Share

Bab 3 Terpaksa Menikah

"Rangga! Aku butuh bantuanmu." Setengah berbisik aku berbicara pada kekasihku melalui sambungan telepon. Aku sudah keluar dari ruangan Bu Nabila.

"Bantuan apa, Al? Katakanlah. Jika aku mampu, pasti akan aku lakukan," balas Rangga di seberang sana.

"Aku butuh uang tiga puluh juta."

"Apa!" Sudah bisa ditebak. Kekasihku di kampung pasti terkejut. "Untuk apa, Al?" sambungnya bertanya.

"Katakan saja. Apa kamu bisa membantu?" Aku berharap penuh pada pria yang aku cintai. Impianku hanyalah bersama dia, bukan pria dewasa yang pantas menjadi bapakku seperti, Fikri Kamali. Aku akan semakin takut saat membayangkan wajahnya, walau terlihat tampan di mata wanita dewasa.

"Tentu saja aku ingin membantumu, tapi dari mana aku harus mencari uang sebesar itu. Ayahku tak mungkin memberikan secara cuma-cuma, karena dia pelit," terang Rangga di seberang sana.

"Baiklah tidak apa-apa. Tapi mungkin setelah telepon ini berakhir, maka berakhir pula hubungan kita." Air mataku tiba-tiba merembes keluar.

"Apa maksud kamu, Alsava? Katakan kalau ini hanya lelucon." Rangga memprotes.

Segera kuakhiri sambungan telepon dengan Rangga yang detik itu pula akan menjadi mantan kekasih. Aku tak bisa berbicara lagi. Kusenderkan punggung ini pada dinding tembok kamar bersamaan dengan tumpahan air mata yang mengalir deras di pipi.

Tak boleh ada yang tahu mengenai deritaku hari ini, termasuk orang tuaku yang telah kembali sehat.

Aku memeluk lutut yang kutekuk. Kusembunyikan wajah sendu dibaliknya. Pernikahan itu mungkin akan benar-benar terjadi karena aku tak punya pilihan lain. Bahkan Rangga, pria yang kucintai pun tak mampu menyelamatkanku.

Bisa-bisanya Pak Fikri menyetujui permintaan Bu Nabila, dia bahkan telah mengirimkan sejumlah uang pada keluargaku di kampung. Dia dan Bu Nabila juga telah mengatakan niatnya pada keluargaku.

Aku kini berada di rooftop kediaman Kamali. Sepintas ingin meloncat dan mengakhiri semuanya, tapi bagaimana dengan orang tuaku. Mereka akan terpukul. Itu hanya akan memperburuk keadaan.

Derttt...

Ponselku bergetar. Bu Nabila menelepon. Mungkin dia mencari keberadaanku. Setelah memperbaiki perasaan, gegas kugeser tombol berwarna hijau pada layar ponsel.

"Iya, Bu!"

"Kamu dimana? Saya menunggu di ruang keluarga sekarang." Suara Bu Nabila memerintah di balik telepon.

"Baik, Bu," balasku, kemudian benda pipih itu kutunkan dari telinga.

Semoga wajah ini tak menampakan sendu usai menangis. Gegas kulangkahkan kaki menuju ruang keluarga. Aku duduk di sofa yang berseberangan dengan majikanku, Fikri Kamali dan Nabila Maharani. Kuukir senyum manis di hadapan sepasang suami istri itu.

"Pernikahan akan berlangsung minggu depan. Apa kamu sudah siap?" Suara Bu Nabila terdengar lembut.

Namun, wajahku seketika mendongak terkejut. Jangankan untuk menolak, protes saja aku tak sanggup. Wajah Bu Nabila teramat mengkhawatirkan jika aku menyakiti perasaannya. Dia mempercayakan sepenuhnya padaku. Wajah pucat tanpa polesan make up semakin memperjelas kalau penyakit Bu Nabila memang sudah parah.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk tanpa bisa bersuara. Ada yang tengah kubendung sekuat tenaga, yakni air mata. Jangan sampai pasang manik ini menjatuhkan bulir kesedihan di hadapan Bu Nabila. Wanita yang kebaikannya bak peri, membuatku tak bisa menolak permintaannya.

Akhirnya satu minggu yang tak kunantikan sudah tiba. Aku duduk di depan cermin yang besar. Seseorang tengah memoles wajahku dengan make up pengantin. Keluargaku juga telah tiba di kediaman Kamali karena acara pernikahan akan dilangsungkan di sini.

"Mengapa Ibu harus menyetujui pernikahan ini?" Aku memberanikan diri bertanya saat Ibu kandungku duduk di kursi sebelah. Ada bulir bening yang berusaha kubendung pada pasang manikku.

Ibu mengusap punggung tanganku. "Bu Nabila, sudah menceritakan niat baiknya pada, Ibu. Lagi pula, Pak Fikri pria mapan. Dia bahkan mampu menghidupi kamu sampai tujuh turunan." Bola mata wanita yang telah melahirkanku nampak berbinar.

Tak kusangka Ibu mengharapkan sesuatu yang lebih dari sekedar keselamatan Ayah. Bulir bening seketika merembes keluar dari sarangnya saat Ibu telah berlalu.

"Jangan menangis, Nona. Ini bisa membuat make up luntur kembali," protes MUA. Aku diam saja lalu menghapus air mataku. Dia pun kembali memoles wajah sendu ini.

Semua nampak duduk dengan rapi di kursi yang sudah disediakan. Aku berjalan didampingi Ibu. Kulihat tatapan Ayah yang duduk di kursi roda nampak berbinar melihatku memakai kebaya pernikahan. Apa yang telah terjadi dengan kedua orang tuaku, sehingga tampak bangga atas pernikahan ini. Jujur, aku tak mau jadi istri kedua apalagi menikah dengan pria yang seusia Ayah. Wajah Pak Fikri terlalu menyeramkan saat kubayangkan.

Aku telah duduk di depan penghulu. Sementara di sampingku nampak pria yang sebentar lagi akan jadi suami, Fikri Kamali. Meski pun ia tampan dengan brewok bak raja arab, tapi dia bukan pria yang aku inginkan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Alsava Mahira binti Mahmudin dengan mas kawin sebuah mobil pajero berwarna putih dibayar kontan!"

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah!"

Aku tercengang. Tak kusangka kalau maharnya adalah sebuah mobil yang akan diserahkan pada orang tuaku. Pantas saja Ayah dan Ibu merasa senang. Napasku tiba-tiba tersengal. Kuusap wajah ini dengan kasar, berharap semua hanya mimpi.

Pernikahan ini hanya digelar sederhana. Tatkala acara selesai, keluargaku langsung berpamitan pulang. Mereka dengan bangga langsung membawa mobil pajero berwarna putih yang merupakan mahar yang diberikan, Pak Fikri.

Ditengah-tengah perasaan tegang yang menyelimuti pikiran, sebelah tangan terasa menepuk bahu membuatku membeliak terkejut.

"Omah!"

Bagaimana tidak terkejut. Mamahnya Bu Nabila menarik tanganku. Saat ini kami berada di ruang sebelah, sedikit menghindar dari keramaian.

"Apa yang kamu harapkan dari menantu saya?" Omah Rani bertanya. Wanita paruh baya itu nampak melayangkan tatapan nanar kepadaku.

"Apa maksudnya, Omah? Saya tidak paham." Aku sedikit aneh. Tatapan Omah tak seramah biasanya. Seperti belati tajam yang hendak menusuk ulu hati.

"Saya tahu, kamu mengincar harta menantu saya kan?! Awas kamu ya. Saya tak akan biarkan gadis yang berlaga polos seperti kamu, merebut harta yang seharusnya menjadi milik, Nabila!" tuduh Omah Rani bernada ancaman. Ia meluruskan jari telunjuknya pada wajahku.

Aku menggelengkan kepala menepis tuduhannya. "Tidak seperti itu, Omah."

"Halah! Apalagi yang diincar wanita miskin seperti kamu kalau bukan uang!" cibirnya begitu tajam. Omah Rani kemudian pergi membawa raut wajahnya yang sinis.

Sementara aku masih berdiri dengan napas yang terasa kian sesak. Aku mengusap dada yang isinya bergemuruh resah.

Tak kusangka Omah Rani menjadi galak, padahal sebelumnya sangat baik padaku.

"Sedang apa sendirian di sini, Al?" Suara Bu Nabila menyadarkanku dari lamunan singkat.

"Tak apa-apa, Bu." Aku menundukan wajah. Kusembunyikan keresahan yang menghasut jiwa.

"Malam ini kamu sudah bisa tidur di kamar pengantin bersama suami kamu, Mas Fikri."

Wajahku mendongak paksa mendengar penuturan Bu Nabila. Bagaimana bisa dia membiarkan suaminya tidur bersamaku.

"Jangan malam ini, Bu. Saya mohon!" Aku menautkan kedua tangan memasang wajah memelas. Sungguh mengerikan jika membayangkan pria dewasa seperti Pak Fikri, menyentuh tubuh mungilku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status