Mendengar itu Inayah membulatkan matanya dengan sempurna, dia tidak menyangka bila pak guru itu akan berkata seperti itu hingga membuat Inayah bingung untuk menjawab, "Aku rasa aku tak perlu berkata dua kali padamu," kilahnya melirik sinis ke arah Izzan.
Namun, sebagai pria yang penuh tanggung jawab Izzzan berusaha menghentikan langkah Inayah. "Aku tak akan lupa tanggung jawabku jadi aku harap kau mau mengijinkanku bertemu dengan Izzan, mau bagaimana pun dia itu adalah muriku di sekolah." Inayah menghela napas kasarnya, dia tak tahu lagi apaa yang harus dia katakan agar Izzan mau mengerti karena pria itu sudah pasti sangat keras kepala, meskipun beberapa kali dia mengusuir Izzan. Dia selalu saja datang mengunjungi Athar, "Terserah kau saja." Melihat hal itu Halwa yang baru saja keluar dari ruang rawat anak berjalan menghampiri Izzan, "Zan, bolehkah kita bicara sebentar?" tanyanya menatap sang kekasih."Apa yang ingin kau bicarakan?" ucap Izzan balik bertanya."Mengapa kau begitu perhatian sekali pada perempuan itu? Bukankah tindakanmu ini melebihi batas," sindirnya mengingatkan sang kekasih."Kau salah paham, Wa. Aku hanya menunjukkan rasa tanggung jawabku saja sebagai tersangka." Izzan menoleh ke arah Halwa seraya menatap kekasihnya begitu lekat, "Aa kau cemburu ya?" tebaknya tersenyum tipis."Tentu saja aku cemburu karena perlakuanmu itu akan membuat si perempuan itu salah paham nantinya.""Kau terlalu berlebihan, Wa. Kau adalah satu-satunya kekasihku kok." Izzan menyentuh jemari Halwa sambil menggandeng sang kekasih untuk ke taman rumah sakit. Di situ Izzan menjelaskan dan meminta waktu kepada kekasihnya agar Halwa memakluminya keadaaannya saat ini. "Mungkin untuk satu bulan ini kita akan jaranag jalan bersama atau makan bersama, tetapi aku melakukan itu karena aku ingin fokus dengan kesembuhan Athar, mau bagaimanapun anak itu adalah muridku." Izzan menoleh ke arah Halwa yang tengah termenung sambil menyentuh jemarinya, pria itu berkata, "Aku harap kau memaklumi ini, Wa.""Jujur saja, aku tidak ingin kau terlalu memerdulikan ibunya Athar. Sebagai kekasihmu sangat pantas bukan bila aku cemburu padanya namun aku tak bisa mealrang kau untuk membantu kesembuhan anak itu.""Aku tahu kau adalah perempuan yang baik sekaligus dokter anak terbest deh," guraunya tersenyum kecil."Bagaimana kalau malam ini kita makan bersama di restoran langganan kita?""Malam ini?! Baiklah," jawab Izzan mengangguk setuju. Betapa bahagianya Halwa saat itu, tetapi siapa sangka rencana mereka harus gagal karena Halwa yang disuruh lembur malam itu. Sementara Izzan yang sudah lama menunggu Halwa dan dapat kabar itu pun merasa jengah, sejak tadi dia duduk di depan ruangan tunggu guna menunggu sang kekasih. Terlanjur ada di rumah sakit, Izzan teringat dengan Athar dan berniat untuk menjenguk anak itu. Berdiri tepat di depan pintu ruang rawat anak kecil itu, hanya mengintip dari jendela kaca dan memastikan bahwa Athar bik-baik saja."Lho kenapa diluar, ayo masuk," tawar seorang perempuan itu menatap Izzan. Seingatnya itu adalah ibunya Inayah, "Tidak, Bu. Aku tidak ingin menganggu Inayah," jawabnya menolak karena teringat dengan kata-kata ibunya Athar."Tidak apa-apa, ayo masuk," ajak si ibu seraya menarik tangan Izzan. Mendengar pintu berderit Inayah menoleh ke arah pintu sambil mengernyitkan dahinya ketika medapati sang ibu bersama dengan pria yang enggan untuk ditemuinya. "Bu, kok bisa bersama Izzan?" tanya Inayah heran."Tadi Nak Izzan ada di depan pintu jadi Ibu menyuruhnya masuk," jawab ibu Intan sembari menoleh ke arah Izzan dan mempersilahkannya duduk."Terima kasih, Bu." Izzan membungkukkan badannya kepada Intan seraya hormat kepada Intan. Sementara Athar yang baru saja membuka matanya menatap Izzan begitu bahagia, "Pak Guru," sapanya tersenyum."Iya, Bapak datang ke sini ingin melihat keadaan iron man di sekolah sudah sehat apa belum ya?" guraunya melirik Athar."Pak Guru tenang saja, Iron man sebentar lagi akan sembuh kok," jawabnya begitu bersemangat. Inayah berjalan mendekati Athar sambil membawa sepiring nasi, "Ayo sayang makan dulu yuuk," bujuk Inayah kepada anaknya."Athar tidak mau makan, Bu. Athar kenyang." Nampak jelas sekali bahwa Athar tak mau makan, dengan susah payah Inayah membujuknya namun sang putera masih tetap bersikukuh untuk tidak mau makan. Izzan yang melihat itu pun mulai berinisiatif, dia menyambar piring yang dipegang Inayah, "Athar, anak yang sholeh 'kan? Tidak ingin Ibunya sedih 'kan? Pak Guru yakin deh kalau Atahr makan maka iron bisa cepet sembuh." Berbagai bujukan dilakukan oleh Izzan, dia berusaha untuk membuat muridnya itu makan karena Athar harus minum obat, meski sudah sadar namun kondisinya masih begitu lemah."Pak Guru sangat senang sekali kalau iron man Atharr mau makan dan besok Pak Guru janji akan membelikan Atahar mainan kalau Athar mau makan.""Beneran Pak Guru mau membelikan Atahr mainan?""Iya, dong. Pak Guru janji." Akhirnya dengan bujukan seperti itu, Athar mau makan dan disuapi oleh Izzan. Melihat dua orang itu nampak begitu akrab membuat ibu Intan tersenyum tipis, "Kau lihat Inayah, Izzan itu adalah pria yang baik dan juga bertanggung jawab," ucap Intan mengingatkan puterinya."Tentu saja dia harus bertanggung jawab karena ini merupakan tanggung jawabnya." Inayah menjawab ketus, dia benar-benar tak suka dengan Izzann namun ada sesuatu hal yang aneh dari Athar. Selama ini sudah cukup banyak pria yang mau mendekati Inayah namun tak sedikitpun Athar akrab seperti itu, jangankan mau berbicara, menyapa saja dia enggan."Kau lihat Nyah. Baru kali ini Athar akrab sama seseorang," ungkap ibu Intan berbisik pelan."Itu pasti karrena Izzan adalah gurunya," jawab Inayah ketus. Ibu Intan tersenyum kecil mendengarkan jawaban Inayah, dia tahu bahwa ibunya Atharr itu membenci Izzan namun berbandingtebalik dengan Intan. Sejak pertma ki bertemu pria itu, beliau sangat menyukai Izzan. Dia yakin sekali bahwa Izzan itu pria yang baik. Setelah menyuapi Athar makan, Izzan juga membujuk anak itu untuk meminum obat. Menemani Athar sambil menceritakan sebuah cerita dan tak lama Athar pun tertidur. Beranjak dari duduknya Izzan berpamitan karena dia rasa tugasnya sudah selesai. Ketika hendak berpamitan, Izzan dibuat terkejut ketika ibu Intan mengatakan sesuatu hal, "Kau sudah sangat pantas sekali menjadi ayahnya Athar." Izzan dan Inayah terkejut mendengar itu, dengan spontan Inayah protes. "Apa yang Ibu katakan? Athar tak akan memiliki ayah.""Lagian Pak Guru juga sudah memiliki kekasih kok, iya 'kan, Pak." Inayah menoleh ke arah Izzan agar pria itu menganggukkan kepalanya. Pria tampan itu pun menganggukkan kepalanya, melihat Inayah yang bergegas menarik tangannya membuat Izzan mulai heran. "Apa yang Ibu katakan tadi jangan dimasukkan hati ya? Lagian aku sudah pernah bilang kau tak usah menjenguk Athar lagi."Apakah kau belum bersedia memaafkanku?" tanya Izzan menoleh ke arahnya."Aku sudah memaafkanmu, jadi lebih baik kau menjauh dari kami," jawabnya sedikit ketus."Sepertinya aku tidak bisa melakukan itu karena kau..." Izzan menjeda kalimatnya ketika mendengar sang kekasih memanggilnya. Melihat dokter Halwa mendekati mereka maka itu kesempatan bagi Inayah untuk menjauhi Izzan, perempuan itu langsung melangkah masuk. "I'm sorry dear, aku tak bisa menepati janji," tandas Halwa seraya memohon maaf. Sebagai permohanan maafnya, maka gadis cantik berambut panjang itu langsung menggandeng sang kekasih untuk pergi dari rumah sakit, "Jujur saja aku sangat bosan sekali karena harus menangani banyak pasien malam ini," gumamnya sambil bergelayut manja di pundak Izzan."Itulah tugasmu sebagai dokter, Wa. Jadi kau tak perlu protes.""Iya, sayang, malam ini kita makan malam di apartemenku saja, bagaimana?" tanya Halwa menoleh ke arah Izzan."Terserah kau saja, tapi sepertinya aku tak akan meng
Sang kakek benar-benar terkejut mendengar itu hingga dia pun spontan bertanya, "Apa kau yakin akan siap menikahi seorang janda?" Izzan tersenyum geli, "Mana mungkin Inayah mau sama aku, Kek. Sekarang saja dia begitu ketus padaku, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab seorang yang telah bersalah maka aku akan tetap memantau mereka dari jauh.""Sikapmu yang seperti ini mengingatkanku dengan kakakmu, andai saja dia masih..." Al Fattah Shidiq tak mampu melanjutkan kata-katanya, mata pria renta yang sudah beruban itu berlinang, seolah dia sedang mengingat sesuatu hal yang sedih. Tangan kekar Izzan menyentuh pundak kakeknya, "Aku tahu itu, Kek. Namun, ada sebuah tanggung jawab lain yang harus aku laksanakan karena aku sudah terlanjur janji padanya.""Apa maksudmu?"*** Inayah nampak menyunggingkan sebuah senyuamn tipisnya ketika dia melihat sang putera sudah mulai ceria lagi, meski harus menggunakan kursi roda namun terlihat jelas bahwa kondisi Athar semakin membaik. "Bu, kena
"Bukankah kenyataannya seperti itu? Awalnya dahulu aku yang ingin mengajakmu menikah namun kau masih melanjutkan studymu di luar negeri dan sekarang aku baru saja merintis yayasan kakekku, kau malah mau minta dinikahi, maaf untuk sekarang aku belum siap!" Sebenarnya Izzan sengaja mengatakan itu agar Halwa mengerti posisinya sekarang. Izzan juga ingin menepati janji dahulu sebelum dia menikah, tanpa ragu pria tampan itu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke belakang meski Halwa terus saja memanggilnya. Sebelum meninggalkan rumah sakit itu, Izzan berkeinginan untuk melihat Athar terlebih dahulu. Bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawabnya saja namun entah kenapa Izzan sangat menyukai anak itu, rasanya sehari tidak bertemu saja dia merindukannya. Langkahnya terhenti tatkala dia mengintip Athar dari jendela kamarnya, sepertinya anak itu sedang merajuk dan tidak mau minum obat membuat Izzan tak bisa menahan dirinya untuk menemuinya dan berjalan masuk."Selamat siang Iron man
"Maaf menganggu! Bolehkah aku masuk?" tanya seorang gadis cantik yang mengenakan jas berwarna putih."Silahkan," jawab ibu Intan dan Inayah bersamaan. Setelah memeriksa kondisi Athar, dokter cantik itu pun mengatakannagar Athar tetap istirahat, "Jika kamu terus makan yang banyak dan minum obat rutin maka Athar bisa cepet sembuh, terus bisa bermain Iron man lagi ya sama pak guru.""Apakah Bu Dokter mengizinkan pak guru main bersamaku?" tanya Athar spontan."Boleh dong, asal Athar cepat sembuh ya," jawabnya sambil mengelus rambut Athar lembut. Halwa pun pergi dari ruangan Athar, tak lupa juga dia berpamitan dan bersikap ramah kepada Inayah dan juga ibunya. Mendengar percakapan Inayah tadi membuat Halwa masuk ke ruangannya langsung dan terduduk lemah, dia mengingat dirinya yang hanya memiliki ibu tunggal."Melihat Athar, aku teringat dengan mama." Awalnya Halwa begitu tak senang denagn Inayah namun mendengar kisah beliau yang hanya menjadi ibu tunggal membuat Halwa sedikit luluh. Juju
Ketika pintu berderit, sontak saja Izzan langsung menunjukkan diari tersebut. "Apakah ini milikmu?" tanya Izzan dengan tatapan dalam. Melihat cover diari itu berwarna biru tentu saja Inayah langsung menganggukkan kepalanya. Entah angin dari mana dan keberanian mana tiba-tiba saja Izzan langsung memeluk Inayah dengan erat."Akhirnya aku menemukanmu," ucapnya berulang kali. Spontan saja Inayah merasa risih dan tak nyaman dengan tindakan Izzan yang asal saja memeluknya. Dengan kasar perempuan itu langsung mendorong tubuh Izzan namun tenaga pria tampan itu begitu kuat membuat Inayah sulit melepaskan pelukan Izzan. Amarah perempuan berhijab itu mulai memuncak hingga dia mulai mengepalkan jemarinya kesal dan memukul bahu Izzan dengan keras."Apa yang kau lakukan?" teriak Inayah histeris. Baru sadar apa yang dilakukannya itu salah maka Izzan langsung melepaskan pelukannya, "Maafkan aku, Naya," ucapnya datar. Tatapan begitu dalam pun diarahkan kepada Inayah."Berani sekali kau mem
Di situ dokter menjelaskan bahwa Athar memiliki gejala penyakit serius namun hal itu harus dipastikan dengan sebuah tes darah dan juga tes seluruh tubuhnya. Gejala awal terlihat sekali bahwa wajah anak begitu pucat, ada memard di sekitar tubuh tertentu."Semoga saja ini hanya gejala awal jadi bisa ditangani," ujarnya sambil melangkah pergi dari hadapan Inayah. Bagaikan kilat yang menyambar di siang bolong, perempuan itu terduduk lemah di kursi tunggu, "Ini tidak mungkin! Mana mungkin Athar mengalami penyakit serius," gumamnya meneteskan air mata. Sementara Izzan yang melihat itu langsung mendekati Inayah, "Semoga saja hal itu tak terjadi pada Athar," gumamnya sambilmenyentuh pundak Inayah lembut."Semoga saja," jawabnya pelan sambil menyeka air matanya. Ketika melihat Athar sudah siuman dari pingsannya, perawat memanggil Inayah karena anak itu terus saja menangis, "Athar kenapa menangis?" tanya Inayah menghampirinya dan duduk di sampingnya."Kepala Athar pusing sekali, Bu,
Ada keheningan yang cukup lama tercipta setelah Inayah mengajukan pertanyaannya kepada Halwa. Halwa bingung harus menjelaskan segalanya dari mana sebab dia khawatir kalau Inayah akan terkejut saat mendengar sesuatu yang ingin dia katakan. Halwa tersenyum sopan. “Bisakah Anda ikut denganku ke ruanganku?” tanya Halwa.“Bisa, Dok,” jawab Inayah sambil menganggukkan kepalanya. Jantung Inayah berdegup dengan kencang seiring dengan kakinya yang melangkah menuju ke ruangan Halwa. Firasat seorang ibu tidak pernah ingkar. Dan saat ini, entah kenapa Inayah memiliki firasat jika hal buruk akan didengar olehnya. Berulang kali dia berusaha untuk mengenyahkan pikiran tersebut. Namun, semakin dia mencoba, dia justru semakin tidak bisa berpikir positif.“Silakan duduk, Inayah,” ucap Halwa, mempersilakan Inayah duduk di salah satu kursi di ruangannya. “Suster, bisakah kau ambilkan hasil CT Scan pasien yang bernama Athar?” Seorang perawat yang memang berada di ruangan dokter untuk membantu
“Athar sudah lama mengidap kanker. Tapi, karena tidak pernah melakukan medical check up sebelumnya jadi baru terdeteksi sekarang,” jelas Halwa menerangkan. Inayah spontan terdiam, tidak menyangka jika penyakit itu sudah lama diderita oleh Athar. Inayah menyandarkan tubuhnya dengan lemah di sandaran ranjang rumah sakit. Wanita itu memegangi pelipisnya yang terasa semakin pusing. Dadanya terasa begitu sesak sekali ketika dia mendengar penjelasan dari Halwa. Hatinya hancur berkeping-keping tatkala membayangkan penderitaan yang dirasakan oleh putranya. Tapi, kenapa dia baru tahu tentang hal ini sekarang? Itulah yang ada di pikirannya saat ini.“Jadi, Athar memang sudah lama mengidap leukimia?” tanya Izzan, untuk memastikan lagi. Ada perasaan lega yang menyelimuti hatinya sebab dia bukanlah penyebab penyakit Athar. Namun, ada juga kepedihan yang menguasai kepalanya tatkala membayangkan rasa sakit yang dialami oleh Athar. Anak sekecil itu tidak seharusnya mengidap penyakit parah sep