Daniel tetap percaya diri. Dia masih mengira kalau memang Vena terobsesi padanya sehingga mengikuti kemana-mana.
Dia melirik Mario sambil tersenyum, lalu menyindir halus, "sudah, Ma, nggak usah ngomong apa-apa lagi, kasihan loh suaminya— sekarang jadi tahu kalau istri yang baru dinikahi belum bisa move on dari mantan suami." Vena menggeleng. Dia membantah, "kamu keterlaluan, Dani! Tolong jangan terlalu narsis! Siapa yang belum move on sama tukang selingkuh kayak kamu?" "Tukang selingkuh kamu bilang? Kamu masih berani playing victim? Nggak sadar kamu itu nggak bisa ngasih keturunan, lagian kata Bianka juga pasti benar, pria ini—“ Daniel menuding wajah Mario dengan perasaan jengkel. Dia lanjut menghina, ”pasti selingkuhan kamu 'kan? Pantas dulu kamu sering keluyuran, lupa sama pekerjaan rumah." "Aku nggak keluyuran tanpa alasan, aku sibuk mengurus pemakaman anakku!" Ibu Rita ikut bicara, "benar kata Dani. Pokoknya, mulai sekarang stop muncul di kehidupan anak saya, awas kalau kamu masih berkeliaran di sekitar rumah kami, Vena." "Enggak, Tante! Bukan Vena! Vena nggak tahu itu maksudnya apa, tapi Vena nggak pernah berkeliaran di rumah Tante sama Dani." "Saya nggak peduli, saya peringatkan kamu, sekalipun kamu sudah nikah lagi, bisa saja pernikahan kamu cuma kedok biar bisa nutupi niat kamu yang ingin dekati anak saya. Saya bakalan tetap waspada, jadi jangan harap kamu bisa merebut anak saya dari Bianka!" ”Benar, Bu. Wanita kayak gini bahaya," sahut sang besan, Ibu Layla. Dia menambahkan, "saya dengar dari Bianka, dulu dia sampai nunggu di kafe langganan Dani biar bisa ketemu. Dia kayaknya obsesif banget." "Anak saya bos besar, siapa yang nggak mau sama anak saya? Apalagi, siapa juga ini suami barunya ... palingan nggak sekaya anak saya, makanya dia terus-terusan mengikuti anak saya, berharap rujuk.“ Bianka ikut menjawab, "Iya, Ma, Bianka masih khawatir. Sok-sok sudah nikah, padahal dia pasti mau ganggu hidup Bianka sama Mas Dani." "Kok masih ada yang mau nikah sama janda mandul." Ibu Layla menatap Mario. Dia berkata lagi, "Mas ini gimana? Kenapa mau nikah sama dia? Sudah cek belum kondisi kesehatannya gimana? Banyak yang masih muda, kok malah milih wanita yang sudah kadaluarsa begini?" Vena tak sanggup menahan air mata yang mulai menetes. Perkataan mereka membuat ia teringat akan luka akibat dikhianati. Sedari tadi, Mario hanya diam seolah tengah mengumpulkan seluruh emosi dari hinaan demi hinaan mereka. Tak mau emosinya meledak di tempat umum, dia menelpon seseorang. "Halo?" Seorang pria dari balik telepon menjawab, "iya, Tuan Mario? Ada apa?" "Kamu masih di ruangan 'kan?" "Iya, Tuan." "Tolong cepat ke restoran hotel, sama bawa satpam. Jangan banyak tanya, cepat ke sini! Saya tunggu sekarang juga!" Tanpa menunggu jawaban, sambungan telepon tersebut ditutup oleh Mario. Hingga tak berlangsung lama kemudian, hanya selang beberapa menit, datanglah seorang pria paruh baya berjas hitam bersama dua satpam. Mereka tegang sekaligus bingung saat menghadap Mario seakan takut kena amuk. ”Selamat siang, Tuan Mario, sa-saya baru tahu Tuan be-belum meninggalkan hotel, bukannya setelah rapat tadi, Tuan bilang mau pergi?“ sapa pria berjas tersebut agak terbata-bata, lalu menoleh ke Vena. Dia sangat bingung dengan situasi tegang di situ. "Nyonya Vena masih di sini juga?” Pandangannya kembali ke Mario yang kelihatan marah. Dia sudah menduga ada yang salah. "Eh ... maaf, Tuan, ini ada apa? Nyonya, ada apa?" "Ada satu keluarga nggak sopan yang buat keributan sambil menghina istri saya habis-habisan,” terang Mario sembari menatap Daniel, Bianka, Ibu Rita dan Ibu Layla. Dia menaikkan dagu sedikit untuk menunjukkan sisi angkuhnya, lalu memberi perintah, "jadi, Pak Henry, tolong usir orang-orang ini sekarang, dan buat larangan ke semua hotel Winata agar nggak dimasuki oleh mereka." Tersulut emosi, Daniel membentak, "siapa memangnya kamu berani mengusir saya dan keluarga saya dari sini? Kamu nggak tahu siapa saya? Saya Daniel Adinata, pimpinan perusahaan Adi Properti!" Bianka menambahkan. "Berani banget orang nggak jelas kayak kamu ngusir kami! Yang harusnya pergi itu kamu sama istri stalker kamu itu! Kami nggak nyaman ada stalker di sini!” “Tentu saja saya berhak mengusir kalian karena sudah membuat keributan sekaligus menghina saya, Mario Winata, pimpinan jaringan hotel Winata, dan istri baru saya—” Mario dengan angkuh sekaligus bangga saat menggandeng tangan Vena, lalu melanjutkan, "Nyonya Vena Winata." Sontak saja, Daniel dan keluarganya kaget. Mereka seperti mematung di tempat. Sorot mata mereka seolah berkata, ini tidak mungkin 'kan? Mario Winata Sang Milyarder? Bagaimana bisa Vena mendadak jadi istrinya? ***Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,