Pagi itu, Paviliun Selatan masih diselimuti aroma bunga kering dan dupa herbal yang menenangkan. Angin lembut menggesekkan tirai-tirai sutra yang menggantung di jendela besar, membawa cahaya merah muda ke dalam ruangan mewah tempat Selir Aeralis tinggal.Di antara dentingan teko teh dan suara-suara pelan para pelayan yang sedang merapikan ruangan, terdengar langkah cepat seorang dayang muda memasuki kamar utama."Selir Aeralis! Kami baru saja mendengar kabar dari penjaga..." suaranya sedikit terengah. "Tadi malam ada penyusup... di Paviliun Sang Ratu!"Tangan Aeralis yang sedang menuang teh berhenti di tengah gerakan.Matanya melebar."Apa katamu?" suaranya naik satu oktaf, pura-pura terkejut."Benar, Selir. Seorang penyusup. Tapi Yang Mulia Kaisar segera menangani sendiri, meski identitas penyusup belum diketahui."Secangkir teh bergoyang di tangan Aeralis. Dengan gerakan cepat, ia meletakkan cangkir itu di atas meja."Siapkan pakaianku. Yang sederhana saja tapi rapi." Matanya bersin
Malam itu, Paviliun Selatan tampak lebih tenang dari biasanya. Cahaya lentera menggantung berayun lembut di tiupan angin malam, menciptakan bayangan temaram yang bergerak-gerak di sepanjang lorong marmer.Arcelia berjalan perlahan, diiringi oleh dua dayang, menuju kediaman Aeralis. Gaun malamnya berwarna biru muda, sederhana namun tetap menonjolkan keanggunannya sebagai Ratu. Matanya terlihat jernih... namun di balik bening itu, pikirannya berputar cepat.Senyum... tetap tersenyum. Aku harus membuatnya lengah, batinnya.Begitu ia tiba di depan pintu, salah satu dayang mengetuk dengan sopan. Tak lama, Aeralis keluar dengan ekspresi terkejut bercampur senang."Yang Mulia Ratu Arcelia?" Suaranya terdengar begitu manis, penuh perhatian.Arcelia tersenyum kecil, sedikit malu-malu seperti gadis polos biasa."Maaf mengganggumu malam-malam begini," katanya lembut. "Aku hanya ingin memastikan... apakah kamu sudah nyaman di istanamu?"Wajah Aeralis langsung berseri-seri. Ia membungkuk sopan."T
Pagi itu, di bawah sinar matahari lembut yang menembus tirai, Arcelia duduk santai di ruang kerjanya, ditemani Lira yang dengan cekatan mencatat apapun yang diperintahkan tuannya.Di hadapannya, secarik jadwal kecil tampak dipegang dengan jari rampingnya, dan di seberang sana, salah satu pelayan kepercayaannya menunduk menunggu instruksi."Hari ini," kata Arcelia, nadanya terdengar ringan namun mengandung ketegasan manis, "jadwalkan pertemuan makan siang pribadi antara aku dan Yang Mulia Kaisar."Pelayan itu mengangguk patuh."Dan pastikan, seluruh istana tahu, terutama Paviliun Selatan," tambah Arcelia sambil mengedipkan sebelah mata pada Lira.Lira hampir tak bisa menahan tawanya, tangannya menutupi mulutnya. Ini... ini benar-benar aksi nakal pertama sang Ratu!"Artinya," lanjut Arcelia, pura-pura polos, "kalau ada yang berencana mengundang atau menunggu Yang Mulia, mereka akan kecewa."Ia menyeruput tehnya dengan anggun, senyuman jahil bermain di sudut bibirnya."Apakah... ini term
Pagi itu, saat matahari baru saja memanjat langit, sebuah kotak kayu berukir mewah diantarkan ke Paviliun Utama."Yang Mulia," ucap salah satu pelayan sambil menunduk hormat. "Ada hadiah untuk Anda, dari Selir Aeralis."Arcelia, yang tengah duduk santai bersama Lira di taman kecil, hanya melirik sekilas ke arah kotak itu."Hadiah lagi?" gumamnya pelan.Lira langsung mendekat, menunduk curiga. Naluri perlindungan terhadap tuannya segera bangkit."Yang Mulia, izinkan saya memanggil Tuan Lucien untuk memeriksa ini dulu," bisik Lira cepat.Arcelia tersenyum kecil, mengelus kepala Lira seperti biasa."Memang sudah rencananya begitu," katanya lembut. Matanya berbinar cerdik. "Ayo, kita lihat sejauh apa permainan si cantik itu."Tak lama, Lucien datang, matanya yang tajam langsung menilai kotak itu. Dengan gerakan terlatih, ia membuka kotaknya perlahan — aroma harum manis menyeruak, memabukkan.Lucien mengeluarkan alat kecil berwarna perak dari sakunya, lalu mendekatkannya ke parfum yang ada
Pertempuran telah usai, walaupun tidak ada kemenangan ataupun kekalahan dari sisi Arcelia ataupun Marovielle karena dia kabur, namun pertarungan itu menyisakan rasa lelah. Khususnya hati Arcelia. Lelah karena kesal sebab menyadari Kaisar yang selalu bilang ‘cukup dirinya’ tiba-tiba ada di ranjang perempuan lain.Kaisar yang mulai terbiasa dengan Arcelia sangat hafal dengan perangai sang Ratu.Kamar utama terasa hangat oleh cahaya lilin yang berpendar lembut.Arcelia duduk di tepi ranjang besar, memeluk lututnya sendiri. Wajah cantiknya kusut, pipinya mengembung kesal seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya.Azrael, yang baru selesai mengenakan jubah hitam sederhana, mendekat perlahan."Arcelia..." panggilnya lembut.”Ratuku….”Gadis itu mendengus. Membalikkan wajah, menatap ke arah lain, bersikap cuek.Melihat itu, Kaisar hanya tersenyum kecil. Ia lalu duduk di sebelah Arcelia, meraih tubuh kecil itu dan tanpa aba-aba menariknya ke dalam pelukannya.Arcelia berusaha membero
Langit di atas istana menghitam seperti jelaga. Petir iblis membelah langit, dan angin malam membawa hawa pertanda buruk.Di tengah aula utama yang kini kosong dari pesta, Marovielle berdiri tegak dengan mata menyala ungu keperakan, diapit oleh Sylas dan beberapa makhluk bayangan yang ia panggil dari dunia bawah. Jubah hitamnya berkibar, dan energi gelap menari di sekelilingnya, membuat ubin istana retak-retak."Aku tahu ini jebakan," ucapnya datar namun menggema, "dan aku tetap datang. Tapi kalian lupa satu hal..."Marovielle menatap Azrael, lalu Arcelia."...aku tak pernah datang tanpa persiapan."Dengan satu gerakan tangannya, api hitam menyambar ke segala arah—namun Azrael sudah berdiri di depan Arcelia, memanggil pedang api miliknya, Ignis Vultor, dan menebas energi itu hingga terpecah menjadi ribuan bara.Sylas melompat ke depan, menyerang Kaelthor, matanya penuh amarah dan kebimbangan, tetapi Kaelthor sudah siap. Dengan bantuan Lucien dan dua pangeran lain, mereka menahan Sylas
Setelah pertarungan dan penyucian istana, pertempuran belum benar-benar usai.Bukan dengan sihir atau senjata, tapi dengan kepercayaan dan hati.Kerajaan iblis memiliki pilar-pilar kekuasaan yang tersebar dalam wujud para pangeran, masing-masing dengan karakter dan ego berbeda. Setelah kejatuhan Marovielle dan Sylas, bayang-bayang perpecahan masih menggantung.Azrael mengumpulkan mereka semua... tapi yang membuat mereka tetap duduk dan mendengarkan, bukan hanya titah Kaisar—melainkan suara lembut namun teguh milik Arcelia.“Kalau kalian terus bertahan dalam dinding keangkuhan sendiri, maka kerajaan ini akan tumbang bukan karena perang—tapi karena kalian saling menjatuhkan.”Ucap Arcelia siang itu dalam ruangan bundar tempat dewan para pangeran berkumpul.Lucien, yang berdiri di sisi Arcelia, hanya menyilangkan tangan dan tersenyum tenang.“Ayo, Kakak-kakakku. Dengarkan Ratu kita. Beliau bukan cuma cantik, tapi juga sangat masuk akal. Dan kalau kalian tidak percaya padanya, ya... perca
Langkah Arcelia begitu ringan saat memasuki lorong bawah tanah yang tersembunyi di balik istana. Tidak seorang pun tahu bahwa ia diam-diam meminta Lucien menunjukkan tempat gadis manusia itu diamankan. Dua penjaga khusus membungkuk memberi hormat, lalu membuka pintu berat yang berderit pelan.Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya samar dari lentera kecil di sudut tembok. Di dalamnya, duduk seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lusuh, tangan terlipat di pangkuan, tubuhnya bersandar lemah pada dinding batu.Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung bangkit berdiri. Meski tubuhnya tampak lemah, ada aura ketenangan dalam sikapnya.“Hormat kepada Yang Mulia Ratu,” ucapnya pelan, namun penuh hormat.Langkah Arcelia terhenti. Matanya membulat, napasnya seolah tersangkut di tenggorokan. Dalam temaram ruangan itu… gadis itu—kulitnya pucat, rambut hitam legam, dan sorot mata penuh luka serta keteguhan—terlihat seperti cerminan dirinya di masa lalu.“Kamu… dari mana kamu tahu siapa aku?
Malam turun dengan selimut kelam yang sunyi, tak seperti malam-malam sebelumnya di Istana Neraka yang biasanya riuh oleh denting obor api dan nyanyian bayangan. Malam ini, seluruh kerajaan menahan napas. Esok hari adalah pertarungan yang bisa menentukan takdir dua dunia—dan takdir seorang Ratu.Di dalam kamarnya, Arcelia duduk di depan cermin besar. Rambutnya dibiarkan tergerai, kulitnya pucat tertimpa cahaya biru dari kristal api yang menggantung di langit-langit. Tapi tak ada keraguan dalam mata itu. Hanya ketenangan… dan kedewasaan yang perlahan tumbuh dari luka-luka lama.Lira masuk perlahan, membawa secangkir ramuan hangat. “Yang Mulia… semua sudah disiapkan. Para penasihat juga telah memastikan arena telah dilindungi oleh sihir pengikat. Tidak akan ada intervensi dari luar.”Arcelia mengangguk. “Terima kasih, Lira. Kau sudah bekerja sangat keras, aku bangga padamu!.”Lira tersenyum, tersipu, tapi matanya masih menyimpan kekhawatiran. “Apakah Anda… yakin ingin melakukan ini?”“Buk
Beberapa hari kemudian – Hari yang ditentukan untuk pengujian sudah datang, di Aula Pengujian Istana Iblis semua petinggi istana Iblis datang dan berkumpul.Langit di atas istana tampak kelam, awan sihir menggelayut rendah. Aura magis pekat menyelimuti bangunan kuno tempat Upacara Pengujian Cahaya dan Kegelapan akan dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar berdarah pilihan yang mampu bertahan hidup melewati ritual ini—yang lainnya akan lenyap menjadi abu sihir dan waktu.Arcelia berdiri di sisi kiri aula, mengenakan jubah ratu yang lebih sederhana dari biasanya, hanya dihiasi simbol dua dunia di bagian dada. Matanya menatap lurus ke tengah ruangan, di mana Arcelis berdiri sendirian di atas lingkaran sihir kuno.Di sisi berlawanan, Kaisar Azrael duduk di atas singgasana pengamatan, diapit oleh para penasihat dan pangeran-pangeran kepercayaannya, termasuk Lucien dan Kaelthor.Arcelis terlihat tenang. Terlalu tenang. Wajahnya tanpa ragu. Bahkan tidak ada sedikit pun getaran ketakutan di
Langit di atas istana iblis pekat, tanpa bulan maupun bintang. Angin dingin menari di antara tiang-tiang batu, menabur ketegangan yang menggantung di udara.Arcelia duduk sendirian di balkon pribadi kamarnya. Rambut panjangnya tergerai lepas, dibiarkan tertiup angin malam. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, dan matanya menatap kosong ke arah hamparan langit kelam. Dalam dadanya, ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Dan di balik matanya, ada badai yang ia redam.Dia mendengar langkah berat yang dikenalnya sangat baik. Tapi dia tidak menoleh. Tidak kali ini. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan.“Arcelia….” suara bariton itu memanggilnyaDengan mata merah dan tubuh yang masih terasa kaku dia menoleh, lantas tersenyum samar. Memberi hormat dengan formal kepada Azrael, tidak seperti biasanya. Kaisar Azrael dapat merasakan perubahan kecil pada sikap Ratunya, namun itu tak membuatnya urung untuk menanyakan pertanyaan yang sudah mengganggunya."Kenapa kau tidak menceritakannya padaku
Langkah Arcelia begitu ringan saat memasuki lorong bawah tanah yang tersembunyi di balik istana. Tidak seorang pun tahu bahwa ia diam-diam meminta Lucien menunjukkan tempat gadis manusia itu diamankan. Dua penjaga khusus membungkuk memberi hormat, lalu membuka pintu berat yang berderit pelan.Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya samar dari lentera kecil di sudut tembok. Di dalamnya, duduk seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lusuh, tangan terlipat di pangkuan, tubuhnya bersandar lemah pada dinding batu.Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung bangkit berdiri. Meski tubuhnya tampak lemah, ada aura ketenangan dalam sikapnya.“Hormat kepada Yang Mulia Ratu,” ucapnya pelan, namun penuh hormat.Langkah Arcelia terhenti. Matanya membulat, napasnya seolah tersangkut di tenggorokan. Dalam temaram ruangan itu… gadis itu—kulitnya pucat, rambut hitam legam, dan sorot mata penuh luka serta keteguhan—terlihat seperti cerminan dirinya di masa lalu.“Kamu… dari mana kamu tahu siapa aku?
Setelah pertarungan dan penyucian istana, pertempuran belum benar-benar usai.Bukan dengan sihir atau senjata, tapi dengan kepercayaan dan hati.Kerajaan iblis memiliki pilar-pilar kekuasaan yang tersebar dalam wujud para pangeran, masing-masing dengan karakter dan ego berbeda. Setelah kejatuhan Marovielle dan Sylas, bayang-bayang perpecahan masih menggantung.Azrael mengumpulkan mereka semua... tapi yang membuat mereka tetap duduk dan mendengarkan, bukan hanya titah Kaisar—melainkan suara lembut namun teguh milik Arcelia.“Kalau kalian terus bertahan dalam dinding keangkuhan sendiri, maka kerajaan ini akan tumbang bukan karena perang—tapi karena kalian saling menjatuhkan.”Ucap Arcelia siang itu dalam ruangan bundar tempat dewan para pangeran berkumpul.Lucien, yang berdiri di sisi Arcelia, hanya menyilangkan tangan dan tersenyum tenang.“Ayo, Kakak-kakakku. Dengarkan Ratu kita. Beliau bukan cuma cantik, tapi juga sangat masuk akal. Dan kalau kalian tidak percaya padanya, ya... perca
Langit di atas istana menghitam seperti jelaga. Petir iblis membelah langit, dan angin malam membawa hawa pertanda buruk.Di tengah aula utama yang kini kosong dari pesta, Marovielle berdiri tegak dengan mata menyala ungu keperakan, diapit oleh Sylas dan beberapa makhluk bayangan yang ia panggil dari dunia bawah. Jubah hitamnya berkibar, dan energi gelap menari di sekelilingnya, membuat ubin istana retak-retak."Aku tahu ini jebakan," ucapnya datar namun menggema, "dan aku tetap datang. Tapi kalian lupa satu hal..."Marovielle menatap Azrael, lalu Arcelia."...aku tak pernah datang tanpa persiapan."Dengan satu gerakan tangannya, api hitam menyambar ke segala arah—namun Azrael sudah berdiri di depan Arcelia, memanggil pedang api miliknya, Ignis Vultor, dan menebas energi itu hingga terpecah menjadi ribuan bara.Sylas melompat ke depan, menyerang Kaelthor, matanya penuh amarah dan kebimbangan, tetapi Kaelthor sudah siap. Dengan bantuan Lucien dan dua pangeran lain, mereka menahan Sylas
Pertempuran telah usai, walaupun tidak ada kemenangan ataupun kekalahan dari sisi Arcelia ataupun Marovielle karena dia kabur, namun pertarungan itu menyisakan rasa lelah. Khususnya hati Arcelia. Lelah karena kesal sebab menyadari Kaisar yang selalu bilang ‘cukup dirinya’ tiba-tiba ada di ranjang perempuan lain.Kaisar yang mulai terbiasa dengan Arcelia sangat hafal dengan perangai sang Ratu.Kamar utama terasa hangat oleh cahaya lilin yang berpendar lembut.Arcelia duduk di tepi ranjang besar, memeluk lututnya sendiri. Wajah cantiknya kusut, pipinya mengembung kesal seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya.Azrael, yang baru selesai mengenakan jubah hitam sederhana, mendekat perlahan."Arcelia..." panggilnya lembut.”Ratuku….”Gadis itu mendengus. Membalikkan wajah, menatap ke arah lain, bersikap cuek.Melihat itu, Kaisar hanya tersenyum kecil. Ia lalu duduk di sebelah Arcelia, meraih tubuh kecil itu dan tanpa aba-aba menariknya ke dalam pelukannya.Arcelia berusaha membero
Pagi itu, saat matahari baru saja memanjat langit, sebuah kotak kayu berukir mewah diantarkan ke Paviliun Utama."Yang Mulia," ucap salah satu pelayan sambil menunduk hormat. "Ada hadiah untuk Anda, dari Selir Aeralis."Arcelia, yang tengah duduk santai bersama Lira di taman kecil, hanya melirik sekilas ke arah kotak itu."Hadiah lagi?" gumamnya pelan.Lira langsung mendekat, menunduk curiga. Naluri perlindungan terhadap tuannya segera bangkit."Yang Mulia, izinkan saya memanggil Tuan Lucien untuk memeriksa ini dulu," bisik Lira cepat.Arcelia tersenyum kecil, mengelus kepala Lira seperti biasa."Memang sudah rencananya begitu," katanya lembut. Matanya berbinar cerdik. "Ayo, kita lihat sejauh apa permainan si cantik itu."Tak lama, Lucien datang, matanya yang tajam langsung menilai kotak itu. Dengan gerakan terlatih, ia membuka kotaknya perlahan — aroma harum manis menyeruak, memabukkan.Lucien mengeluarkan alat kecil berwarna perak dari sakunya, lalu mendekatkannya ke parfum yang ada
Pagi itu, di bawah sinar matahari lembut yang menembus tirai, Arcelia duduk santai di ruang kerjanya, ditemani Lira yang dengan cekatan mencatat apapun yang diperintahkan tuannya.Di hadapannya, secarik jadwal kecil tampak dipegang dengan jari rampingnya, dan di seberang sana, salah satu pelayan kepercayaannya menunduk menunggu instruksi."Hari ini," kata Arcelia, nadanya terdengar ringan namun mengandung ketegasan manis, "jadwalkan pertemuan makan siang pribadi antara aku dan Yang Mulia Kaisar."Pelayan itu mengangguk patuh."Dan pastikan, seluruh istana tahu, terutama Paviliun Selatan," tambah Arcelia sambil mengedipkan sebelah mata pada Lira.Lira hampir tak bisa menahan tawanya, tangannya menutupi mulutnya. Ini... ini benar-benar aksi nakal pertama sang Ratu!"Artinya," lanjut Arcelia, pura-pura polos, "kalau ada yang berencana mengundang atau menunggu Yang Mulia, mereka akan kecewa."Ia menyeruput tehnya dengan anggun, senyuman jahil bermain di sudut bibirnya."Apakah... ini term