Ruang megah itu masih dipenuhi keheningan.
Arcelia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, begitu keras hingga dia hampir yakin semua orang di ruangan ini bisa mendengarnya.
Satu per satu, sembilan pangeran yang berdiri di hadapannya bergerak maju.
Langkah mereka tenang, penuh percaya diri, seolah sudah terbiasa mengendalikan segalanya. Ada aura mengintimidasi yang begitu alami terpancar dari mereka, mengingatkan Arcelia bahwa meskipun mereka kini dalam wujud pria rupawan, mereka tetaplah monster.
Mereka tidak sepenuhnya manusia.
Dan sekarang mereka adalah suaminya. Tunggu, apa tidak salah? Tidak adakah yang bisa menjelaskan semua ini apa maksud dari ‘suami’ di sini?
Arcelia menguatkan dirinya saat pangeran pertama mendekat.
Dia adalah pria dengan mata keemasan dan rambut sehitam malam—dialah naga hitam tadi. Dengan gerakan anggun, dia meraih tangan Arcelia, membungkuk sedikit, dan menekan bibirnya pada punggung tangannya.
Sentuhannya panas, membuat Arcelia nyaris tersentak.
"Sebuah kehormatan," suaranya dalam dan beresonansi, seolah membawa jejak api yang masih menggelegak di dalam dirinya.
Setelah dia mundur, pangeran kedua melangkah.
Si serigala perak.
Sorot matanya tajam, nyaris menguliti, membuat bulu kuduk Arcelia berdiri sebelum dia bahkan menyentuhnya. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum samar saat dia menggenggam tangan Arcelia, dan alih-alih mencium dengan sopan seperti kakaknya, dia menelusuri jemari Arcelia dengan ibu jarinya sebelum akhirnya menekan bibirnya di sana—lembut, namun terasa lebih seperti tanda kepemilikan daripada kesopanan.
Arcelia merasakan udara di sekitarnya semakin menekan.
Pangeran ketiga—sang iblis bertanduk—mendekat dengan ekspresi dingin, nyaris tanpa emosi. Dia tidak berkata apa pun saat mencium punggung tangan Arcelia, tetapi mata merahnya seakan menguliti jiwanya.
Arcelia mulai merasa ada pola dalam interaksi mereka.
Namun begitu pangeran keempat melangkah maju, pola itu hancur.
Sang elf berambut perak tidak hanya mencium punggung tangannya, tetapi dia juga membiarkan bibirnya sedikit terbuka, memberikan sensasi hangat yang membuat Arcelia refleks menarik tangannya.
Pangeran itu tersenyum tipis. Sylas yang pandai memanipulasi.
"Maaf," katanya dengan nada yang jelas tidak menunjukkan penyesalan. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kulit Yang Mulia terasa sama lembutnya dengan yang terlihat."
Arcelia menegang.
Saat berikutnya, pangeran kelima—si orc besar—menggenggam tangannya, mencium punggungnya dengan kasar, seolah tidak terbiasa dengan kelembutan.
Kemudian, pangeran keenam mendekat—sang goblin.
Arcelia sudah bersiap untuk ciuman biasa, tapi begitu bibir pangeran itu menyentuh kulitnya, sesuatu yang dingin dan basah menjilat punggung tangannya.
Arcelia tersentak.
Dia hampir menarik tangannya secara refleks, tetapi genggaman pangeran itu erat.
"Tidak perlu takut, Yang Mulia," kata pangeran goblin dengan nada licik. "Aku hanya ingin menikmati aroma ratu kami sedikit lebih lama."
Arcelia menggigil ngeri.
Dia menahan napasnya saat pangeran ketujuh, kedelapan, dan kesembilan mendekat secara bergantian.
Masing-masing dari mereka memiliki cara tersendiri untuk menyentuhnya, tetapi ada satu kesamaan yang tidak bisa Arcelia abaikan—mereka semua menunjukkan minat.
Bukan hanya ketertarikan fisik, tetapi sesuatu yang lebih dalam.
Seolah mereka melihatnya sebagai teka-teki yang harus dipecahkan, atau mungkin… sesuatu yang harus dimiliki.
Arcelia mulai merasa sesak.
Dia harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah dunia manusia.
Di dunia ini, perasaan manusia tidak selalu menjadi pertimbangan utama.
Dan kini, dia harus mencari cara untuk bertahan.
Tapi bagaimana caranya?Apakah dia harus melayani mereka semua?
Apakah ada cara lain bagi iblis untuk berkembang biak selain melalui persetubuhan?
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin resah. Oh, tidak!! Jika itu benar, itu bukan hal yang baik. ‘Tidak adakah yang bisa menjelaskannya padaku?’
Namun, lebih dari segalanya, ada sesuatu dalam tatapan para pangeran ini yang membuatnya semakin waspada.
Mereka bukan hanya pria tampan yang kini menjadi suaminya.
Mereka adalah monster yang penuh rahasia.
Dan masing-masing dari mereka… memiliki motif tersembunyi.
Arcelia memasang alarm dalam dirinya.
Dia harus berhati-hati.
Sebab meskipun dia kini bergelar Ratu, bukan berarti dia benar-benar berkuasa di antara para iblis ini. Dan dia tidak merasa kalau dirinya seorang iblis. Dia tetap manusia yang memiliki batasan moral.
Arcelia berdiri di tengah ruangan megah, tubuhnya masih terasa kaku dengan jubah merah darah yang menyelimuti tubuhnya. Cahaya dari ribuan lilin yang tergantung di langit-langit melayang seperti bintang-bintang yang berpendar, memberikan nuansa mistis yang seakan semakin menekankan bahwa tempat ini bukanlah dunia manusia.
Tatapan sembilan pangeran iblis itu masih tertuju padanya.
Mereka tidak berbicara, hanya berdiri dalam keheningan yang nyaris menyesakkan. Namun, dalam tatapan mereka ada banyak hal yang tersembunyi—keingintahuan, ketertarikan, dan sesuatu yang lebih dalam yang belum bisa Arcelia pahami.
Di antara kesembilan pangeran itu, tiga di antaranya menarik perhatian Arcelia lebih dari yang lain; Naga, Srigala dan Vampir.
Naga dengan rambut hitam keemasan itu berdiri tegap, posturnya tinggi dengan bahu yang lebar dan tubuh yang terlihat begitu kuat. Sorot matanya tajam seperti mata elang, memancarkan aura keagungan yang menekan siapa pun yang berada di dekatnya.
Kaelthor—sang naga hitam.
Arcelia bisa merasakan hawa panas samar yang menguar dari tubuhnya, seperti sisa-sisa bara api yang tersembunyi di balik permukaan tenang. Dia bukan pria yang suka bicara, tapi tatapannya cukup untuk mengungkapkan segalanya.
Penguasa api dan langit yang sombong serta penuh dominasi.Saat dia berjalan mendekat, langkahnya penuh percaya diri, auranya begitu kuat hingga udara di sekitar Arcelia terasa lebih berat.
"Ratu," suaranya dalam dan bergemuruh, seolah berasal dari kedalaman bumi. "Aku tidak tahu apakah kau harus merasa beruntung atau justru celaka."
Dia meneliti wajah Arcelia, mata keemasannya menyelidik seakan ingin menembus hingga ke dasar jiwanya.
Ada sesuatu yang mendebarkan dalam tatapan itu.
Seolah dia adalah raja yang terbiasa mendapatkan apa pun yang dia inginkan—dan kini, dia menginginkan Arcelia.
Sang Serigala: Kael, Pangeran Bulan yang Liar dan MenggodaKael—sang serigala perak.
Tatapannya tajam dan penuh perhitungan, bibirnya yang sedikit melengkung dalam seringai jahil memperlihatkan taring samar yang mengintip di sudut bibirnya.
Pemburu bayangan yang senang bermain-main dengan mangsanya.Tidak seperti naga yang terkesan keras dan mendominasi, Kael lebih santai, tetapi ada sesuatu dalam caranya bergerak yang membuat Arcelia tetap waspada.
"Jangan terlalu tegang, Ratu," katanya dengan suara rendah yang terdengar sedikit menggoda. "Kami tidak akan menggigit… kecuali jika kau menginginkannya."
Dia mendekat, terlalu dekat.
Aroma khas hutan dan tanah basah menguar dari tubuhnya, seolah dia baru saja kembali dari perburuannya di tengah malam.
Arcelia menahan napas ketika jari-jari Rael terulur, menyentuh dagunya dengan gerakan santai, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar keisengan.
"Matamu terlalu polos," bisiknya, menyelidik dalam iris mata Arcelia yang jernih. "Aku penasaran, berapa lama kepolosan itu bisa bertahan di tempat ini?"
Arcelia mengertakkan giginya, menepis sentuhannya. Kael hanya terkekeh pelan, seolah dia menikmati reaksinya.
Dia bukan pria yang akan memaksa—tidak seperti naga—tapi dia juga bukan pria yang akan melepaskan sesuatu yang menarik perhatiannya.
Dan kini, Arcelia telah menarik perhatian itu.
Sang Vampire: Lucien, Pangeran Malam yang Ramah dan MisteriusArcelia tidak menyangka akan menemukan satu di antara mereka yang terlihat ramah, tetapi saat pria dengan rambut hitam kebiruan itu melangkah maju, dia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari yang lain.
Lucien—sang vampir malam.
Pria yang penuh kelembutan, tapi menyimpan sesuatu di balik senyumnya.Berbeda dengan yang lain yang penuh dominasi dan godaan, Lucien tersenyum tipis, membungkuk sedikit dengan sikap sopan yang lebih mirip seorang bangsawan sejati.
"Tidak perlu takut, Yang Mulia," suaranya lembut, tetapi dalam. "Kami mungkin monster, tetapi kami tahu bagaimana memperlakukan Ratu kami."
Dia mengambil tangan Arcelia dengan gerakan anggun, menempelkan bibir dinginnya pada punggung tangannya dengan penuh kelembutan.
Tidak ada tekanan.
Tidak ada ketergesaan.
Hanya sentuhan yang dingin seperti embun malam, tetapi justru karena itu Arcelia bisa merasakan bahwa dia sangat berhati-hati.
Lucien tidak ingin menakutinya.
Tapi justru itulah yang membuat Arcelia semakin waspada.
Karena seseorang yang terlalu lembut di tengah lingkungan penuh monster bisa saja menyimpan rahasia yang paling berbahaya.
Kaelthor dengan dominasi dan keagungannya yang membuatnya ingin tunduk namun juga melawan.
Rael dengan kebebasan dan sifat liarnya yang tidak bisa ditebak.Lucien dengan kelembutan yang seakan menyelimuti, tetapi penuh misteri.Mereka berbeda, tetapi semuanya memiliki satu kesamaan—mereka tertarik padanya.
Dan itu membuat Arcelia tidak nyaman.
Dia bukan siapa-siapa sebelumnya.
Gadis sialan yang dibuang keluarganya, yang dianggap pembawa malapetaka.Tapi sekarang…
Dia adalah Ratu di dunia iblis.
Dan para monster ini—entah itu takdir atau kutukan—semuanya telah memilihnya.
Namun, pilihan apa yang sebenarnya Arcelia miliki?
Malam di dunia bawah tak lagi kelam. Langitnya tidak sepenuhnya gelap, tapi dihiasi garis-garis cahaya lembut seperti tenunan perak yang ditarik dari bintang-bintang tua. Dan di balkon tertinggi istana, di antara angin hangat dan harum bunga Aetheris yang mekar malam hari, Arcelia berdiri dalam diam.Rambutnya tergerai, jatuh lembut di punggung. Kain tipis tidurnya menari perlahan diterpa angin. Di tangannya, sebuah cangkir teh herbal yang masih mengepulkan uap pelan.Tapi bukan teh itu yang membuat jantungnya tenang. Melainkan langkah kaki yang ia kenali sejak dulu. Langkah yang bahkan dalam kehidupan sebelumnya… telah menggetarkan relung jiwanya.Azrael datang dari belakang. Tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluknya dari belakang, seperti biasa.“Kau mencariku, Kaisar?” gumam Arcelia tanpa menoleh.“Aku tidak pernah berhenti.” Suara Azrael serak, namun tenang.“Bahkan ketika waktu membelah kita. Bahkan ketika dunia memaksa kita lupa. Hatiku... tetap mencari napasmu.”Arcelia menu
Hari itu, langit dunia bawah cerah. Tidak seperti biasanya.Bukan karena warna. Tapi karena suasana.Karena tidak semua cahaya berasal dari matahari.Beberapa berasal dari rumah. Dari ruang makan kecil. Dari suara tawa yang muncul tanpa dipaksa.Arcelia sedang memangku Caelion di teras istana. Kain hangat membungkus tubuh kecil itu, sementara Azrael duduk tak jauh, membaca gulungan kuno dengan mata yang tetap awas mengawasi keduanya.Di tengah kebiasaan sederhana itu, dunia terasa lengkap.Namun jauh di balik tawa lembut dan udara manis itu…dunia tak tidur.Dan Arcelia tahu.Ia bisa merasakannya dalam detak hati yang tiba-tiba tak serasi dengan alunan waktu.Dalam mimpi-mimpi aneh yang menyelinap seperti bayangan samar.Dalam keheningan yang terlalu panjang… bahkan untuk dunia bawah.Elder Daemon tidak mati.Mereka hanya berganti bentuk.Bukan menjadi monster.Bukan menjadi kabut berduri atau sosok bermahkota api.Tapi menjadi rasa.Mereka adalah keraguan dalam hati istri yang lelah
Waktu berjalan berbeda di dunia bawah.Di antara rerimbun kristal hitam dan udara hangat yang mengalir dari inti bumi, Arcelia belajar kembali… menjadi ibu.Ia tidak memakai jubah kebesaran hari itu. Tak ada hiasan mahkota atau batu sihir di dahinya. Ia hanya mengenakan kain lembut berwarna kelabu pucat, rambutnya disanggul sederhana, dan di pelukannya, Caelion tertidur dengan napas damai.Azrael memperhatikannya dari balik tirai tipis ruang keluarga yang menghadap ke taman bawah tanah. Ratu yang dulu berdiri di medan perang dengan tatapan membakar kini duduk di atas permadani empuk, membacakan kisah kuno pada anaknya dengan suara seperti aliran sungai kecil.“Dulu ada seorang bayi,” ucap Arcelia pelan, membelai rambut Caelion, “yang lahir bukan dari rahim yang sempurna, tapi dari doa-doa yang terluka…”Azrael tersenyum tipis. Ia tahu cerita itu adalah kisahnya.Bukan hanya tentang Caelion, tapi tentang dirinya, tentang Arcelia, tentang setiap jiwa yang pernah nyaris tenggelam tapi ak
Gerbang sihir di langit dunia bawah terbuka perlahan, disertai desiran angin yang mengusik pilar-pilar batu. Awan hitam yang biasanya bergulung tenang seperti bergetar—menyambut kehadiran seorang yang tak hanya membawa tubuh… tapi juga nyawa-nyawa yang kembali menemukan harapan.Arcelia melangkah melewati celah itu.Langkahnya tenang. Bajunya tak semegah biasanya. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin dunia fana. Tapi di matanya… ada cahaya yang tidak bisa dibeli oleh ribuan musim perang.Di tangannya, sebuah bunga liar tergenggam.Bunga yang mekar di tanah yang hancur.Dan ketika ia menuruni tangga altar, Azrael sudah berdiri menunggunya.Tak ada mahkota di kepala Kaisar Iblis itu hari ini. Tak ada jubah hitam panjang.Hanya seorang pria. Seorang suami.Yang merindukan istrinya.Caelion berlari lebih dulu dengan tertawa kecil, tangannya terjulur, mata bayinya yang bersinar menyala lebih terang dari biasanya.“Sayangku…” bisik Arcelia, menekuk lutut, memeluk sang bayi dengan kedua l
Langit di atas istana Eden tampak pucat. Bukan karena fajar—melainkan karena medan energi yang mulai berubah. Ujung-ujung sihir kegelapan mulai goyah oleh gelombang kecil dari dalam: suara-suara hati yang kembali mengenal nurani.Isara berdiri di pelataran belakang istana. Rambutnya dikepang sederhana. Pakaian lusuh sengaja ia kenakan untuk menyatu dengan para pelayan. Tak ada yang tahu bahwa gadis ini pernah duduk di hadapan Ratu Dunia Bawah dan menerima misi cinta.Ia menggenggam kain lap di tangannya. Tapi bukan untuk mencuci, melainkan untuk menutupi luka di telapak tangannya—luka yang muncul setiap kali ia terlalu dalam menyalurkan energi penyembuhan.“Jangan bersinar terlalu terang,” bisik Isara kepada dirinya sendiri, “atau mereka akan mencium niatku.”Di lorong yang gelap dan sunyi, Isara bertemu dengan seorang penjaga tua yang menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar.“Kau dari kelompok baru?” tanyanya pelan.Isara mengangguk. “Dari desa barat. Aku datang... karena tak punya
Istana itu tetap megah. Tak ada dinding yang retak. Tak ada pilar yang runtuh.Tapi jiwa Eden—untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak bisa ia hitung—mengalami getaran yang tak ia kenali.Ia duduk di atas singgasananya. Tapi hari itu, sorot matanya tidak mengarah ke pelataran… melainkan ke perempuan-perempuan yang berdiri di sisi ruang tahta. Mereka tetap memakai topeng seperti biasa.Tapi bagi Eden… topeng-topeng itu kini terasa mengerikan.Bukan karena bentuknya.Tapi karena ia sadar, ia yang meminta mereka memakainya—agar ia tak perlu menatap mata mereka.Agar ia tak perlu melihat kemanusiaan yang ia buang.Salah satu dari mereka—seorang wanita berambut hitam panjang—tertatih memanggul kendi air. Tangan kirinya gemetar, ada bekas luka lama di pergelangan tangan yang belum sepenuhnya pulih.Eden menatapnya… lama.Dan untuk pertama kali sejak bertahun-tahun, ia tidak melihat “Persembahan.”Ia melihat seseorang.Seorang anak perempuan yang mungkin dulu memiliki nama.Yang mungkin du