Kita banyakin yang kaya begini, ya?
Pyrion tidak menjawab ayahnya. Ia hanya mengangguk kecil, lalu kembali menatap cangkir teh di tangannya. Uapnya menari lembut, seolah menyimpan bisikan dari dunia yang lebih dalam.“Apa yang Kaisar tahu? Apa ia juga pernah merasa seperti ini?”Pyrion merasa pikirannya diombang-ambingkan seperti kapal kecil dalam badai. Satu sisi ingin menuruti kehormatan, logika, dan didikannya sebagai putra Kaisar. Tapi sisi lain… sisi yang semakin kuat, semakin tak tertahankan, membisikkan sesuatu yang lebih jujur, lebih liar.Malam itu, ia tidak bisa tidur.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang tertutup awan gelap. Di kejauhan, suara petir berdentum, tetapi bukan dari langit atas—melainkan dari celah dimensi, tempat para Elder Daemons bersemayam.Dan mereka sedang menyaksikannya.Di antara kabut spiritual yang tak kasatmata, Xhurn, Si Penjagal Dimensi, menggenggam segumpal cahaya—fragmen perasaan Pyrion yang telah mereka ganggu.“Dia terlihat sangat rapuh,” gumamnya dengan suara bergem
Pyrion terbangun.Peluh membasahi pelipisnya, napasnya masih berat, jantungnya berdetak kencang seperti baru saja lari dari peperangan. Kamar itu gelap dan sepi, hanya lilin yang hampir padam menjadi saksi dari gejolak di dadanya.Tangannya mengepal.“Itu hanya mimpi,” gumamnya, seolah mencoba menghapus jejak yang masih tertinggal di kulitnya. “Tentu saja hanya mimpi, dasar bodoh! Arcelia istri Kaisar, bodoh!” Tambah Azrael memaki dirinya sendiri.Tapi hatinya tahu. Rasa itu tidak memudar.Ia menatap ke langit-langit, lalu membenamkan wajahnya di tangan. Arcelia. Selalu Arcelia. Padahal ia tahu betul—ia tak bisa, tak boleh, dan tak ingin mencintainya.“Siapapun dirimu, Arcelia! Apakah memiliki jiwa Ibuku atau tidak…” bisiknya. “Rasa ini… Rasa yang aku miliki ini, kenapa makin kuat?”Angin malam menyusup melalui celah jendela. Pyrion merasakan ketakutan… bukan pada Elder Daemons atau takdir yang mengintai, tapi pada dirinya sendiri.Pyrion duduk lama di tepi ranjangnya setelah terbangu
Di luar batas dunia yang bisa dipahami oleh waktu dan ruang, di tempat di mana langit berdarah dan bumi bergemuruh dalam senyap, berdiri sebuah singgasana hitam yang tak terbuat dari batu, melainkan dari kesedihan yang telah membatu selama ribuan era.Di sana, mereka berkumpul.Para Penjaga Kengerian Tertua.Empat Elder Daemons yang bahkan Azrael enggan sebut namanya dengan suara keras.Dhorveth, Sang Penguras Jiwa, duduk dengan mata kosong yang tak memandang, namun bisa menembus ke inti keberadaan siapa pun. Tangannya yang panjang dan berurat menggenggam untaian roh-roh yang merintih dalam diam, diikat seperti manik-manik doa yang tak pernah selesai.Zaer’tal, Dewa Luka Abadi, berdiri tegak. Tubuhnya dipenuhi retakan yang menganga, tapi dari setiap luka itu mengalir sihir hitam yang berdenyut seperti nadi. Nafasnya adalah kutukan, dan bisikannya bisa membuat makhluk hidup menguliti diri sendiri karena rasa sakit yang tak tertahankan.Noxira, Ratu Mantra Terlarang, bersandar malas di a
Arcelia duduk menyandar pada bantal empuk dengan rambut yang masih kusut, menyuapi Azrael roti madu dengan tangan sendiri. Azrael, yang hanya mengenakan jubah tipis hitam, pura-pura menghindar dan mencuri ciuman di ujung jemari Arcelia, membuatnya tertawa geli.“Aku tak ingat pernah punya suami yang bisa merayu sambil ngunyah,” ujarnya sambil tertawa kecil.Azrael mengangkat alis. “Kau belum lihat aku saat lapar dan jatuh cinta bersamaan. Sangat mematikan.” ucapan itu bersamaan dengan Azrael mencium pipi Arcelia dengan gemasnya.Tawa mereka memenuhi ruangan yang diterangi sinar lembut pagi. Di luar, angin menggesek daun-daun pohon tua yang tumbuh mengelilingi tempat peristirahatan mereka di pegunungan, jauh dari hiruk pikuk istana. Setidaknya untuk beberapa saat, dunia terasa damai.Namun, beberapa saat kemudian, ketenangan itu hancur ketika seorang penjaga dari dalam istana datang tergesa—penuh debu dan napas terburu.“Yang Mulia... Ratu, Kaisar... Pangeran Lucien. Dia diserang. Luka
Arcelia dan Azrael kini telah kembali ke istana, setelah perjalanan panjang dan semuanya membuat mereka lebih tenang dan tidak gegabah. Meskipun mereka tahu bahaya mengancam mereka, bisa mendatangi mereka kapan saja. Mereka siap tapi mereka tak mau memicunya.Malam turun dengan lembut seperti selimut beludru, membungkus seluruh istana dengan keheningan yang tenang. Di dalam kamar utama yang diterangi cahaya api unggun dan kilau lembut dari batu-batu sihir di dinding, Arcelia dan Azrael duduk bersisian di atas balai-balai rendah berhias ukiran naga purba.Udara di antara mereka dipenuhi kehangatan yang tak hanya berasal dari api—tapi dari keberadaan satu sama lain.Azrael membelai lembut rambut panjang Arcelia yang dibiarkan tergerai, jemarinya menjelajahi helai demi helai dengan gerakan tenang.“Aku bisa duduk seperti ini bersamamu selama seribu tahun,” bisiknya, suaranya serak dan dalam.Arcelia bersandar di bahunya, menatap api yang menari di perapian. “Kalau kau bisa, aku akan mencu
Senja menggantung muram di langit Aetheryn Caelus. Cahaya jingga keemasan menembus kaca-kaca tinggi yang retak, menyinari ruangan tempat Arcelia duduk membisu. Suasana begitu sunyi, seolah waktu pun enggan bergerak.Ia memandangi tangannya yang terbuka di atas pangkuan, jari-jarinya gemetar kecil. Di telapak tangannya, ia seakan masih bisa merasakan jejak api itu—api yang bukan membakar, tapi membangkitkan. Api yang dahulu milik Yllira… kini miliknya.“Aku… mengenang kematianku sendiri.”Kata-kata itu tak bersuara, tapi terdengar jelas di hatinya. Dia shock sekali mengetahui bahwa Ratu Api yang beberapa waktu lalu hari kematiannya dia peringati di istana bersama Pyrion dan rakyat adalah masa lalunya. Yllira memang bukan Arcelia akan tetapi, jiwa Yllira ada di dalam Arcelia.Wajah Pyrion muncul di pikirannya—dingin, tegas, tapi menyimpan luka yang dalam. Betapa ia telah menjadi korban fitnah dan penghakiman, hanya karena ia lahir dari rahim seorang ibu yang dituduh tak bermoral. Semua