mana saja? Jam segini baru pulang," tanya sang kakek nampak khawatir.

"Aku dari rumah sakit menjenguk Athar lalu makan malam bersama Halwa, Kek." Izzann selalu berkata jujur kepada sang kakek karena beliau yang mengajarinya sejak kecil.

"Tidak baik makan malam berdua sampai larut malam seperti ini," ucapnya mengingatkan.

"Iya, Kek. Aku paham."

Izzan hendak masuk ke dalam namun langkahnya terhenti ketika mendengar kakeknya bertanya tentang kondisi Athar.

"Alhamdulillah anak itu sudah siuman, Kek."

"Syukurlah kalau begitu, jadi kau tak perlu mendekam di penjara karena hal itu."

"Meski aku tidak mendekam di penjara namun aku akan tetap bertanggung jawab kepada Athar dan Inayah, Kek."

Sontak saja kalimat yang teerlontar dari mulut cucunya itu membuat Al Fattah Shidiq bertanya, "Bertanggung jawab? Maksudnya?"

"Aku akan membantu mereka sampai Athar dinyatakan benar-benar sembuh."

Pria paruh baya itu bernapas lega setelah mendengar jawaban cucunya sambil mengelus dadanya karena dia telah berpikir yang tidak-tidak. Hal itu tersorot oleh Izzan hingga dia pun bertanya, "Memangnya apa yang Kakek pikirkan?"

"Kakek pikir kau akan menikahi perempuan itu."

"Jika itu memang diperlukan maka akan aku lakukan," jawabnya membuat si kakek terbelalak kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status