Share

Bab 2 Permintaan Terakhir

Siang itu di Rumah sakit harapan kita beberapa orang nampak berdiri cemas di ruang ICU, termasuk ibuku.

"Ayah tengah kritis. Segera datang ke rumah sakit sekarang. Ini permintaan, Ibu!" Kakakku memerintah lewat sambungan telepon.

Aku terpaksa memenuhi permintaan Bu Nabila untuk menikahi Fikri Kamali. Tak kupikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Yang penting aku mampu sampai di hadapan Ibu dengan beberapa gepokan uang dalam tas.

Satu jam kemudian, Aku datang ke rumah sakit dengan teregopoh-gopoh memenuhi perintah kakaku. Tampak depan ruang ICU, ada Ibu dan kakakku sedang menunggu sambil berderai air mata. Tak akan kibiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Ayah.

"Bagaimana keadaan, Ayah?" Aku menatap wajah Kakak dan Ibu secara bergantian.

Belum sempat mereka menjawab pertanyaanku, diwaktu yang bersamaan keluarlah pria berjas putih dari dalam ruang ICU lalu mengalihkan perhatian kami.

"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" Ibu langsung bertanya. Aku dan kakakku menunggu jawaban Dokter.

"Pasien baru saja sadar dari koma dan berhasil melewati masa kritisnya. Beliau akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap," jelas Dokter yang membuat Fikri langsung menghela napas lega.

"Syukurlah." Serentak kami menghela napas lega.

Dua hari dua malam Ayah memgalami koma. Aku datang tepat pada waktunya. Kuserahkan tas yang berisi uang senilai tiga puluh juta pada Ibu.

Bola mata Ibu dan kakakku seketika membulat terkejut.

"Dari mana kamu mendapatkan uang sebesar ini, Al?" Ibu sepertinya merasa tak percaya.

"Dari, Bu Nabila. Beliau pinjamkan uang itu padaku, Bu." Kuturunkan tatapan karena tak berani membalas tatapan Ibu. Aku berusaha menutupi kenyataan.

Kulihat Ibu dan kakaku menghela napas lega. Sepertinya alasanku bisa diterima. Hingga akhirnya biaya administrai rumah sakit telah selesai diurus oleh kakakku.

"Maafkan aku. Aku baru sempat datang menengok ayahmu," ucap seorang pria yang baru datang ke ruangan Ayah. Dia adalah Rangga, kekasihku. Kami bahkan merencanakan pernikahan dua tahun lagi. Dia anak bos petani cabai di kampung. Aku mencintainya bukan karena dia anak orang terkaya di kampung, tapi karena kami saling mencintai.

Namun semenjak keadaan Ayah kritis kemarin, aku seperti telah melupakannya. Dia tak dapat membantuku karena tak dapat izin dari ayahnya.

"Tak apa." Singkat sekali jawaban ini. Dia duduk di dekatku. Mungkin paham dengan keadaanku saat ini.

"Aku sudah berusaha mencari uang tapi, hanya mampu mendapatkan uang lima juta." Dia menyodorkan amplop putih ke hadapanku. Tangan ini terangkat menolak dengan halus.

"Tak usah, Rangga. Aku sudah mendapat pinjaman dari majikanku." Aku kembali berbohong.

Raut wajah Rangga tampak kecewa. Namun ia tetap memberikan uang hasil jeri payahnya pada Ibu karena memaksa ingin membantu.

Entah akan seperti apa ekspresi Rangga nanti. Aku tak bisa jujur dengan kondisiku yang serba salah. Aku yakin pria yang selama ini aku cintai akan marah dan kecewa.

'Maafkan jika setelah ini aku akan membuatmu kecewa.' Aku membatin.

***

Setelah memastikan keadaan Ayah mulai membaik, aku kembali ke kota. Fikri Kamali mengabari kalau keadaan Bu Nabila kembali memburuk.

"Bagaimana keadaan kamu, Sayang?" Pak Fikri sudah duduk di dekat ranjang istrinya. Mengusap dahi Bu Nabila dengan lembut. Menatapnya penuh rasa cemas. Majikanku yang baik itu kini kembali masuk rumah sakit karena penyakitnya.

Beberapa perawat telah memindahkan Bu Nabila ke ruang VVIV. Saat ini di ruangan itu hanya ada Pak Fikri, Bu Nabila dan aku yang menatap kedua majikanku dengan sendu.

Aku duduk di sofa paling ujung di ruangan itu. Berusaha tuli dan pura-pura memejamkan mata. Tubuhku lelah.

"Seperti biasa, Mas. Tak terlalu baik. Mungkin umurku tak akan lama lagi." Suara lemah dan terbata keluar dari mulut Bu Nabila di sertai bibir yang nampak pucat.

Mendengar keluhan Bu Nabila, rasanya aku ingin menangis. Mengapa orang sebaik dia harus mengidap penyakit yang mematikan seperti kanker leher rahim.

Pria itu segera meluruskan jari telunjuknya di bibir Bu Nabila. "Sstt! Jangan bicara seperti itu, Sayang. Yakinlah, kamu akan sembuh. Kita akan berjuang bersama-sama." Pak Fikri menyemangati.

Aku masih saja melihat dari kelopak mata yang sedikit terbuka. Telingaku juga tetap mendengar percakapan keduanya dengan jelas.

Ada bulir bening yang menetes di sudut mata Bu Nabila. Mungkin Ia tak kuasa menahan rasa sedihnya. Ia pernah bercerita padaku tentang perasannya yang sedih karena merasa hanyalah wanita tak berguna yang belum mampu memberikan keturunan bagi suaminya, padahal sudah sepuluh tahun menikah.

"Jangan menangis, Sayang. Apa pun akan aku lakukan demi kesembuhan kamu. Bila perlu, kita ke luar negri. Kita cari Dokter paling bagus untuk menyembuhkan penyakitmu ini." Pak Fikri menyemangati. Namun pasang manik milik Bu Nabila tetap saja mengeluarkan air mata walau dia telah berusaha menghapusnya dengan jemari tangan.

"Mas, aku ingin bicara dan ini sangat penting," pinta wanita berusia tiga puluh lima tahun itu pada suaminya.

Mendengar itu, aku yang tengah pura-pura tidur jadi berdebar cemas.

"Katakanlah, apa yang ingin kamu bicarakan." Pak Fikri mempersilahkan.

"Ini tentang permintaanku, Mas," kata Bu Nabila. Dia melirikku di kursi berusaha tak mencampuri percakapan. Bersamaan dengan itu aku masih memilih pura-pura tidur.

"Tolong jangan gila, Nabila. Kamu akan sehat dan kita akan hidup bahagia setelah ini," tekan Pak Fikri.

Sepertinya Bu Nabila sudah mengatakan tentang permintaannya pada Pak Fikri.

"Mas."

Setelah hening dalam beberapa saat, Bu Nabila kembali memanggil suaminya.

"Jangan memintaku berpaling darimu. Sungguh aku tak akan sanggup," ucap Fikri seperti terdapat kesedihan yang tertahan di tenggorokan.

"Tidak, Mas. Aku tak pernah memintamu berpaling dariku. Aku hanya tidak mau kamu jatuh pada wanita yang salah. Aku yakin, hanya Alsava yang bisa merawatmu sepeninggalku nanti," lirih Nabila. Bulir bening itu terus saja menetes di pipi wanita pemilik penyakit kanker leher rahim itu. Mungkin karena ia merasa umurnya tak akan lama.

Dalam diamku, aku hanya berharap Pak Fikri menolak permintaam istrinya. Karena apalah diriku yang terpaksa menyetujui karena keadaan mendesak.

"Mas, aku mohon. Ini adalah permintaan terakhirku. Apa kamu tidak mau melihat aku tenang di alam sana?" Suara Bu Nabila seperti masih saja bergelut dengan isak tangis kesedihannya.

"Mas," panggil Bu Nabila lirih. Pak Fikri seperti ragu mengambil keputusan.

Diusapnya pipi Nabila yang sudah basah oleh air mata. "Jangan menangis. Apa pun yang membuat kamu tenang dan bahagia, maka akan aku lakukan." Pak Fikri meyakinkan istrinya.

"Terima kasih, Mas." Nabila mengukir senyum.

"Kapan kamu akan melamar, Alsava?" imbuhnya bertanya.

"Setelah kamu pulang ke rumah," jawab Fikri.

Isi dadaku terasa remuk mendengarnya. Apa pernikahanku dengan pria dewasa itu akan benar-benar terjadi? Ya Tuhan, jika uang senilai 30juta itu mampu kuganti, mungkin penolakan akan sanggup kusodorkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status