Di tengah kehampaan dunia yang tidak dikenal manusia maupun iblis, Neravyn, berdiri sebuah ruangan tak berdinding, mengambang di antara bayangan dan retakan dimensi. Meja melingkar dari tulang raksasa menopang lilin-lilin berisi darah yang mendidih pelan. Asap hitam membentuk wajah-wajah yang menjerit diam-diam, berputar di udara.Empat sosok duduk di sana.Dhorveth, Sang Penguras Jiwa, dengan wajah retak seperti topeng tua, matanya kosong namun memantulkan kesedihan orang lain. Zaer’tal, Dewa Luka Abadi, yang duduk dengan tubuh terbalut besi berkarat dan kulit sobek-sobek tak pernah sembuh.Noxira, Ratu Mantra Terlarang, berambut asap dan berwajah seperti gabungan ribuan wanita yang pernah memohon hidup.Dan Xhurn, Si Penjagal Dimensi, bertubuh raksasa dan bersayap tajam, lidahnya menjulur berbisik dalam bahasa makhluk-makhluk mati.Suara tawa perlahan tumbuh, bukan dari satu mulut, tapi dari bayangan yang melingkari meja itu.“Ia melihatnya dalam mimpi,” ucap Noxira, bibirnya teran
Arcelia melangkah pelan menyusuri lorong istana yang remang. Malam belum benar-benar lewat, namun udara sudah mengandung aroma pagi yang pahit dan berat—seperti hati yang penuh beban tapi tak tahu harus dikatakan dengan kata apa.Sebelum jalannya tadi mengarah kesini, dia sudah merasakan hal aneh dan berusaha melawan keinginannya untuk datang. Tapi, di sisi hatinya yang lain berkata ‘kasihan, Pyrion merasa sendirian. Selama ini dia hidup dalam sepi dan dibayangi oleh kematian Ibunya yang diketahui khalayak dalam kehinaan’Karena ada perasaan bersalah, walaupun dia bukanlah Yllira maka di sinilah Arcelia saat ini.Ia berhenti di depan balkon utama, tempat di mana api abadi menyala tanpa henti di tengah lingkaran batu. Dan di sana, sosok Pyrion berdiri membelakangi, diam seperti arca, rambutnya tertiup pelan oleh angin gunung.Arcelia diam di tempatnya sebelum memutuskan mendekat, dia seperti bisa merasakan kesedihan dan kepedihan Pyrian hanya dengan melihat punggungnya saja. Dia pun te
Pyrion tidak menjawab ayahnya. Ia hanya mengangguk kecil, lalu kembali menatap cangkir teh di tangannya. Uapnya menari lembut, seolah menyimpan bisikan dari dunia yang lebih dalam.“Apa yang Kaisar tahu? Apa ia juga pernah merasa seperti ini?”Pyrion merasa pikirannya diombang-ambingkan seperti kapal kecil dalam badai. Satu sisi ingin menuruti kehormatan, logika, dan didikannya sebagai putra Kaisar. Tapi sisi lain… sisi yang semakin kuat, semakin tak tertahankan, membisikkan sesuatu yang lebih jujur, lebih liar.Malam itu, ia tidak bisa tidur.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang tertutup awan gelap. Di kejauhan, suara petir berdentum, tetapi bukan dari langit atas—melainkan dari celah dimensi, tempat para Elder Daemons bersemayam.Dan mereka sedang menyaksikannya.Di antara kabut spiritual yang tak kasatmata, Xhurn, Si Penjagal Dimensi, menggenggam segumpal cahaya—fragmen perasaan Pyrion yang telah mereka ganggu.“Dia terlihat sangat rapuh,” gumamnya dengan suara bergem
Pyrion terbangun.Peluh membasahi pelipisnya, napasnya masih berat, jantungnya berdetak kencang seperti baru saja lari dari peperangan. Kamar itu gelap dan sepi, hanya lilin yang hampir padam menjadi saksi dari gejolak di dadanya.Tangannya mengepal.“Itu hanya mimpi,” gumamnya, seolah mencoba menghapus jejak yang masih tertinggal di kulitnya. “Tentu saja hanya mimpi, dasar bodoh! Arcelia istri Kaisar, bodoh!” Tambah Azrael memaki dirinya sendiri.Tapi hatinya tahu. Rasa itu tidak memudar.Ia menatap ke langit-langit, lalu membenamkan wajahnya di tangan. Arcelia. Selalu Arcelia. Padahal ia tahu betul—ia tak bisa, tak boleh, dan tak ingin mencintainya.“Siapapun dirimu, Arcelia! Apakah memiliki jiwa Ibuku atau tidak…” bisiknya. “Rasa ini… Rasa yang aku miliki ini, kenapa makin kuat?”Angin malam menyusup melalui celah jendela. Pyrion merasakan ketakutan… bukan pada Elder Daemons atau takdir yang mengintai, tapi pada dirinya sendiri.Pyrion duduk lama di tepi ranjangnya setelah terbangu
Di luar batas dunia yang bisa dipahami oleh waktu dan ruang, di tempat di mana langit berdarah dan bumi bergemuruh dalam senyap, berdiri sebuah singgasana hitam yang tak terbuat dari batu, melainkan dari kesedihan yang telah membatu selama ribuan era.Di sana, mereka berkumpul.Para Penjaga Kengerian Tertua.Empat Elder Daemons yang bahkan Azrael enggan sebut namanya dengan suara keras.Dhorveth, Sang Penguras Jiwa, duduk dengan mata kosong yang tak memandang, namun bisa menembus ke inti keberadaan siapa pun. Tangannya yang panjang dan berurat menggenggam untaian roh-roh yang merintih dalam diam, diikat seperti manik-manik doa yang tak pernah selesai.Zaer’tal, Dewa Luka Abadi, berdiri tegak. Tubuhnya dipenuhi retakan yang menganga, tapi dari setiap luka itu mengalir sihir hitam yang berdenyut seperti nadi. Nafasnya adalah kutukan, dan bisikannya bisa membuat makhluk hidup menguliti diri sendiri karena rasa sakit yang tak tertahankan.Noxira, Ratu Mantra Terlarang, bersandar malas di a
Arcelia duduk menyandar pada bantal empuk dengan rambut yang masih kusut, menyuapi Azrael roti madu dengan tangan sendiri. Azrael, yang hanya mengenakan jubah tipis hitam, pura-pura menghindar dan mencuri ciuman di ujung jemari Arcelia, membuatnya tertawa geli.“Aku tak ingat pernah punya suami yang bisa merayu sambil ngunyah,” ujarnya sambil tertawa kecil.Azrael mengangkat alis. “Kau belum lihat aku saat lapar dan jatuh cinta bersamaan. Sangat mematikan.” ucapan itu bersamaan dengan Azrael mencium pipi Arcelia dengan gemasnya.Tawa mereka memenuhi ruangan yang diterangi sinar lembut pagi. Di luar, angin menggesek daun-daun pohon tua yang tumbuh mengelilingi tempat peristirahatan mereka di pegunungan, jauh dari hiruk pikuk istana. Setidaknya untuk beberapa saat, dunia terasa damai.Namun, beberapa saat kemudian, ketenangan itu hancur ketika seorang penjaga dari dalam istana datang tergesa—penuh debu dan napas terburu.“Yang Mulia... Ratu, Kaisar... Pangeran Lucien. Dia diserang. Luka