"Hanya karena istri saya kebetulan ketemu kamu sekarang di sini, terus kamu tuduh stalker?" "Kalau kamu memang suaminya sekarang, harusnya kamu tahu kalau Vena ini masih tergila-gila sama saya, mantan suaminya.“ * * Sejak dicerai enam bulan silam, Vena kini sudah menikah lagi dengan pria kaya raya bernama Mario Winata. Hidupnya menjadi rumit usai bertemu lagi dengan sang mantan suami, Daniel, di sebuah hotel. Vena teringat lagi akan sakitnya diselingkuhi, diabaikan, dan tak dipedulikan hanya karena tak memberikan anak laki-laki. Meskipun demikian, dia berusaha meraih kepercayaan diri kembali. Dia sudah punya hidup baru, tak mau dihina dan disudutkan terus oleh keluarga mantan suaminya. Akan tetapi, bisakah dia lepas dari jeratan keluarga toxic mantan suami yang terus mengganggu? ***
Lihat lebih banyakMata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.
Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?" "Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh. Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?" "Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi. Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya. Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "cukup! Pergi dari sini sekarang juga!" "Kalau aku nggak mau, kamu mau apa?" Bianka menatapnya dengan dingin, tidak sedikit pun menyesali atas rasa sakit yang dia timbulkan. Vena mendekati wanita tersebut, lalu dicengkram lengannya, dipaksa untuk berdiri. Dia menegaskan, "aku bilang pergi dari sini sekarang juga! Aku nggak mau lihat kamu lagi!" "Jangan pegang-pegang, ya!" Bianka mulai risih. Dia menarik lengannya sampai lepas dari genggaman Vena. "Harusnya kamu yang pergi dari sini. Aku yang diminta datang ke sini, kok." "Berani banget wanita murah—" "Hei!" sela Bianka sudah tahu kata yang akan disebut. Kemarahan berangsur naik ke ubun-ubun. "Jaga mulut kamu! Memangnya siapa kamu berani menghinaku?" "Bagaimana pun, aku masih istri sah Dani! Aku nggak mau wanita selingkuhan suamiku ada di rumah ini!" "Terus kenapa kalau kamu istrinya? Bentar lagi juga dicerai! Kamu nggak berhak mengusirku! Kalau kamu nggak mau aku ada di sini, harusnya ngomong sana sama suami kamu! Berani nggak?" "Cepat pergi sebelum aku—" "Tolong jangan berisik!" Suara seorang wanita paruh baya terdengar. Dia tampak keluar dari dalam rumah sambil memijit kening. Perhatiannya tertuju kepada Vena. "Oh, kamu sudah pulang? Pantas kepala saya pusing— bisa nggak sehari saja kamu nggak drama di rumah?" "Mama Ritta~" nada suara Bianka terdengar manja. Dia mendekati wanita dengan wajah pura-pura takut. "Ma, dia ngancam mau pukul kalau Bianka nggak pergi, padahal Bianka ke sini juga atas permintaan Mas Dani." "Siapa yang mau pukul kamu?" balas Vena jengkel. Dia mengalihkan pandangan ke sang ibu mertua. "Ma, kenapa Mama membiarkan wanita ini ada di rumah kita?" "Memangnya kenapa? Kamu dari kemarin-kemarin keluyuran terus, nggak becus jadi istri, mending Bianka di sini— bisa buat Dani bahagia." "Mama tega banget ngomong kayak gitu, Vena sibuk mengurus pemakaman cucu Mama." "Jangan bilang cucu!" sentak Ibu Ritta melototi Vena. "Saya sudah nahan-nahan malu ke keluarga besar sejak anak itu lahir. Saya nggak pernah anggap dia sebagai cucu saya. Masa mungkin anak yang lahir di keluarga Adinata yang terhormat itu penyakitan?" Seolah-olah sebilah pisau telah ditusukkan tepat ke jantung Vena. Bayi manisnya yang terlahir dengan kelainan genetik langka dihina seperti itu. Bahkan, setelah meninggal dunia pun, dia tak diakui sebagai cucu oleh mertuanya. Belum sempat berkata apa-apa, suaminya ikut keluar dari dalam rumah seraya menggeret koper hitam. Culas dan malas adalah gambaran wajahnya saat ini. Tanpa basa-basi, dia berterus terang, "dari tadi aku dengar, kamu makin berisik. Jadi, daripada kamu ganggu, lebih baik kamu yang pergi dari sini, Vena. Ini sudah aku masukkan baju-baju kamu." "Kamu ngusir aku?" "Iya." Jawaban dingin itu melukai Vena. Kedua matanya dipenuhi campuran kemarahan dan rasa sakit hati. Suami yang telah dinikahi selama dua tahun sekarang berubah drastis. Masa di mana pria itu menggandeng tangannya, membisikkan kata-kata manis— semua sudah usai. Dia bahkan tak mau repot datang ke pemakaman bayi mereka. "Teganya kamu melakukan ini?" Suara Vena pecah saat menatap suaminya dengan pedih. "Aku nggak percaya kamu meninggalkanku demi wanita lain, bahkan nggak datang ke pemakaman anak kita ... Ini keterlaluan." Daniel tetap berdiri tegak, ekspresinya tidak dapat dibaca. Dia merespon, "jangan mulai drama. Aku harus melakukan yang terbaik untukku. Kamu susah ngasih aku anak, artinya kamu nggak ada gunanya lagi di hidupku. Aku butuh anak laki-laki dan yang kamu berikan hanya anak perempuan, itupun lahir dengan penyakit langka. Aku harus move on, dan mencari istri lagi." "Dani ..." "Satu-satunya alasan kenapa aku masih membiarkan kamu tinggal di sini karena anak itu. Aku nggak mau dituduh menelantarkan anak. Sekarang anak itu nggak ada, jadi aku berhak mengusir kamu." Bianka semakin gembira melihat situasi ini. Dia masih diam di sebelah Ibu Ritta sembari menyunggingkan seringai. "Lagian—" tambah Daniel bersuara angkuh, "aku nggak mau punya istri yang modelan pembantu sepertimu. Kamu berubah, Vena, kamu sudah nggak cantik lagi." Rasa percaya diri Vena menurun drastis usai mendengar perkataan tersebut. Keberaniannya pun telah lenyap. Dia merasa sangat rendah. Dua tahun yang lalu, di awal-awal pernikahan mereka, Daniel selalu memuji kecantikan yang dia miliki, selalu berjanji akan selalu mencintainya. Nyatanya, semua itu hanya rayuan manis dan tipu daya belaka. Tak puas menghinanya, Daniel melanjutkan, "kamu harusnya bangga bisa nikah sama aku. Kamu itu siapa sebelum nikah sama aku? Cuma anak pengangguran yang mati mengenaskan karena ditabrak pemabuk." "Jangan menghina ayahku!" Napas Vena tertahan. Perasaannya menjadi kian tak karuhan mendengar mendiang ayahnya pun ikut direndahkan. Sekali lagi, dia menekankan, "jangan pernah menghinanya seperti itu!" "Atau apa? Aku berhak menghina siapapun, terutama kamu yang cuma buang-buang waktuku. Menikah sama kamu memang sebuah kesalahan." "Kamu benar-benar keterlaluan!" "Aku nggak peduli. Surat cerai akan aku kirim ke rumah kamu secepatnya. Aku peringatkan, jangan berani mempermalukanku di depan publik dengan tuduhan tukang selingkuh. Pernikahan kita berakhir itu bukan salahku— pulang sana dan lihat ke cermin. Apa pantas bos besar sepertiku bersama kamu?" "Sudahlah, Dani, Cepat seret wanita miskin ini keluar," pinta Ibu Ritta yang sudah muak melihat wajah Vena. "Mama nggak tahan serumah sama wanita yang nggak sederajat dengan kita. Udara rumah kita jadi makin busuk." Tanpa basa-basi lagi, Daniel mencengkram lengan Vena, lalu diseret sampai ke teras rumah. Setelahnya, dia masuk rumah lagi sambil menutup pintu dengan bantingan keras. "Ternyata kamu sejahat ini sama aku ..." Suara Vena lemas nan lirih. Air mata terus mengalir di pipi saat memegang koper. Hati serasa hancur berkeping-keping. Dia berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun, tak tahu kalau sang mertua memperhatikan dari balik jendela rumah. "Akhirnya setelah dua tahun, pergi juga menantu miskin itu," gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan. ***Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen