Beberapa bulan berlalu semenjak perkenalannya dengan Mario, Vena masih belum percaya sudah menikah lagi.
Kini, dua Minggu usia pernikahan mereka— dan, dia sering ikut sang suami untuk pergi urusan bisnis. Iya, seperti sekarang. Dia menunggu di restoran hotel, tangan sibuk memainkan ponsel. Namun, ketenangannya terganggu ketika suara langkah kaki mendekat. "Kamu lagi?!" Suara wanita yang tak asing tengah menegur Vena. Vena menoleh, dan dikejutkan dengan kehadiran Daniel dan Bianka. "Kalian?" Sudah enam bulan sejak bercerai, luka pengkhianatan itu masih belum pulih. Sekarang, dia harus melihat wajah mantan suami lagi. Bianka menuduh, "kamu diam-diam mengikuti kami sampai ke hotel ini!? Sudah aku duga dari dulu, kamu ini stalker!" "Jangan sembarangan kalau ngomong!" Vena tersinggung. Dia berdiri dengan terus memandang tajam ke Bianka. Dia menegaskan, "mana mungkin aku mengikuti kalian ke sini? Buat apa juga?" "Ya buat cari perhatian. Kamu selalu berusaha ketemu Mas Dani! Kamu nggak terima dicerai 'kan? Belum move on sampai sekarang? Tolong sadar, Mas Dani ini suamiku sekarang!" "Kenapa kamu selalu menuduhku begitu setiap kita ketemu?" "Akui saja kamu masih berharap rujuk. Kamu nggak terima soalnya aku sekarang yang jadi Nyonya Bianka Adinata 'kan?" Vena mengalihkan pandangan ke mantan suami yang tampak acuh tak acuh. "Dani, bilang sama istri baru kamu yang posesif ini buat nggak bikin drama di tempat umum kayak gini." Dengan sinis, Daniel merespon, "sebenarnya Bianka nggak salah, kamu memang mengikuti kami 'kan? Kamu mengikuti kami sampai ke restoran hotel ini. Minggu lalu, aku juga dapat kabar dari satpam rumahku kalau ada wanita gila yang suka keliling dekat pagar. Siapa lagi kalau bukan kamu?" "Hah?!" Vena terkejut dituduh begitu. Dia menggeleng cepat, lalu membantah, "jangan ngawur! Buat apa aku buang-buang waktu buat mengintai kamu? Ini pertemuan pertama kita setelah enam bulan kita pisah." "Jangan berharap apa-apa, Vena, kita sudah cerai, jangan ganggu aku lagi. Jangan jadi stalker." "Aku bukan stalker!" Bianka tertawa mengejek. Dia bicara ke suaminya, "jangan percaya, Mas. Dulu mantan istri kamu ini juga ke kafe tempat kamu biasa datangi, pasti berharap ketemu kamu." "Bisa-bisanya kamu mikir sejauh itu? Apa seluruh kegiatanku harus dikaitkan dengan kalian?“ "Terus ngapain kamu ada di hotel ini kalau bukan mengikuti kami? Gimana ceritanya kamu bisa ada di hotel bintang lima?" "Bukan kalian saja yang bisa ke hotel ini. Kebetulan saja kita ketemu." "Ya dipikir, dong! Janda miskin mana mampu masuk ke hotel bintang lima? Meja kamu saja kosong, berarti nggak pesan makan apa-apa 'kan? Itu jelas, soalnya tujuan kamu cuma buat dekat-dekat sama kami." "Cepat ngaku, Vena— kamu mengikuti kami sendiri atau dapat info dari orang lain kalau kami menginap di hotel ini?" Daniel ikut menyudutkan. Pandangan matanya begitu tajam nan angkuh. "Ayo ngaku!" "Mana mungkin si janda miskin ini ngaku, Mas," sahut Bianka bernada sinis. Vena mengepalkan kedua tangan. Dia terluka, marah, dan sangat ingin mencakar wajah Bianka. "Aku saja nggak tahu kalian ada di sini ... dan, tolong, Bianka, jangan menghinaku janda miskin terus!” Bianka ingin tertawa. "Kenyataan 'kan memang janda? Oh atau jangan-jamgan kamu sudah nikah sama Mas-Mas pedagang asongan kerempeng dekil dulu itu, ya?“ "Diam kamu!” “Aku tahu hidup jadi janda atau istri pria miskin itu sulit, Vena. Makanya kamu mau merebut suamiku, iya 'kan? Kamu nggak bisa hidup tanpa uangnya, tapi jangan jahat begini, sadar diri, dong— Mas Dani sudah nggak mau sama kamu!" Bianka sengaja menaikkan suaranya agar diperhatikan beberapa tamu yang ada di restoran hotel. Dengan begitu, dia bisa mempermalukan Vena habis-habisan. Terbakar emosi, Vena menuding wajah Bianka sambil menegaskan, "aku bukan pelakor nggak waras kayak kamu. Aku punya harga diri, nggak murahan sepertimu!" "Hei!" Daniel menepis tangan Vena dari wajah Bianka. Otot-otot wajahnya menegang, pertanda mulai marah. Dia balik menuding wajah Vena. "Jangan seenaknya menghina Bianka. Dia ini istriku sekarang, istri Daniel Adinata! Jangan seenaknya menghina!" "Dia duluan yang menghinaku!" Bianka bersikap manja dengan melingkarkan tangan di lengan suaminya. Dia pura-pura ketakutan saat menghasut, "aku takut banget, Sayang. Apa kubilang— mantan istri kamu obsesi sama kamu. Dia mengikuti kita terus. Aku takut dia melukaiku nanti. Mending suruh satpam buat usir dia dari hotel ini." Daniel masih memandang rendah Vena. "Kamu dengar 'kan istriku ngomong apa? Kamu mau pergi sendiri atau aku panggil satpam buat ngusir kamu?" "Seenaknya saja kamu ngusir aku! Kamu nggak bisa ngusir aku begitu saja! Ini juga bukan hotel milik kamu. Kamu bukan siapa-siapa!" "Justru aku yang harusnya bilang kalau kamu itu bukan siapa-siapa, Vena. Kalau aku suruh satpam ngusir kamu, jelas kamu diusir. Aku berhak ngusir stalker yang buat aku nggak nyaman." Usai berkata demikian, tiba-tiba ada suara dari belakang mereka yang berseru, "siapa kalian berani ngusir istri saya dari sini?" Daniel dan Bianka kompak menoleh, langsung dibuat penasaran dengan sosok pria tampan yang berpenampilan begitu parlente. Ekspresi wajah pria itu kian dingin, sorot mata pun menajam kepada Daniel. Dengan suara angkuh, dia menantang lagi, "jangan malah diam saja, ayo bicara! Apa hak kalian berani ngusir istri saya dari sini?" ***Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,