Menjalani pekerjaan menjadi seorang Reporter yang dituntut untuk menulis, menganalisis, dan melaporkan suatu peristiwa kepada khalayak melalui media massa secara teratur. Tentu, berita yang harus disampaikan diharuskan akurat dan terpercaya.
Memilih pekerjaan untuk terjun langsung ke tempat kejadian. Keputusan ini adalah pilihan terbaik menurut Najma. Karena, lelahnya membuat bahagia bisa bertemu dengan orang serta pengalaman baru. Tak hanya itu. Ia juga bisa berjalan-jalan ke berbagai daerah untuk mencari berita terkini yang akurat. Meskipun dituntut menjadi pekerja yang bisa menyajikan berita fakta sesungguhnya. Teliti, aktif serta harus menggunakan berbagai teknik. Yakni riset, wawancara, observasi, pencarian data. Bergulat dengan banyak hal tersebut setiap hari membuatnya harus ekstra konsentrasi. Najma senang berbicara. Jadi, menjadi Reporter adalah pekerjaan yang terbaik menurutnya. Meskipun tak bisa berdusta. Jika ia merasakan lelah luar biasa. Karena, hampir setiap hari harus berjalan sekaligus berteman dengan terik matahari. Tulisan tangan yang sangat tidak rapi untuk menyusun kerangka berita, berada di buku catatan bersampul abu-abu. Menulis sesuai rekaman narasumber yang diwawancarai. Setelah itu, Najma memberitakan hal ini di depan kamera agar dipublikasikan pada media. Tak hanya berbicara. Najma juga dituntut untuk bisa menulis berita agar bisa dipublikasikan di media cetak. Peluh keringat yang membanjiri tubuh, seringkali dilap menggunakan tissu. Mengulang menggunakan tabir surya selama beberapa kali, untuk melindungi kulitnya dari paparan sinar matahari pagi, siang, ataupun sore. Botol minum yang dibawanya dari rumah, selalu habis untuk menyuplai energi yang terkuras. Tak lupa juga, mengipasi wajah dengan kipas yang dibawa dari rumah. Lelah. Itulah yang Najma rasakan. Meskipun orang tuanya tak menuntut untuk menjadi perempuan pekerja keras sekaligus bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Namun, Najma memilih menjadi perempuan mandiri. Karena, ia menyukai mengusahakan apapun yang diinginkan sendiri. Meskipun terlahir dari keluarga berkecukupan. Prinsipnya Najma yakni, harus bisa berusaha meratukan diri sendiri. Tentu dengan kerja keras. "Naj. Jangan lupa minum obat tambah darah! Nanti mau otw ke Bandung. Mau beritakan banjir di sana," ujar Ronald sembari memberikan tablet tambah darah kepadanya. Ronald adalah salah satu rekan kerja Najma yang berperan sebagai juru kamera. "Tentu. Terima kasih Nald," jawab Najma sembari menerimanya. "Yoi." Ronald pun duduk di sebelah Najma. "Naj. Gimana glampingmu bareng temen-temen SMA di Bogor??" "Seru banget. Meskipun tubuhku sangat-sangat lelah, pegal, pokoknya nggak karuan rasanya. Tapi ya, i enjoyed this trip." "Keren Naj." Puji Ronald. "Mumpung masih muda! Ya banyak-banyak mengeksplorasi diri! Nanti, kalau aku udah punya suami dan anak, udah beda. Nggak bisa sebebas sekarang." "Ngomong-ngomong soal anak. Emangnya kamu udah punya calon suami apa??" "Udah! Sepekan yang lalu aku dilamar! Tunggulah undangannya!!" Kedua mata Ronald menjadi berbinar. "Keren sih! Diem-diem lamaran." "Woi!! Aku bawa sesuatu!!" Kanaya, teman sesama Reporter mendekati mereka yang sedang duduk beralasan rumput. Lalu menyuguhkan tiga bungkus cilok untuk dimakan. "Wah! Pas banget! Aku lagi pengen yang pedas-pedas terus asin-asin!" Dengan senang hati, Najma mengambil sebungkus cilok yang berharga lima ribuan. Menusuk menggunakan lidi, lalu mengunyah. "Makasih bestie!!" "Enak Naj??" tanya Kanaya. "Banget Kan! Kamu emang pengertian!" "Aku beli di adek-adek remaja. Kasihan banget dagangannya sepi. Masih kecil, harus dituntut dewasa," ujar Kanaya yang ekspresi wajahnya tiba-tiba bersedih. Najma menganggukan kepalanya berkali-kali. "Memang. Kehidupan setiap orang ada ujiannya sendiri-sendiri. Ya begitulah. Menjadi manusia dengan segala hal yang dirasakan. "Eh, Kanay. Najma mau nikah lohhh. Kamu udah tahu belum hm??" ujar Ronald memalingkan perbincangan agar tidak membahas yang sedih-sedih. "Wah benarkah itu?? Aaa aku turut bahagia dengarnya." Kanaya tiba-tiba memeluk Najma dari samping sejenak. Lalu melepaskan pelukan. "Sama siapa Naj??" Najma tersenyum tipis. "Sama lelaki Kan." Mendengar jawaban yang di luar pemikiran Kanaya membuatnya memukul paha Najma dengan pelan. "Ya iya lah sama lelaki! Masa sama perempuan! Kalau sampai sama perempuan, kewarasanmu patut dipertanyakan!" Najma pun tertawa kecil mendengar hal ini. "Becanda. Aku sebenarnya In syaa Allah mau nikah sama salah satu Dosen di kampusku dulu. Ya aku nggak tahu kenapa tiba-tiba aku bisa langsung sreg sama dia. Waktu sholat istikharah pun, jawabannya cuman dia. Ya mungkin ini memang sudah waktunya." "Aaa, aku jadi terharu dengernya. Partner kerjaku yang tak kenal lelah ini mau nikah aja ...." Kanaya terlalu terharu dengan apa yang Najma katakan. "Do'akan aja Kan, Nald. Aku juga doain semoga kalian cepet nusul." "Of curse Naj," sahut Ronald. "Ya udah. Kita sholat dulu yuk. Nanti baru otw ke Bandung!" Ajak Najma yang sudah menghabiskan sebungkus ciloknya. Lalu membuang ke tong sampah. Ia pun berdiri dari tempat duduk. Mereka pun menunaikan sholat berjamaah di mushola terdekat. Tentu, juga dengan para rekan kerja lainnya. Setelah selesai, mereka masuk ke dalam mobil kerja. Melanjutkan pekerjaan ke tempat tujuan. Yakni, menuju ke sebuah desa di Bandung. Menggali Informasi, meneliti kejadian, serta mencari tahu fakta ini lebih dalam kepada narasumber. Yakni, para korban bencana yang berada di pengungsian, kepala desa, dan Timsar. Kali ini, giliran Kanaya yang berbicara di depan kamera. Menerangkan fakta kejadian yang sudah mereka dapatkan. Menjelaskan dengan nada suara standar serta lancar. Terbiasa berbicara di depan umum, membuatnya tak merasa grogi atau terbata-bata. Pekerjaan ini memang melelahkan serta membutuhkan air mineral untuk menyejukan tenggorokan. Namun, pekerjaan ini membuat Najma begitu bahagia. Apalagi, sudah jelas-jelas menghasilkan uang. Yang tentu, hasil dari lelahnya bisa dibelanjakan sesuka hati. Tak hanya sekedar mewawancarai mereka. Tim ini juga memberikan bantuan berupa makanan, selimut, serta obat-obatan. Meskipun tidak banyak. Tapi setidaknya, bisa membuat mereka sedikit terbantu. Mengobrol bersama anak-anak yang merasa trauma, takut, serta sedih. Sedikit menghibur mereka. Hal ini sebagai bentuk rasa kepedulian terhadap sesama manusia. Meskipun senyum para korban bencana tak melengkung lebar lagi. Tapi setidaknya, air mata yang dikeluarkan tak lagi menetes deras. Najma sungguh bahagia menjadi manusia yang bisa bermanfaat bagi sesama. Selama berjam-jam berinteraksi dengan para korban bencana. Akhirnya, waktunya pulang kembali ke Bogor. Selama di perjalanan pulang. Terbilang tubuh Najma begitu kelelahan, ia pun tertidur di dalam mobil. Meskipun tubuhnya penuh keringat sekaligus lengket. Namun, ketika kantuk telah melanda. Dimanapun tempatnya, akan nyenyak tertidur."Kalian harus menikah! Sudahlah Mas Izyan! Tak perlu ada pembelaan lagi! Sudah jelas-jelas ada bukti di depan mata!" Tegas Kepala RW."Apa-apaan sih Pak! Saya itu tak kenal perempuan itu! Saya seumur hidup hanya menggauli Najma!" Lalu berganti menatap Tasya. "Heh kamu, tolonglah jangan rusak rumah tangga saya! Lagi pula, sebelumnya kita tak saling kenal! Kamu ini jahat sekali!" Izyan yang tak terima, terus saja berbicara. Tasya diam sembari memainkan jari jemarinya yang mengeluarkan keringat dingin."Oh, apakah Ayah dari anakmu tak mau bertanggung jawab?? Makanya, kau memfitnah saya agar menutupi kelakuan bejatmu itu? Iya?!" Izyan menggelengkan kepala. "Hatimu benar-benar busuk! Dengan teganya kamu menghancurkan rumah tangga orang lain serta mengusik ketenangan kami! Kamu benar-benar jahat!""Sudah cukup-cukup!!" Kepala RT yang kesal dengan ini sampai menggebrek meja. "Mas Izyan, tolong tanggung jawan atas kehamilan Mbak Tasya! Kami lebih percaya bukti dari pada omongan Anda!""Kalia
Wajah yang tampan itu, tampak lelah sekaligus bermata sayu. Memikirkan semua ini sampai membuatnya tak nafsu makan. Ia yang merasa memiliki keterbatasan dalam berfikir, rela bangun waktu dini hari untuk meminta solusi atas jawaban ini semua. Duduk mengahadap Tuhan yang tak terlihat. Namun, bisa melihat apapun meskipun itu hal tersembunyi.Menengadahkan tangan, meminta maaf, meminta keinginan, serta terutama meminta keutuhan rumah tangganya. Diiringi tangisan, Izyan terus berdoa agar diberikan jalan keluar atas semua ini. Selama setengah jam lamanya, digunakan untuk berdoa. Mengusap wajah, lalu berdiri dari duduknya.Terbilang tangannya sudah sembuh. Jadi, tak usah lagi memakai arm sling. Kedua tangan Izyan sudah bebas bisa melakukan apa saja. Ya dia memang bahagia sekaligus bersyukur dengan ini. Namun, disatu sisi, masalah rumah tangga yang menerpa begitu besar.Sungguh. Ia tak pernah mengkhianati Najma. Bahkan, dengan perempuan itu saja, tak kenal. Karena, bagaimana mungkin ia akan b
Najma diantar ke kamar. Sedangkan Izyan menghadap Pak Thariq. Duduk di ruang keluarga. Izyan yang merasa tak bersalah berani melakukan kontak mata."Jelaskan Izyan!" Tegas Pal Thariq."Saya tak kenal perempuan itu Pak! Bahkan, baru pertama kali saya lihat dia!" Bela Izyan."Terus? Kenapa dia bisa mengaku bahwa sedang hamil anakmu dan menunjukan fotomu sekamar bersamanya?"Posisi mereka seperti seorang seorang Polisi yang sedang mengintrogasi tawanan."Demi Allah Pak! Saya tak melakukan itu! Kalaupun ada foto itu, saya yakin itu hanya editan! Saya mencintai Najma dan saya sudah berjanji akan setia! Saya tak ada keinginan sedikitpun untuk berkhianat! Saya benar-benar tak kenal perempuan itu Pak!" Izyan masih berusaha menjelaskan agar Ayah mertuanya percaya."Mana ponselmu!"Izyan memberikan bahkan, langsung membukakan kunci sandi.Pak Thariq membelakan mata. Lalu menunjukan layar yang memperlihatkan chat dari nomor yang tak disimpan."Baca Yan!"Izyan membaca dengan gumaman, "Mas tolong
"Mbak Najma. Kedatangan saya ke sini karena memberitahukan soal ini ...."Perempuan yang kemarin menatap dari jarak beberapa meter Najma dan Izyan di depan rumah. Tiba-tiba datang ketika Najma baru pulang kerja. Menyodorkan amplop cokelat kecil. Tentu, langsung Najma terima. Mengeluarkan apa yang di dalamnya. Menautkan kedua alis. Karena, ketika baru memperlihatkan kop surat, tertulis nama rumah sakit. Melebarkan surat yang terlipat itu. Membaca satu persatu kata yang ada di dalamnya."Surat keterangan hamil?" Kedua mata Najma terbelalak. "Maksudnya apa? Kamu siapa? Kok bisa-bisanya datang menunjukan surat ini? Kita sebelumnya tidak kenal loh .... Saya hanya tahu kamu tetangga saya!"Tiba-tiba, perempuan itu menundukan kepala. Air matanya mengalir. Sekaligus diiringi isak tangis."Jelaskan!! Apa yang sebenarnya terjadi!!" Najma memegang kedua bahu wanita itu. Bahkan, sampai memaju-mundurkan karena tak kunjung menjawab. Justru, semakin mengeraskan tangisan."Saya .... Hamil anak Mas I
"Naj. Bagaimana kelanjutan pembahasan pembangunan perpustakaan gratis depan rumah kita kelak? Kamu masih bersedia kerjasama kan?" Najma yang sedang melahap sosis bakar pun menoleh. Lalu menjawab, "Ya aku mau Mas. Itu hal yang baik. Ngomong-ngomong, soal progress rumah udah kayak apa?""Nih. Aku dikirimin sama Pak Mandor." Izyan menunjukan foto rumah mereka.Terlihat bangunan bata yang masih terlihat bahannya. Belum dihaluskan menggunakan semen. Namun, sudah bisa digunakan untuk berteduh. Terbilang sudah dipasang atap. "Sekitar berapa bulan lagi Mas?""Kata Pak Mandor bisa sebulan lebih lagi. Karena belum buat dapur, kamar mandi, dan masih ada beberapa ruangan belum dibuat. Naj. Sebentar lagi kita akan tinggal di sana."Dengan penuh nikmat, Najma mengunyah sosis yang tinggal setengah itu. Ketika hari libur tiba, mereka keluar rumah untuk menikmati waktu berdua. Kali ini, mereka berada di taman wisata Gunung Pancar. Sebelum ke sini, tentu Najma membeli jajanan pinggir jalan. "Mas Izy
"Pak! Pak Izyan! Pak!"Panggil seorang mahasiswi sembari menyeimbangkan langkah kaki Izyan yang lebar."Ada apa?" tanya Izyan dengan suara datar."Pak Izyan kenapa tidak lagi balas chat dan telepon saya?""Ada apa memangnya?"Haura memainkan jari jemari yang mengeluarkan keringat dingin. "Saya butuh Pak Izyan .... Saya di rumah kesepian .... Hati saya sakit Pak .... Mental saya tertekan memendam luka ini sendirian .... Sedangkan, Ayah saya tak peduli. Saya pernah mengadu kepadanya namun, saya yang dimarahi ....""Haura. Sembuhkanlah lukamu dengan caramu sendiri.""T ... tapi, t ... tapi kan Pak Izyan pernah bilang sama saya mau bantu saya kan? Termasuk membantu masalah saya? Sa ... saya benar-benar butuh bantuan Pak Izyan ... Saya butuh teman bercerita Pak ..." Haura menundukan kepala. "Saya rasa, hanya Pak Izyan yang mampu mendengarkan saya ketika dunia ini membungkam. Hanya Pak Izyan yang mau mengulurkan tangan untuk membantu saya ketika dunia menendang saya. Dan hanya Pak Izyan ya