Share

Dinikahi Majikan Jutek
Dinikahi Majikan Jutek
Penulis: Al Fahri

Bab 1 20 Juta

"Apa! 20 juta!"

Beberapa orang di minimarket tersentak mendengar suaraku yang bernada tinggi. Namaku Alsava Mahira, aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kediaman Kamali. saat ini aku tengah berbelanja kebutuhan dengan majikanku, Nabila Maharani. Namun sepertinya harus tertunda saat ada panggilan masuk pada handphone milikku.

Bagaimana tidak terkejut mendapat telepon dari kampung bahwasannya ayahku tengah berada di rumah sakit dan terkena struk. Suara Ibu bahkan terdengar menangis terseguk-seguk.

"Apa aku tidak salah dengar, Bu?" Aku memastikan lagi. Dadaku tiba-tiba terasa sesak.

"Benar, Alsava. Ibu sudah berusaha mencari pinjaman ke tetangga dan saudara, tapi tak satu pun dari mereka bisa membantu. Uang 20 juta terlalu besar bagi mereka untuk dipinjamkan kepada kita yang miskin," lirih Ibu di sebrang sana. Air mataku merembes keluar tak bisa menahan pilu.

Segera kuusap air mata ini. Kucoba menarik napas begitu dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan.

"Al, kenapa kamu diam saja?" Suara ibu memecah keheingan dalam sesaat.

"I-iya, Bu. Al, akan cari jalan keluarnya ya. Akan Al usahakan untuk mendapatkan uang 20 juta," balasku. Setelah itu sambungan telepon berakhir.

"Untuk apa uang sebanyak itu, Al?"

Suara sopran seketika membuatku mendongak paksa. Tak sadar dengan keberasaan Bu Nabila yang ternyata berada di dekatku.

"Bu-bukan apa-apa, Bu. Salah sambung." Aku hanya berusaha mengelak. Tak bisa kuceritakan masalah internal keluarga di kamping kepadanya.

"Mana bisa salah sambung. Kamu memanggil Ibu pada seseroang dalam sambungan telepon tadi," tekan Bu Nabila membuatku semakin gugup.

Aku memang sudah dua tahun bekerja sebagai pembantu di rumahnya, tapi aku tak bisa memanfaatkan kebaikannya selama ini. Bu Nabila menganggapku bagai adiknya, begitu pun sebaliknya denganku yang menganggapnya bagaikan Kakak.

Tapi, berbeda dengan suaminya, Pak Fikri. Pria berusia empat puluh tahun itu selalu jutek kepadaku bahkan terkadang marah tanpa alasan.

"Hei, Alsava Mahira!"

Bu Nabila melambaikan tangannya di depan wajahku. Tak sadar kalau diri ini sempat melamun.

"Maaf, Bu." Aku menurunkan tatapan.

Sial, pasang manik ini tak bisa diajak kompromi. Ada genangan air mata saat mengingat kesusahan yang tengah dialami orang tuaku di kampung.

"Ayo ikut saya!"

Bu Nabila menarik lembut tangan ini. Akan dibawa kemana aku? Padahal kan aku dan majikanku ini berniat berbelanjan bulanan.

Bu Nabila membawaku ke restaurant amerika yang berada di lantai tiga di gedung yang sama.

"Duduk karena kita harus bicara!" Telunjuk Bu Nabila melurus pada kursi yang berada di sampingku. Tak bisa kubantah karena raut wajah majikanku tampak serius.

"Kenapa jadi ke sini, Bu?" Kuberanikan diri bertanya.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu, Alsava," jawab Bu Nabila. Kali ini wajahnya nampak sendu, sama halnya denganku. Aku mengangguk saja sebagai tanda paham dengan maksudnya.

"Kamu tahu kan saya sering bolak-balik rumah sakit?"

Aku mengangguk saat Bu Nabila bertanya.

"Kamu juga tahu kan kalau saya sering mengeluh pada bagian perut?"

Aku mengangguk lagi mengiyakan pertanyaan majikanku. Bu Nabila memang sering masuk rumah sakit. Imunitas tubuhnya lemah dan sering mengeluh sakit pada perutnya tapi sampai detik ini aku tak diberitahu mengenai penyakitnya. Aku hanya tahu, rambutnya yang perlahan mulai rontok.

"Saya ingin agar kamu menikah dengan, Mas Fikri."

Kalimatnya kali ini membuat kedua bola mataku membulat sempurna. "Apa!"

Apa mungkin Bu Nabila sedang bergurau? Bagaimana bisa dia menginginkan aku menikahi suaminya. Kepala ini menggeleng dengan sendirinya.

"Tidak, Bu." Bahkan lidah pun turut menolak mewakili isi hati.

"Kenapa?" Bu Nabila masih saja bertanya 'kenapa' padaku.

"Tidak, Bu. Saya tidak bisa. Saya belum siap menikah dengan pria mana pun," jawabku dengan tegas.

"Bagaimana jika saya bisa membantu kamu memenuhi kebutuhan keluargamu? Saya bisa memberimu uang 20 juta, bahkan lebih dari itu." Bu Nabila menyodorkan penawaran.

Bagaimana bisa?

Aku mengusap wajah dengan kasar. Bagaimana bisa Bu Nabila melakukan itu.

"Tolong jangan bercanda, Bu." Aku hanya berusaha mengelak. Semua ucapan Bu Nabila terasa janggal.

"Saya serius, Alsava! Bagaimana bisa kamu menganggap permintaan saya hanya sebuah lelucon!" Bola mata Bu Nabila nampak berkaca-kaca. Ada apa dengan wanita dewasa ini? Aku tak paham. Usiaku masih muda bahkan tak mengerti dengan masalah orang dewasa.

Aku menelan saliva berat. Kupandangi wajah Bu Nabila. Tak ada garis lelucon yang seperti aku pikirkan. Wajahnya nampak serius. Bahkan sepasang manik yang sempat berkaca-kaca itu, kini terlihat mulai menetes di pipinya.

"Kenapa, Bu? Saya yakin, tidak ada wanita yang rela dimadu. Mengapa Bu Nabila melakukan ini?" Pertanyaan itu keluar begitu saja. Mungkin karena aku sudah akrab dan dekat dengannya.

"Karena saya sakit. Usia saya tak akan lama lagi, begitu vonis Dokter," terangnya. Bu Nabila nampak mengusap pipinya yang basah.

Bersamaan dengan itu aku pun terkejut seraya menutup mulut yang terbuka.

"Saya tidak mau, Mas Fikri jatuh pada wanita yang salah." Bu Nabila menatapku.

"Saya lihat, kamu sudah mulai piawai mengurus keperluan Mas Fikri. Lagi pula, masakan kamu pun sudah melekat di lidah suami saya. Saya percaya sama kamu, Alsava. Kamu gadis baik-baik dari desa. Kamu wanita yang tulus. Saya memilih kamu berdasarkan pertimbangan yang panjang. Percayalah, tidak mudah membuat keputusan seberat ini," jelasnya lagi.

Entahlah aku belum bisa memutuskan apa-apa. Pikiranku kacau. Percakapan dengan Bu Nabila bahkan membuatku tak bisa tidur malam ini. Bagaimana mungkin aku menikah dengan Fikri Kamali yang usianya bahkan lebih pantas menjadi Ayah dibanding suami. Ditambah dengan rentetan pesan yang masuk dari ibuku. Poto keadaan ayahku yang sedang kritis bahkan berhasil memporak-porandakan perasaan ini.

Ting!

Suara notipikasi membuyarkan lamunanku. Pesan masuk lagi-lagi dari Ibu lagi. Gegas kubuka dan kubaca.

"Alsava, keadaan Ayah makin parah. Bagaimana ini? Tidak ada tindakan apa-apa jika perjanjian operasi belum disetujui. Ibu tak memiliki uang sama sekali. Tolong ayahmu, Nak."

Hatiku kembali teriris usai membaca pesan untuk yang kesekian kalinya dari Ibu. Tanpa pikir panjang, gegas kubalas pesan dari Ibu agar ayahku segera dilakukan tindakan.

"Lakukan yang terbaik, Bu. Besok Alsava akan pulang membawa uang yang Ibu butuhkan." Pesan itu segera kukirim pada Ibu, agar Ayah segera ditolong.

***

"Bagaimana keputusan kamu, Alsava?" Bu Nabila kembali mendesakku.

Kepala ini menunduk sehingga akhirnya mengangguk. Tak ada yang kupikirkan selain keselamatan ayahku. Biarkan aku menjual diri demi seseorang yang berharga dalam hidupku.

Bu Nabila menyeringai senang melihat anggukan kepala dariku. Namun seketika hatiku dibuat ragu saat Fikri Kamali keluar dari kamar menghampiri kami di ruang tengah.

Pria dewasa bertubuh tinggi berisi dengan kumis tipis di atas bibir. Bahkan dagunya tampak dilebati oleh bulu yang tebal. Aku bergidik ngeri. Apa aku akan sanggup menjadi istri kedua laki-laki dewasa itu? Terasa menyeramkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status