Mario mendekati sang istri dengan pandangan cemas. Ketika sadar wajah wanita itu murung, dia jadi ikutan sedih.
"Sayang ..." pria itu meraih telapak tangan Vena, "kamu nggak apa-apa?" "Enggak apa-apa, kok." "Tolong jangan diambil hati omongan Tante barusan. Walau suka ngomel, Tante sebenarnya baik. Tante agak sensitif ke orang baru soalnya pernah ketipu. Kita belum lama kenal terus langsung memutuskan menikah, jadinya curiga mulu ke kamu." ”Tapi, Tante Ruth benar, nikah sama janda itu bawa banyak masalah buat kamu." "Kita sudah nikah, masalah kamu itu masalahku juga. Terserah orang-orang mau ngomong apa, yang menjalani hidup rumah tangga ini 'kan kita." Rasa tenang nan haru menyelimuti diri Vena. Dia menatap kedua mata Mario dalam-dalam. Setelah menguatkan diri, dia berani bertanya, ”kamu kenapa mau nikah sama aku? Karena ayah? Apa ini balas budi? Kamu kasihan soalnya sekarang aku nggak punya siapa-siapa?" "Kamu dengar itu dari Tante?" "Tolong jawab." Mario mengecup punggung tangan Vena dengan romantis. Dia kemudian tersenyum manis saat mengatakan, "kalau kamu anggap aku nikah sama kamu buat balas budi, berarti kamu menghina perasaanku, Sayang. Kebetulan saja kamu anaknya mendiang Pak Wildan. Sekalipun bukan, aku tetap bakalan nikah sama kamu. Kamu 'kan sudah tahu, aku cinta sama kamu sejak pandangan pertama, nggak ada hubungan sama balas budi apalagi kasihan." "Beneran?" "Mau kamu anak pemulung, anak raja, anak presiden, anak preman, anak orang gila pun— aku bakalan tetap cinta sama kamu. Mau gimana lagi perasaan nggak bisa diubah. Aku paling suka melihat mata kamu ... cantik banget." Vena tersipu. Suasana hatinya menjadi gembira lagi. Dia tersenyum lebar mendengar omongan sang suami. "Gombal." "Sudah puas belum sama jawabanku? Atau perlu aku buktikan seberapa bucinnya aku? Kamu mau aku ngapain? Jadi tokek?” "Nggak, nggak." Vena tertawa pelan. "Aku puas sama jawaban kamu." Hati Mario kembali damai. Dia ikut tersenyum, lalu membahas hal lain, "oh iya, mumpung Minggu depan aku nggak ada rapat lagi, gimana kalau kita ke villa, Sayang? Lumayan 'kan akhir pekan kita berduaan di tempat romantis, anggap aja honeymoon kedua." “Padahal kita baru pulang honeymoon, kamu mau lagi? Katanya sibuk mau ada peresmian villa di Bali?" "Nah itu dia maksudku, kerja sekalian honeymoon. Itu Villa yang aku maksud, sebelum disewakan ke publik, kita harus mencoba ranjangnya." Sekalipun malu, tapi Vena tetap tergelak. Dia mencubit pipi sang suami, lalu menggodanya, "dasar kamu, Suami Nakal." Kemesraan mereka terganggu oleh bunyi dering panggilan ponsel Vena yang ada di tas jinjingnya. Nomer tidak dikenal. Penasaran, Vena menerima panggilan tersebut. Kedua matanya terbelalak begitu mendengar suara pria yang tak asing. Dia kaget. "Dani? Kenapa kamu menelponku? Dari mana kamu tahu nomer telponku?“ Mendengar nama mantan suami disebut, otot wajah Mario menjadi tegang kembali. Di balik sambungan telepon, Daniel berkata, ”nggak penting aku dapat nomer dari mana, aku cuma mau mengabari kalau lusa ada acara syukuran kehamilan istriku di rumah kami." Vena menjawab, "terus kenapa ngomong sama aku?" "Tadi aku sama keluargaku sudah buat masalah tadi di hotel suami kamu yang mewah itu, jadi anggap saja undangan syukuran ini sebagai permintaan maaf. Kami akan menjamu kalian dengan baik." ”Makasih buat undangannya, tapi kami nggak bakalan datang. Tolong hapus nomerku, jangan hubungi aku lagi." "Kamu nggak usah sombong, sok banget nggak mau datang? Gara-gara nikah sama milyader, jadi sombong sekarang?" "Kenapa jadi melantur begini omongan kamu?" "Intinya jangan besar kepala dulu, Vena. Aku undang kamu itu juga sekalian mau bicara tentang biaya pengobatan sama pemakaman anak kamu. Kamu nggak lupa 'kan kalau aku semua yang bayar? Berhubung kamu sudah nikah sama milyader, kamu harus kembalikan uangku. Itu aku anggap hutang." "Tega banget kamu anggap biaya pemakaman anak kita sebagai hutang?" "Jangan terus-terusan menganggap aku yang jahat. Aku sudah bilang cuma mau anak laki-laki, bukan anak perempuan cacat.“ "Kamu memang jahat, Dani. Kamu nggak pantas jadi orangtua." "Ngomong itu di depan cermin sana, lihat siapa yang nggak bisa jadi orangtua? Kamu atau aku? Aku sudah hampir jadi orang tua. Kamu? Kamu hamil saja susah. Kasihan itu suami baru kamu, terjebak sama wanita penyakitan, nggak bakalan punya keturunan." Sindiran menyakitkan tersebut semakin melukai hati Vena. Dia tak bisa menjawab. Daniel berkata lagi, "yaudahlah, nggak usah banyak bicara, tujuanku telpon bukan buat berdebat. Kalau kamu datang, sekalian juga bawa sisa-sisa barang sama dokumen anak kamu. Kalau enggak mau datang, ya sudah, aku bakar semua." Ketika ingin menjawab, ponsel Vena keburu disambar oleh Mario. Pria itu samar-samar bisa mendengar perkataan keras nan kejam Daniel. Dia menjawab di telepon, "tenang, saya yang akan datang." Tanpa menunggu jawaban, panggilan itu pun diakhiri, lalu ponselnya diserahkan lagi ke tangan Vena. "Kamu lepas SIM-card kamu, terus buang, besok aku belikan lagi. Aku nggak mau pria narsis itu telpon kamu lagi. Bisa saja dia mulai ganggu kamu gara-gara kita hina di hotel tadi," katanya. "Iya." "Lusa 'kan dia minta kamu datang? Ngomong tentang hutang biaya pemakaman?" "Iya, tapi lebih baik kita nggak usah datang." "Bukan kita, yang datang itu aku, kamu di rumah saja. Lusa, aku akan mampir ke sana setelah selesai rapat." "Jangan, lebih baik transfer uang saja sama suruh orang buat ambil barang." "Aku yakin dia mau kita datang soalnya ego-nya tersakiti tadi. Kalau nolak datang, nanti dia akan terus-terusan neror. Daripada kamu diganggu terus, mending aku datangi saja. Aku siap berdebat seharian dengan mereka semua." Vena cemas kalau suaminya pergi sendiri. Dia takkan bisa meyakinkan Mario kalau sudah terlanjur kesal begini. "Kalau gitu aku datang sama kamu." "Nggak usah, Sayang, kamu pasti jadi bahan hinaan lagi nanti." "Sebenarnya sih sudah biasa, tapi seperti kata Tante Ruth, aku harus bersikap sebagaimana seorang Nyonya. Jadi, aku nggak boleh harga diriku diinjak terus oleh siapapun. Aku nggak mau kamu dipermalukan. Ini sudah cukup, mereka keterlaluan." Bibir Mario mengembangkan senyuman manis. Dia dipenuhi oleh perasaan puas. "Lagian ..." Vena menambahkan dengan nada candaan, "aku nggak mau suamiku yang tersayang ini sendirian dikeroyok emak-emak kayak di hotel tadi." Mario mencubit pipi Vena, kemudian berbisik mesra, "ini baru istriku. Kamu harus bangga karena sekarang kamu bukan lagi istri seorang pecundang narsis, melainkan istri seorang milyader tampan, setia, humoris dan baik hati." Mendengar itu, Vena tertawa pelan. Dia tak sabar untuk membuktikan kepada keluarga mantan suaminya bahwa dia sudah berubah menjadi lebih baik. ***Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i