Kamar pengantin itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lilin yang terpasang di sekeliling ruangan. Di luar, malam di kerajaan iblis sangat sunyi, hanya terdengar desiran angin yang menerobos celah-celah istana batu tua yang sudah berusia ratusan ribuan tahun. Ruangan itu terasa berat, penuh dengan aura yang tak terjelaskan, seolah seluruh dunia luar tidak ada, hanya ada mereka berdua.
Kaisar Azrael berdiri tegap di sisi ranjang besar, mengenakan jubah hitam yang berkilau di bawah cahaya lilin. Wajahnya, dingin dan tak terjamah, memandang Arcelia dengan tatapan yang penuh makna. Namun, di balik ekspresi itu, ada sesuatu yang tak terungkapkan, semacam keinginan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar memahami dunia iblis. Arcelia, dengan pakaian pengantin yang sederhana namun elegan, merasa seluruh tubuhnya tegang. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membawanya untuk tetap bertahan. Naluri alaminya, yang selama ini ia tak sadari, mulai terbangun. Ketegangan di udara antara mereka terasa nyata, dan ia merasa bahwa malam ini adalah malam yang akan mengubah hidupnya selamanya. "Jangan takut," suara Azrael terdengar lembut, namun penuh otoritas, membelai udara di sekitar mereka. "Aku adalah takdirmu, Arcelia. Dan ini adalah takdir kita. Aku tidak akan menyakitimu" Arcelia menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. Meski wajah Kaisar itu tetap dingin, sepasang mata peraknya menyimpan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kehangatan yang begitu kuat, hampir membakar. Dalam sekejap, ia merasakan sesuatu yang asing namun menyentuh inti dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan dunia iblis. Azrael melangkah mendekat, mengangkat dagu Arcelia dengan telunjuknya yang dingin. Dia memandangnya, mencari sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh seorang Kaisar iblis—sesuatu yang jauh melampaui fisik, sesuatu yang berada di dalam hati. "Saat ini, kamu bukan hanya wanita biasa," kata Azrael dengan suara rendah, namun ada sedikit kelembutan yang tidak ia tunjukkan kepada siapa pun. "Kamu adalah Ratu kami. Dan malam ini, aku ingin melihat apakah kamu memang diciptakan untuk kami." Arcelia merasakan debaran yang kuat di dadanya, seperti ada sesuatu yang sedang terbuka, mengalir bebas. Meski hatinya terombang-ambing, ia tahu bahwa ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya. Namun, ada ketenangan yang mengalir dalam dirinya—sesuatu yang membuatnya bisa menghadapinya dengan keberanian yang baru ia temukan. Tanpa kata-kata lebih, Azrael menariknya lebih dekat. Suhu tubuh Kaisar itu jauh lebih panas daripada yang ia bayangkan—membakar setiap sentuhan, setiap tatapan. Arcelia bisa merasakan kontradiksi antara keteguhan dan kehangatan yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Tangan Kaisar itu, yang sebelumnya terasa seperti es, kini menjadi api yang tak terbendung. Kaisar Azrael membenamkan ciuman yang sangat panas dan bergairah di bibir Arcelia, ciuman itu sangat buas, lebih buas dari yang dia dapatkan saat ritual pernikahan tadi, dia benar-benar iblis. Dengan sangat kuat, sekali tarik semua pakaian sang Ratu terkoyak dan luruh berserakan di lantai. Sang Kaisar berkuasa penuh akan tubuh sang Ratu. Dia memberikan sentuhan dengan tangan, jari dan lidahnya di setiap inci tubuh sang Ratu. Tubuh Sang Ratu bergetar hebat karena lidah sang Kaisar yang sangat kasar memberikan sensasi membakar, entah berapa kali dia harus membusungkan dada dan mengejang karena dorongan kuat di bawah perutnya yang memaksa keluar, sesuatu yang hangat, berdenyut dan membuat nafasnya terengah. Tapi, Sang Kaisar belum puas. Untungnya, meski Arcelia merasa kuwalahan, nalurinya berjalan dengan sendirinya, membuatnya tetap bergerak seiring Kaisar. Ada sebuah tarian alami, meski ia merasa dunia di sekelilingnya mengabur. Setiap sentuhan, setiap bisikan Kaisar terasa seperti api yang membakar sekaligus memberikan kekuatan baru. Arcelia merasa ada ikatan yang tumbuh, sesuatu yang lebih dari sekadar fisik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah koneksi yang mengalir melalui darah dan takdir mereka. Saat mereka berada dalam momen itu, Azrael berhenti sejenak, menatap Arcelia dengan penuh penilaian. "Kamu lebih dari yang aku duga," katanya dengan suara yang lebih lembut, penuh kekaguman. "Ratu kami, bukan hanya karena takdirmu. Tetapi karena keberanian dan kekuatanmu." Arcelia merasa dirinya dipenuhi dengan campuran emosi yang membingungkan—takut, terpesona, dan dihargai sekaligus. Dalam hening yang mengikutinya, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka, tetapi awal dari sebuah cerita yang jauh lebih besar. Kaisar Azrael terus bergerak kasar di bawahnya sambil menghujam miliknya yang sangat penuh dan besar, Arcelia belum pernah melihat satupun milik pria tapi saat ini dia benar-benar bisa merasakan hal itu, dia hanya merasakan sakit di awal selebihnya hanya kenikmatan. Rasanya seperti terbang. Kaisar Azrael menatapnya, dan meskipun ia masih kaisar yang tidak mudah dipahami, ada sesuatu yang tak terucapkan di dalam hatinya—sebuah keyakinan bahwa, dalam diri Arcelia, ia telah menemukan lebih dari sekadar Ratu. Ia telah menemukan mitos yang hidup, dan mungkin, itu adalah takdir yang lebih besar dari apa pun yang pernah ia bayangkan. "Ratu kamu sangat hebat" decih sang kaisar membenamkan miliknya pada sang Ratu sekali lagi sehingga sang Ratu menjerit, bukan kesakitan tapi karena sangat enak. Tatapan mata sang Ratu sangat sayu. Dalam hati Arcelia membenarkan apa kata teman-temannya saat mandi si sungai lelaki yang dingin itu sangat panas saat di ranjang. Saat itu, Arcelia hanya gadis polos yang tidak paham apa maksudnya panas dan dingin yang mereka maksud. "Ah.....Kaisar....Kaisar, bisa lebih cepat...." Permintaan itu seperti perintah bagi Kaisar yang menikmati wajah dan seluruh kulit sang Ratu yang memerah, Kaisar Azrael masih bisa melihat dengan jelas di bawah temaram lilin yang menggantung di atas atap di sela-sela kelambu merah ranjang pengantinnya. Gerakan cepat sang Kaisar ternyata semakin menghentak dan keras membuat sang Ratu berteriak, sehingga para pengawal yang berada di depan gerbang kamar pun dapat mendengar betapa hebatnya sang Kaisar. Mereka panas dingin dibuatnya. "Ah,...Ratuku....."jerit Kaisar meneriakkan nama Ratu dengan kuat, semburan benih sang Kaisar dapat sang Ratu rasakan sangat hangat. Meski sudah bermain selama itu, Kaisar sangatlah kuat, dia tidak terjatuh lemas. Dia masih tetap dengan posisinya, lututnya bertumpu di ranjang di antara pangkal kaki Ratu dengan miliknya yang masih membenam. Di dalam sebuah buku, cerita yang pernah Arcelia baja seorang kaisar biasanya melakukan malam pertamanya dengan Ratunya hanya sebagai ritual setelah menyembur satu kali maka Kaisar akan meninggalkan Ratunya sendirian di kamar, lalu dimandikan para dayang. Ternyata Kaisar ini beda, dia masih tidak beranjak, tangannya membelai paha sang Ratu yang masih sibuk mengatur nafasnya. "Kamu sangat cantik, Ratuku!" Puji sang Kaisar yang dingin. "Terima kasih, Yang Mulia!" Ucap sang Ratu yang kini nafasnya mulai teratur. Kaisar menarik dirinya dengan barangnya yang masih tegak, Arcelia masih belum tahu harus bagaimana. Dia kecewa karena ternyata dia menginginkan Kaisar lagi. Seakan Kaisar dapat membaca kegelisahan Ratunya, dia menawari sesuatu yang membuat pipi sang Ratu merona. Kaisar duduk di tepi kasur, "duduklah di sini dan masukkan milikmu, kamu akan menyukainya" itu sebuah perintah yang memalukan tapi Arcelia melakukannya juga, dan benar kata Kaisar, nikmat yang dirasakannya berkali-kali lipat. "Bergeraklah, biarkan aku menikmati minumanku ini" ujarnya menikmati pucuk dada Arcilia yang mengacung sempurna. Arcelia tidak bisa menahan suaranya kembali, lebih keras dari yang tadi. Apalagi dengan permainan lidah sang Kaisar di dadanya juga gigi tajamnya yang menggigit kecil itu. Kaisar memutar tubuh Arcelia hingga kini membelakangi sang Kaisar di sini jeritan kerasnya seperti memenuhi seluruh istana iblis, mereka tidak tahu sejak mendengarnya jeritan kenikmatan sang Ratu ada satu pangeran yang tiba-tiba saja terobsesi ingin memiliki sang ratu sendirian. Dia tidak akan rela berbagi dengan siapapun. Dia membayangkan bahwa dirinya kini adalah kaisar. Karena hanya Kaisar yang dapat menikmati tubuh sang ratu tanpa batas, sedang mereka hanya di hari yang sudah ditentukan karena Ratu tetaplah hak mutlak Kaisar.Malam itu, aula jamuan utama Istana Bawah Tanah dipenuhi cahaya merah keemasan dari ribuan lilin iblis yang menggantung di udara, berputar perlahan seolah menari mengikuti musik lembut yang dimainkan oleh para pemain harpa siluman. Suasana hangat namun megah menyelimuti ruangan. Meja panjang dari obsidian hitam dipenuhi hidangan khas Dunia Bawah—daging naga asap, buah darah rubi, anggur abadi, dan roti roh yang hanya muncul di malam-malam penuh perayaan.Di ujung meja, Kaisar Azrael duduk dengan anggun, mengenakan jubah hitam berhiaskan benang perak yang berkilau. Di sisi kanannya, Arcelia, sang Ratu Iblis, tampil memukau dalam balutan gaun merah marun yang seolah menyala. Di seberangnya, Lyrienne duduk dengan anggun, sementara Pangeran Lucien, Kaelthor, dan enam pangeran lainnya menempati kursi-kursi penting di sepanjang meja.Azrael mengangkat cangkir anggurnya. “Malam ini adalah malam perpisahan sementara, tapi juga malam penghormatan bagi Lady Lyrienne, yang telah menunjukkan kehor
Menghabiskan pagi bersama Kaisar membuat perasaan Arcelia jauh lebih ringan. Beban di dadanya perlahan menguap, tergantikan oleh kehangatan yang ia rasakan di sisi suaminya.Pagi ini bahkan burung-burung istana ikut bernyanyi riang, seakan merayakan senyum mengembang dari Ratu Iblis.“Makanlah yang banyak,” ujar Azrael sambil menyuapkan buah ke piring Arcelia. “Kemarin aku tak melihatmu makan apa pun. Aku tahu kau mencintaiku, tapi bukan berarti kau tak butuh tenaga. Untuk mencintaiku, kamu butuh kekuatan, Ratuku.”Pipi Arcelia langsung merona. “Bagaimana mungkin hamba bisa makan… jika seluruh nafsu yang ada di dalam diri hamba sudah tersedot habis oleh Yang Mulia,” jawabnya menggoda.Azrael tertawa pelan, matanya memancarkan ketertarikan yang tak tersembunyi. “Benarkah? Sejak kapan kau jadi pandai menggoda seperti ini? Aku masih ingat saat pertama kali kau datang… begitu pemalu dan polos.”Arcelia berdiri dengan senyum nakal, tapi sebelum ia sempat melangkah, Azrael menariknya pelan
Keesokan paginya, Kaisar Azrael melangkah cepat menuju paviliun pribadi sang Ratu. Pikirannya tak bisa tenang sejak matahari dunia bawah menampakkan cahaya samar-samarnya. Bayangan wajah Arcelia terus menghantui benaknya.Begitu pintu paviliun terbuka, Lira langsung memberi hormat dengan menundukkan tubuhnya dalam-dalam.“Hormat kepada Yang Mulia,” ucapnya penuh hormat.Azrael memandang sekeliling. Matanya menyapu seluruh ruangan yang sunyi.“Kenapa... sepi?” tanyanya pelan, namun terdengar jelas. Biasanya, ia akan mendengar suara lembut Arcelia berceloteh kepada tanaman-tanamannya, menyiram bunga dengan senyum kecil yang tak pernah gagal melembutkan hatinya.“Yang Mulia Ratu masih tidur,” jawab Lira hati-hati.“Tidur?” Azrael mengerutkan dahi. “Itu tidak seperti biasanya…”Memang, meski kini berada di dunia iblis, kebiasaan Arcelia sebagai manusia fana belum pudar—ia selalu bangun pagi.Lira menunduk lebih dalam, suaranya gemetar saat ia melapor, “Ampuni hamba, Yang Mulia. Hamba tida
Acara pengangkatan selir telah usai. Para tamu undangan telah kembali ke istana masing-masing, dan Kaisar Azrael pun telah meninggalkan aula menuju paviliun yang telah dipersiapkan khusus untuk malam pertamanya bersama Lyrienne.Sedangkan Arcelia... masih duduk diam di singgasananya. Tegap, bergeming, meski dadanya terasa sempit dan jiwanya terombang-ambing. Ia telah meyakinkan dirinya sejak awal—ini hal yang wajar, ini sudah sering terjadi dalam sejarah Kekaisaran Iblis. Namun tetap saja, hatinya seperti diremas perlahan, dibekap oleh rasa sepi yang sunyi dan getir.Dia memang Ratu Iblis—pemegang gelar dan kehormatan tertinggi di dunia bawah. Tapi jiwanya tetaplah berasal dari dunia fana. Ia adalah seorang wanita… dan seorang wanita tetaplah punya perasaan. Ia mencoba menahan diri agar tidak bersikap kekanak-kanakan, tapi rasa sesak itu menumpuk tanpa bisa diredam.Bayangan Kaisar bersama Lyrienne di paviliun—dalam kamar yang temaram, ranjang megah berlapis seprai sutra merah darah—m
Ruang Paviliun Ratu – Sore Hari Sebelum Upacara Pengangkatan.Langit Dunia Bawah tampak redup keunguan, menandai datangnya sore. Cahaya dari kristal gantung di langit-langit paviliun menyebar lembut. Di sudut ruangan yang penuh tanaman eksotis dan aroma rempah, Arcelia duduk di kursi panjang, mengenakan jubah dalam berwarna biru malam, rambutnya disanggul setengah.Vareth masuk dengan langkah teratur, membawa gulungan berita di tangan.“Hormat kepada Yang Mulia Ratu,” sapa Vareth dengan membungkuk sopan. “Izinkan hamba menyampaikan hal yang perlu diketahui sebelum Upacara berlangsung malam ini.”Arcelia mengangguk tenang. “Silakan, Tuan Vareth. Malam-malam begini datang, pasti ada yang penting,”Vareth berdiri tegak, matanya tajam dan serius. “Mengenai Lady Lyrienne… sesuai perjanjian leluhur, beliau tidak akan menetap di Istana Dunia Bawah. Ia akan kembali ke dunia fana setelah pengangkatan sebagai selir selesai.”Arcelia tak memberi reaksi. Ia hanya mendengarkan dengan kepala tegak.
Azrael mondar-mandir di hadapan Vareth. Pikirannya kacau. Ia tidak tahu bagaimana harus menyampaikan kepada Arcelia tentang kesepakatan kuno antara leluhur dua dunia: bahwa jika Ketua Klan Penjaga Dunia memberikan pertolongan demi menjaga keseimbangan dua dunia, maka Kaisar Iblis wajib menerima ketua klan itu sebagai salah satu selirnya."Yang Mulia, bisakah Anda sedikit tenang?" ucap Vareth pelan, mencoba meredakan ketegangan."Tenang? Kau bilang tenang?" Azrael menatapnya tajam. "Bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana jika aku melukai perasaan Ratu dengan mengambil selir lain?" Ia berhenti, menghela napas panjang. "Memiliki banyak selir memang wajar bagi seorang Kaisar, tapi bersama Arcelia… semuanya berbeda.""Yang Mulia, semua masih sesuai dengan aturan. Ratu pasti mengerti. Tidak ada satu istri untuk seorang Kaisar," kata Vareth, menjaga nada suaranya tetap sopan."Vareth, kau tidak mengerti...""Yang Mulia, Anda adalah Kaisar Iblis. Mengapa sekarang berpikir seperti manusia?" Varet
Sebuah gerakan secepat kilat menyambar ke arah Arcelia yang tengah terhuyung, nyaris kembali terjerembab ke tanah. Seseorang menangkap tubuhnya sebelum jatuh.“Ratuku... apa yang terjadi?” suara itu terdengar panik, gemetar, seolah ketakutan kehilangan sesuatu yang sangat berharga.Arcelia menatap wajah Azrael yang pucat karena cemas. Ia melingkarkan lengannya di leher sang Kaisar, mencoba tersenyum meski tubuhnya masih diliputi nyeri yang membakar.“Yang Mulia...” napasnya berat, namun suaranya terdengar tegas dalam kelemahan, “...apakah kau pernah mendengar tentang Wakil Bayangan Dunia?”Azrael menyipitkan mata, rahangnya mengeras. “Penjaga dunia?” gumamnya. “Mereka adalah penakluk dari para iblis perusak yang mencoba menaklukkan dunia fana.”“‘Mereka’? Jadi jumlah mereka lebih dari satu?” tanya Arcelia, bibirnya bergetar namun matanya tetap tajam.Azrael mengangguk pelan. “Ya... mereka bukan satu. Tapi mereka memiliki seorang pemimpin—selalu seorang wanita. Karena hanya kelembutan
Setelah kembali dari dunia fana dan dia sudah selesai dengan masa pemulihan, Arcelia masih bingung mencari jawaban. Sebagai Ratu Iblis yang mengemban tugas menjaga keseimbangan dua dunia sebagaimana diamanatkan oleh leluhur, Arcelia harus memiliki tekad dan juga keberanian di atas rata-rata.Jika para tetua, penasehat istana atau pun para pangeran bahkan Azrael pun tak bisa membantu memberikan jawaban maka dia harus belajar dan mencarinya sendiri. Konon, segala hal tentang masa lalu ada tertulis di kitab-kitab kuno yang ada di perpustakaan tertua di negeri iblis, hanya para bangsawan yang bisa masuk kesana.Perpustakaan Tertua di Istana Iblis…Tempat itu sunyi seperti makam kuno. Cahaya merah redup dari lentera iblis memantulkan bayangan panjang di rak-rak buku berabad-abad usianya. Arcelia duduk membungkuk di depan meja batu yang penuh dengan manuskrip kuno, matanya menari cepat di atas huruf-huruf yang hampir tak terbaca.Punggungnya tegang. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai
Api merah yang menyelamatkan Arcelia belum sepenuhnya padam.Asap hangat menyelimuti tubuhnya seperti pelindung, namun dari tengah cahaya membara itu, perlahan, siluet seorang pria muncul. Langkah demi langkah ia menjadi nyata. Rambut gelap sebahu, mata menyala merah menyala, jubah panjang berkibar pelan seperti bayangan neraka. Wajah dingin dan agungnya muncul dari balik cahaya api—Azrael.Tubuhnya berdiri kokoh di belakang Arcelia. Satu tangannya terulur, melingkari pinggang sang ratu, menariknya mendekat ke sisi kirinya. Perlindungan yang sekaligus menjadi pernyataan: ini milikku.Eden menatap tak percaya, gemetar. “Siapa… siapa kau?”Azrael menatap Eden tanpa berkedip. Sorot matanya tajam seperti pisau yang tak perlu bergerak untuk menyayat.“Aku adalah Kaisar dari Neraka,” katanya pelan, namun suaranya menggema ke segala arah, “Dan kau baru saja mencoba menyakiti Ratuku.”Nada bicaranya tidak meninggi. Tapi bumi di bawah kaki Eden retak pelan.Eden mundur, napasnya memburu. “Kau…