Siang itu di Rumah sakit harapan kita beberapa orang nampak berdiri cemas di ruang ICU, termasuk ibuku.
"Ayah tengah kritis. Segera datang ke rumah sakit sekarang. Ini permintaan, Ibu!" Kakakku memerintah lewat sambungan telepon.Aku terpaksa memenuhi permintaan Bu Nabila untuk menikahi Fikri Kamali. Tak kupikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Yang penting aku mampu sampai di hadapan Ibu dengan beberapa gepokan uang dalam tas.Satu jam kemudian, Aku datang ke rumah sakit dengan teregopoh-gopoh memenuhi perintah kakaku. Tampak depan ruang ICU, ada Ibu dan kakakku sedang menunggu sambil berderai air mata. Tak akan kibiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Ayah."Bagaimana keadaan, Ayah?" Aku menatap wajah Kakak dan Ibu secara bergantian.Belum sempat mereka menjawab pertanyaanku, diwaktu yang bersamaan keluarlah pria berjas putih dari dalam ruang ICU lalu mengalihkan perhatian kami."Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" Ibu langsung bertanya. Aku dan kakakku menunggu jawaban Dokter."Pasien baru saja sadar dari koma dan berhasil melewati masa kritisnya. Beliau akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap," jelas Dokter yang membuat Fikri langsung menghela napas lega."Syukurlah." Serentak kami menghela napas lega.Dua hari dua malam Ayah memgalami koma. Aku datang tepat pada waktunya. Kuserahkan tas yang berisi uang senilai tiga puluh juta pada Ibu.Bola mata Ibu dan kakakku seketika membulat terkejut."Dari mana kamu mendapatkan uang sebesar ini, Al?" Ibu sepertinya merasa tak percaya."Dari, Bu Nabila. Beliau pinjamkan uang itu padaku, Bu." Kuturunkan tatapan karena tak berani membalas tatapan Ibu. Aku berusaha menutupi kenyataan.Kulihat Ibu dan kakaku menghela napas lega. Sepertinya alasanku bisa diterima. Hingga akhirnya biaya administrai rumah sakit telah selesai diurus oleh kakakku."Maafkan aku. Aku baru sempat datang menengok ayahmu," ucap seorang pria yang baru datang ke ruangan Ayah. Dia adalah Rangga, kekasihku. Kami bahkan merencanakan pernikahan dua tahun lagi. Dia anak bos petani cabai di kampung. Aku mencintainya bukan karena dia anak orang terkaya di kampung, tapi karena kami saling mencintai.Namun semenjak keadaan Ayah kritis kemarin, aku seperti telah melupakannya. Dia tak dapat membantuku karena tak dapat izin dari ayahnya."Tak apa." Singkat sekali jawaban ini. Dia duduk di dekatku. Mungkin paham dengan keadaanku saat ini."Aku sudah berusaha mencari uang tapi, hanya mampu mendapatkan uang lima juta." Dia menyodorkan amplop putih ke hadapanku. Tangan ini terangkat menolak dengan halus."Tak usah, Rangga. Aku sudah mendapat pinjaman dari majikanku." Aku kembali berbohong.Raut wajah Rangga tampak kecewa. Namun ia tetap memberikan uang hasil jeri payahnya pada Ibu karena memaksa ingin membantu.Entah akan seperti apa ekspresi Rangga nanti. Aku tak bisa jujur dengan kondisiku yang serba salah. Aku yakin pria yang selama ini aku cintai akan marah dan kecewa.'Maafkan jika setelah ini aku akan membuatmu kecewa.' Aku membatin.***Setelah memastikan keadaan Ayah mulai membaik, aku kembali ke kota. Fikri Kamali mengabari kalau keadaan Bu Nabila kembali memburuk."Bagaimana keadaan kamu, Sayang?" Pak Fikri sudah duduk di dekat ranjang istrinya. Mengusap dahi Bu Nabila dengan lembut. Menatapnya penuh rasa cemas. Majikanku yang baik itu kini kembali masuk rumah sakit karena penyakitnya.Beberapa perawat telah memindahkan Bu Nabila ke ruang VVIV. Saat ini di ruangan itu hanya ada Pak Fikri, Bu Nabila dan aku yang menatap kedua majikanku dengan sendu.Aku duduk di sofa paling ujung di ruangan itu. Berusaha tuli dan pura-pura memejamkan mata. Tubuhku lelah."Seperti biasa, Mas. Tak terlalu baik. Mungkin umurku tak akan lama lagi." Suara lemah dan terbata keluar dari mulut Bu Nabila di sertai bibir yang nampak pucat.Mendengar keluhan Bu Nabila, rasanya aku ingin menangis. Mengapa orang sebaik dia harus mengidap penyakit yang mematikan seperti kanker leher rahim.Pria itu segera meluruskan jari telunjuknya di bibir Bu Nabila. "Sstt! Jangan bicara seperti itu, Sayang. Yakinlah, kamu akan sembuh. Kita akan berjuang bersama-sama." Pak Fikri menyemangati.Aku masih saja melihat dari kelopak mata yang sedikit terbuka. Telingaku juga tetap mendengar percakapan keduanya dengan jelas.Ada bulir bening yang menetes di sudut mata Bu Nabila. Mungkin Ia tak kuasa menahan rasa sedihnya. Ia pernah bercerita padaku tentang perasannya yang sedih karena merasa hanyalah wanita tak berguna yang belum mampu memberikan keturunan bagi suaminya, padahal sudah sepuluh tahun menikah."Jangan menangis, Sayang. Apa pun akan aku lakukan demi kesembuhan kamu. Bila perlu, kita ke luar negri. Kita cari Dokter paling bagus untuk menyembuhkan penyakitmu ini." Pak Fikri menyemangati. Namun pasang manik milik Bu Nabila tetap saja mengeluarkan air mata walau dia telah berusaha menghapusnya dengan jemari tangan."Mas, aku ingin bicara dan ini sangat penting," pinta wanita berusia tiga puluh lima tahun itu pada suaminya.Mendengar itu, aku yang tengah pura-pura tidur jadi berdebar cemas."Katakanlah, apa yang ingin kamu bicarakan." Pak Fikri mempersilahkan."Ini tentang permintaanku, Mas," kata Bu Nabila. Dia melirikku di kursi berusaha tak mencampuri percakapan. Bersamaan dengan itu aku masih memilih pura-pura tidur."Tolong jangan gila, Nabila. Kamu akan sehat dan kita akan hidup bahagia setelah ini," tekan Pak Fikri.Sepertinya Bu Nabila sudah mengatakan tentang permintaannya pada Pak Fikri."Mas."Setelah hening dalam beberapa saat, Bu Nabila kembali memanggil suaminya."Jangan memintaku berpaling darimu. Sungguh aku tak akan sanggup," ucap Fikri seperti terdapat kesedihan yang tertahan di tenggorokan."Tidak, Mas. Aku tak pernah memintamu berpaling dariku. Aku hanya tidak mau kamu jatuh pada wanita yang salah. Aku yakin, hanya Alsava yang bisa merawatmu sepeninggalku nanti," lirih Nabila. Bulir bening itu terus saja menetes di pipi wanita pemilik penyakit kanker leher rahim itu. Mungkin karena ia merasa umurnya tak akan lama.Dalam diamku, aku hanya berharap Pak Fikri menolak permintaam istrinya. Karena apalah diriku yang terpaksa menyetujui karena keadaan mendesak."Mas, aku mohon. Ini adalah permintaan terakhirku. Apa kamu tidak mau melihat aku tenang di alam sana?" Suara Bu Nabila seperti masih saja bergelut dengan isak tangis kesedihannya."Mas," panggil Bu Nabila lirih. Pak Fikri seperti ragu mengambil keputusan.Diusapnya pipi Nabila yang sudah basah oleh air mata. "Jangan menangis. Apa pun yang membuat kamu tenang dan bahagia, maka akan aku lakukan." Pak Fikri meyakinkan istrinya."Terima kasih, Mas." Nabila mengukir senyum."Kapan kamu akan melamar, Alsava?" imbuhnya bertanya."Setelah kamu pulang ke rumah," jawab Fikri.Isi dadaku terasa remuk mendengarnya. Apa pernikahanku dengan pria dewasa itu akan benar-benar terjadi? Ya Tuhan, jika uang senilai 30juta itu mampu kuganti, mungkin penolakan akan sanggup kusodorkan."Rangga! Aku butuh bantuanmu." Setengah berbisik aku berbicara pada kekasihku melalui sambungan telepon. Aku sudah keluar dari ruangan Bu Nabila."Bantuan apa, Al? Katakanlah. Jika aku mampu, pasti akan aku lakukan," balas Rangga di seberang sana."Aku butuh uang tiga puluh juta." "Apa!" Sudah bisa ditebak. Kekasihku di kampung pasti terkejut. "Untuk apa, Al?" sambungnya bertanya."Katakan saja. Apa kamu bisa membantu?" Aku berharap penuh pada pria yang aku cintai. Impianku hanyalah bersama dia, bukan pria dewasa yang pantas menjadi bapakku seperti, Fikri Kamali. Aku akan semakin takut saat membayangkan wajahnya, walau terlihat tampan di mata wanita dewasa."Tentu saja aku ingin membantumu, tapi dari mana aku harus mencari uang sebesar itu. Ayahku tak mungkin memberikan secara cuma-cuma, karena dia pelit," terang Rangga di seberang sana."Baiklah tidak apa-apa. Tapi mungkin setelah telepon ini berakhir, maka berakhir pula hubungan kita." Air mataku tiba-tiba merembes keluar."Apa mak
"Kenapa?" Majikanku mengerutkan dahinya. Wajahnya nampak pucat walau telah dipoles make up. Sungguh keadaan yang membuatku tak mampu melukai hatinya.Aku menurunkan tatapan seraya meremas ujung kebaya yang masih kukenakan."Al, jangan takut. Mas Fikri, adalah pria yang baik."Kulihat ada genangan air mata yang terbendung di sudut mata Bu Nabila."Apa ibu baik-baik saja?" Gegas kubertanya tanpa menanggapi apa yang dibicarakannya barusan.Bu Nabila memutar bola matanya seperti menahan tangisan yang hendak luruh. "Saya baik-baik saja. Saya hanya kasihan pada suami saya, Al. Sudah hampir enam bulan lebih dia tak pernah mendapatkan haknya." Air mata majikanku merembes keluar. Aku tak paham. Apa yang dimaksud oleh Bu Nabila."Hak apa, Bu? Mengapa Ibu menangis? Ibu tidak ridho dengan pernikahan ini?" Aku mengusap kening. Sepertinya pertanyaanku tidak nyambung.Kepala Bu Nabila langsung menggeleng. "Bukan tentang itu. Percayalah, saya ridho dengan pernikahan kalian karena ini memang permintaa
Tok tok tok!Suara pintu diketuk. Gegas kuperbaiki kondisi wajah ini."Masuk!" Perintahku pada seseorang dibalik pintu yang entah siapa.Begitu pintu dibuka, ternyata Bu Nabila. Ia masuk seraya mengukir senyum ramah. Ya Tuhan, semoga balasan surga baginya yang rela berbagi suami saat dirinya tak mampu membahagiakan pasangan. Dia meraih tanganku kemudian mengajakku makan malam bersama. Semua keluarga telah berkumpul di ruang makan.Hanya pasang manik Bu Nabila saja yang terlihat indah dalam pandanganku. Tapi tidak dengan keluarganya. Beberapa pasang mata yang hadir di ruang makan nampak melayangkan tatapan sinis. Mereka marah padaku? Apa salahku?Sampai makan malam selesai dan setelah Bu Nabila masuk ke kamar, Omah Rani menarik tangaku."Mau kemana kamu?" Tatapannya tajam bak belati yang hendak menusuk jantung. Ini tak biasanya. Selama Ini Omah Rani selalu baik padaku. Tapi hari ini, ia bagaikan seekor singa yang hendak menerkam."Sa-saya mau ke kamar, Omah," jawabku seraya menunduk h
Teriakanku memancing orang-orang yang ada di kediaman Fikri Kamali mendekat. Ada pembantu rumah tangga yang sempat menjadi farthnerku. Seorang wanita yang usianya pun tak jauh denganku."Ada apa ini, Mba Al?" tanyanya seraya mendekati tubuh Omah Rani yang berada pada pangkuanku. "Omah, pingsan. Katakan pada supir untuk segera menyiapkan mobil. Kita harus bawa Omah ke rumah sakit," perintahku pada Ijah—pembantu rumah tangga di sini. Dia segera melaksanakan perintahku. Selang beberapa menit, supir datang dan kami segera membawa Omah ke rumah sakit. Dalam perjalanan, hati ini merasa cemas. Takut terjadi sesuatu yang membahayakan Omah. Beruntung sesampainya di rumah sakit, para petugas medis langsung sigap melakukan tindakan sehingga jantung Omah Rani masih bisa tertolong."Kamu jahat!" Omah berdesis. Jari telunjuknya mengarah ke posisiku berdiri, padahal selang oksigen nampak menutupi lubang hidungnya. Ia berusaha bicara setelah Naysila—adik Bu Nabila datang."Siapa yang jahat, Ma?" Na
Aku tercengang. Entah dari mana datangnya Naysila. Wanita itu tiba-tiba sudah berada di dekatku dan melayangkan tuduhhan.Gegas kuberdiri untuk memberanikan diri menepis tuduhannya."Saya tidak seburuk yang Mba Naysila pikirkan," bantahku. "Sayangnya saya sudah yakin dengan pikiran saya. Kamu hanyalah gadis desa yang matre yang hanya mengincar harta kakak ipar saya kemudian pergi dengan laki-laki itu kan!" Jari telunjuk Naysila mengarah pada wajah Rangga."Maaf ya, Bu. Saya tidak mau ikut campur dengan masalah kalian. Urus saja masalah kalian." Rangga kemudian pergi dan tak menoleh lagi ke arahku. Untuk apa dia datang kalau membelaku saja bahkan sudah tak sudi dia lakukan."Heh dasar! Kamu pikir saya Ibu kamu apa!" teriak Naysila pada Rangga yang tetap dengan langkah yang cepat meninggalkan kami berdua."Tidak sopan sekali laki-laki itu. Memang dasar orang desa seperti kalian tidak punya tatak rama ya!" Naysila masih saja mengeluarkan kekesalannya."Tergantung siapa yang mengajak bic
Seketika aku terperangah melihat isi kotak itu. Isinya adalah satu set perhiasan emas berwarna putih yang berkilau. Kalauannya bahkan langsung menyegarkan mata wanita mana pun yang melihatnya."Indah sekali ini, Bu. Saya tidak pantas memiliki ini," tolakku dengan halus. Aku memang tak pantas memiliki perhiasan yang mahal itu."Tentu saja kamu, Pantas. Kamu adalah, Nyonya Fikri. Pakailah perhiasan itu, saya ingin melihatnya."Semakin ke sini, rasanya aku kian bingung saja dengan Bu Nabila. Ada apa dengan dirinya, sehingga ingin sekali membahagiakanku. Kalau sudah melihat tatapannya yang layu, mana bisa aku menolak."Saya akan pakai nanti saja ya, Bu. Hari ini saya belum mandi." Aku beralasan. Akhirnya Bu Nabila tersenyum kemudian meraih tanganku."Titip suami saya ya. Jaga Mas Fikri sampai kalian menua nanti," ucapnya sendu dan menyentuh jantungku. Aku pun mengangguk segera, tanpa paksaan.Bagaimana bisa aku menolak permintaan Bu Nabila. Wanita itu terlihat pucat dan layu. Aku tak bisa
Tangisan Omah Rani dan Naysila pecah di kamar itu. Aku dan Ijah yang masih berdiri di ambang pintu turut sendu dan meluruhkan air mata. Sementara Fikri Kamali, pria yang selama ini kukenal kuat, kini terlihat rapuh. Air matanya yang mungkin sedari tadi susah payah dibendung, kini tampak membasahi wajahnya yang sendu. Pak Fikri terlihat hancur."Nabila..." lirih Omah Rani meluapkan kesedihan. Inginnya aku mendekati mereka, tapi saat kaki mulai melangkah, Naysila merentangkan tangannya."Pergi kamu dari sini," desis Naysila mengusirku. Dia mendorong tubuh ini dua langkah kebelakang. Aku menghargainya yang tengah bersedih. Tak boleh ada keributan di tengah kesenduan.Raungan tangisan terdengar dari kamar Bu Nabila. Aku yang kini berada di ruang tengah sampai tak mampu menahan kesedihan.Bagaimana tidak bersedih, Bu Nabila adalah wanita berhati peri. Dia selalu menolongku dalam kesusahan. Aku terduduk di atas sofa. Kaki ini rasanya lemas saat kesedihan menyelimuti diri.Tiba-tiba lengan
"Sa-saya?" Aku menunjuk diri sendiri. Sungguh perasaan ini tak enak. "Iya kamu, Al. Kemarilah," titah Omah Fira—mamahnya Pak Fikri sekali lagi.Aku melangkah berat menuju sofa yang dimaksud Omah Fira. Di ruang tengah itu, semua keluarga Pak Fikri masih berkumpul. Hanya aku yang bukan siapa-siapa, turut bergabung di sana."Mulai sekarang, Mama titip Fikri sama kamu ya," ucap Omah Fira membuat wajahku mendongak terkejut."Maksudnya?" tanyaku setengah berdesis.Ada yang membuat hati ini terharu saat Omah Fira menyebut dirinya Mama untukku. Omah Fira Memang jauh berbeda dengan Omah Rani yang selalu saja menghinaku."Harus kamu pahami, Al. Fikri tak memiliki siapa-siapa lagi selain Mama dan kamu. Setelah ayahnya meninggal, Fikri hanya tinggal sama Mama. Tapi Mama tidak bisa di sini karena Mama juga ada rumah. Kamu urus suami kamu dengan baik. Mama titip Fikri sama kamu. Jadilah istri yang membuat suaminya nyaman," tutur Omah Fira dengan lembut. Sebelah tangannya bahkan mengusap rambutku d