Mario terlanjur kesal dengan apa yang terjadi di hotel sehingga dia membawa istrinya untuk pulang.
Kediaman Winata adalah berdiri di daerah perumahan elite. Bangunan tiga lantai tersebut termasuk salah satu yang paling megah di sana. Sejak menikah, Vena sudah menjadi sang nyonya rumah itu. Dia tinggal bersama Mario serta lima orang asisten rumah tangga. Orangtua Mario sudah lama meninggal dunia, jadi dia tak memiliki mertua. Meski demikian, ada bibi yang selalu tiba-tiba ada di rumah untuk memantau keadaan mereka. "Akhirnya pulang juga kamu, Mario!" sambutnya begitu melihat Mario masuk rumah. Wanita empat puluh tahunan itu lantas memluknya seraya berkata lagi, "tante sudah capek nunggu kamu pulang dari jam sepuluh." "Maaf, Tante Ruth, tadi di hotel ada masalah sedikit," sahut Mario letih. "Iya tante tahu, barusan dikabari sama Pak Henry, gara-gara istri baru kamu ini buat keributan di hotel, kan?" "Nggak, gara-gara keluarga narsis yang cari keributan di restoran hotel." "Keluarga mantan suaminya. Sekumpulan orang-orang kampung, norak, nggak punya urat malu. Kata Pak Henry, ada tamu yang merekam, Mario, pasti rame di media sosial nanti. Reputasi hotel keluarga kita bisa tercemar." "Nggak bakalan tercemar." "Kata Pak Henry juga, keluarga mereka nuduh istri kamu ini stalker." "Mereka itu nggak waras. Enak saja nuduh Vena stalker, Vena datang ke hotel juga buat menemani Mario rapat sebentar. Ini cuma salah paham, nggak usah diperlebar." Pandangan Tante Ruth menajam ke Vena yang tampak diam saja. Ia jelas terlihat tidak suka. "Vena, tante sudah sering bilang sama kamu, kamu itu jangan mempermalu—" "Tante, jangan mulai," sela Mario cepat, "kepala Mario agak pusing sekarang, jangan mulai debat." "Kamu ini protektif banget, sih? Tante cuma mau nasehati istri kamu kalau di tempat umum itu jangan ikut bertengkar. Sekarang ini dia harus paham, levelnya sudah bukan wanita kampung." "Vena nggak bertengkar, yang nyolot itu Mario. Mario kampungan karena marah-marah di depan umum. Jadi, ayo salahin Mario saja." "Tapi—" "Sudah, sudah, Tante." Mario malas berdebat. Dia berjalan mendahului. “Tante ke sini buat ambil dokumen kemarin 'kan? Ayo Mario ambilkan di ruang kerja." Begitu pria itu sudah menjauh, barulah Tante Ruth kembali mengalihkan perhatian kepada Vena. Vena tahu kalau bibi Mario ini sedikit tak suka padanya. Tetapi, dia tak ada keinginan untuk bermusuhan. Dia berkata dengan halus, "Tante, maaf tadi sudah buat Tante nunggu. Tante duduk saja dulu, saya buat minuman. Tante mau apa?" "Ngapain buat minuman? Memangnya kamu pembantu? Stop punya mental pembantu, kamu itu Nyonya di rumah ini, Nyonya Winata. Saya tahu kamu ini dulunya jadi babu di rumah mantan suami kampung kamu, tapi tolong ubah sikap kamu sekarang. Jangan membuat malu keponakan saya. Jangan bilang kamu begini juga kalau ada tamu? Orang nanti nggak bisa bedakan kamu ini nyonya atau pembantu?!" Vena tidak bisa menjawab. Dia tertunduk lesu. Mungkin terdengar kasar, tapi perkataan wanita itu masuk akal. Tante Ruth menegaskan, "dengar ya, jangan karena Mario selalu bela kamu, kamu malah nggak tahu diri. Saya tetap belum bisa sepenuhnya nerima kamu sebagai istri Mario. Kamu harus buktikan kamu pantas buat dia." Usai jeda beberapa detik, dia melanjutkan, "saya sebenarnya tahu alasan Mario menikahi kamu mungkin mau balas budi sama Pak Wildan. Apalagi alasannya kalau bukan itu? Dia menikahi kamu setelah kenal beberapa bulan saja, pasti agar kamu nggak perlu susah-susah nyari uang dari usaha katering." Suasana hati Vena berubah sedih. Perkataan Tante Ruth membuat ia khawatir kalau Mario hanya kasihan menikahinya. Dia jatuh cinta pada pria itu sejak pertama kali bertemu. Karena itulah, dia bahagia menerima lamarannya. Tetapi, sekarang ia bimbang, pantaskah dia untuk Mario? Apa yang dicari pria milyader itu darinya? Memang apa kelebihannya? Tante Ruth menambahkan, ”Mario terlalu baik, dia orangnya suka balas budi. Gara-gara itu juga banyak orang yang mau nipu dia. Jadi, saya peringatkan kamu— kalau kamu menipu, mengkhianati atau buat dia malu di depan umum seperti tadi, saya nggak bakalan memaafkan kamu." "Vena nggak ada niat menipu apalagi mengkhianati Mas Mario, Tante. Vena juga nggak mau tadi bertengkar di hotel tadi, Vena nggak ada niat mempermalukan Mas Mario." "Saya nggak bisa percaya begitu saja. Banyak orang jahat sekarang modal tampang melas doang. Saya itu—” "Tante!" Suara Mario terdengar di kejauhan. Pria itu menghampiri mereka dengan membawa map biru berisi dokumen yang tadi dicari. "Baru juga Mario tinggal beberapa menit doang, sudah ngomelin istri Mario lagi?“ Tante Ruth cemberut. Dia membela diri dengan berkata, "tante harus nasehati istri kamu supaya nggak bawa masalah di keluarga kita. Kamu sudah tante peringati sebelumnya, resiko nikah sama janda ini banyak banget, apalagi kalau keluarga mantan suaminya nggak punya etika, terus—" "Iya, iya, iya,” potong Mario agak malas mendengar ocehan itu. Dia menyindir halus, "lagian Tante ini kalau trauma ditipu orang lain, jangan dilampiaskan Vena. Dia bukan penipu, nggak kayak wanita yang dulu mau Tante jodohin ke Mario, yang nipu Tante sampai ratusan juta." "Heh mulut kamu—“ Tante Ruth agak malu sekaligus kesal karena sindiran itu. "Tante ini serius. Sekarang banyak wanita modal melas doang buat cari perhatian ke kita." ”Tapi bukan istri Mario. Maaf saja ya, Istri Mario itu wajahnya cantik dan sikapnya lembut, bukan melas.“ ”Ngomong sama kamu kayak ngomong sama tembok." Mario tersenyum penuh kemenangan. Dia menyerahkan dokumen ke tangan wanita itu. "Yaudah Tante, daripada ngomong sama tembok, mending Tante pulang. Mario sama Vena mau menikmati waktu berdua, kami ini pengantin baru, jadi sementara Tante nggak usah sering-sering ke sini, oke? Kalau butuh apa-apa lagi, bilang sama Daffa, asisten Mario atau ke sekretaris Mario, si Erika.“ Dia mendorong punggung sang bibi agar berjalan pergi dengan sedikit paksaan. Tante Ruth mengomel di sepanjang jalan, dan Mario hanya menjawab, "iya" dan "iya". Selama beberapa menit, Vena hanya mematung di tempat. Dia masih kepikiran dengan perkataan Tante Ruth. Apa dia dinikahi karena kasihan? ***Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,