Home / Rumah Tangga / Dinikahi Putra Kiai / Halalkan atau Ikhlaskan

Share

Halalkan atau Ikhlaskan

Author: HaluMutu
last update Last Updated: 2022-05-16 11:34:01

“Jika tidak bisa menghalalkan, maka ikhlaskanlah”

~Novita_A12~

Pov: Aji

Perasaanku remuk, aku segera pamit dari kamar Mas Ans sebab tak mampu jika harus selalu berpura-pura menguatkan Mas Ans, sedangkan hatiku sendiri rapuh tak karuan.

“Sebenarnya aku bisa membantu Mas Ans untuk mengurungkan niat Umi mengenai perjodohan ini dan melamar Hanna, tapi apalah dayaku yang masih harus meneruskan S2-ku, Umi pasti melarangku menikah saat dalam masa belajarku.Ya Allah, hamba-Mu bingung,” lirihku.

Aku berusaha menghilangkan semua keruh dalam hati, juga keegoisanku dengan memuraja’ah hafalan, hingga aku pun mampu terlelap. Di mana letak keegoisanku? Aku merasa sangat egois, hatiku seakan tak rela mengikhlaskan Hanna menikah dengan kakakku sedang aku belum bisa menghalalkannya. 

“Mas Aji,” panggil Umi. Dengan segera aku membuka pintu kamar, yang ternyata Umi membawakanku pisang goreng hangat, aku sudah yakin itu adalah buatan Hanna dan tidak menjadi heran jika Umi sebenarnya sudah lebih dulu memberikan sajian tersebut pada Mas Ans. 

“Pisang gorengnya enak Mi,” ucapku sembari menikmati makanan di tangan. Umi tersenyum hangat, lalu duduk di kursi yang terletak agak jauh dari ranjang tidurku, kursi itu sengaja aku taruh di sana, guna menikmati indahnya mentari pagi, juga menikmati udara segar saat pagi menyapa, pun ketika senja memberi peringatan akan hadirnya malam. 

“Le! Menurutmu cocok tidak jika Kakakmu Umi jodohkan dengan Hanna?” Sontak aku tersedak, segera kuraih air minum berharap batuk ini reda. 

“Pelan-pelan toh, Le!” 

“Cocok kok, Mi, cocok banget malah,” jawabku sembari tersenyum mengelabui perasaanku yang sebenarnya. 

“Yasudah jika memang demikian, jadi Umi tidak ragu untuk segera melamarkan Hanna untuk kakakmu, Ans. Sudah, kamu tidur! sudah malam. Besok pagi Umi dan Abahmu mau ke rumah Hanna, sudah bilang juga pada keluarganya untuk bersilaturrahmi ke sana.” 

“Enggeh, Mi.” 

Perutku mendadak kenyang, apa iya aku benar-benar harus mengikhlaskan Hanna, Hanna yang sudah sejak SMA diam-diam aku kagumi. Salahku juga kenapa aku tidak jujur saja pada Umi dan memberi kepastian untuk Hanna. 

***

Pov: Hanna

Bangun tidur saat ini terasa beda dengan biasanya, ada apakah. Aku bingung, apa karena aku tahu kalau Gus Aji sudah pulang. Lantas apa hubungannya denganku, Gus Aji juga tidak pernah mengungkapkan perasaannya atau memberiku kepastian untuk menunggu. 

Sambil kulipat selimutku, terlintas sejenak dalam pikirku, “Lantas apa maksud surat yang Gus Aji kirimkan satu hari sebelum berangkat ke Jombang.”  Kemudian aku sadar dari lamunanku dan bergegas menuju kamar mandi. 

***

Mukenah kupakai, tidak lupa juga memakai wangi-wangian. Wangi parfum dengan udara yang sama sekali masih belum tercemari oleh polusi apapun sangat menyatu dan memberiku banyak energi positif, segar.

Didukung juga oleh wangi bunga di taman dekat musholla. “Ya Allah sungguh indah ciptaan-Mu, di langit kau sediakan bintang dan bulan sebagai penghiasnya. Pun di bumi kau tabur bunga-bunga sebagai salah satu alasan indahnya. Maha Suci Engkau Ya Rabb.”

Aku salat beberapa rakaat, kemudian tampak beberapa teman sudah mulai berbondog-bondong menuju kamar mandi, hati ini senang melihat pemandangan seperti ini, yang mungkin akan jarang aku temui saat aku menikah nanti. 

Tidak terasa musholla sudah penuh, dan kulirik jam ternyata sudah masuk waktu sholat, juga sudah terdengar adzan yang dikumandangkan oleh santri putra.

Setelah adzan,  santri-santri membaca surat sajdah kemudian dilanjut dengan dzikir bersama sembari menunggu bunyai untuk mengimami sholat subuh berjama’ah. 

Setelah kegiatan subuh usai, semua santri turun dari musholla untuk segera bergegas siap-siap berangkat sekolah. Aku tidak segera turun, berniat untuk menunggu sholat duha.

Tiba-tiba ada seorang santri yang menepuk pundakku kemudian berbisik pelan, “Mbk! Samean dipanggil Bunyai.” Sontak aku kaget, ada apakah gerangan. Segera aku menghadap dengan tetap menggunakan mukenahku. 

“Hanna.” 

Aku hanya bisa menunduk, dan gugup sebab tidak biasanya Bunyai memanggilku sepagi ini, “Habis ini kamu langsung siap-siap ya! Ikut Bunyai ke luar sebentar,” lanjut Bu Nyai. 

“Enggeh,” jawabku dengan perasaan berdebar tak karuan, tanganku penuh keringat, sebab mau tidak mau aku sadar kalau di sana ada Gus Aji. Aku keluar setelah Bu Nyai mempersilakan aku untuk segera bersiap-siap. 

***

Setelah bersiap-siap aku langsung menghadap Bunyai, aku yakin nanti hanya akan bedua dengan Bunyai di mobil, pikirku Bunyai mengajakku belanja, dan ternyata aku salah.

Di dalam mobil sudah ada Gus Aji dan Gus Ans juga Kyai, Pikiranku semakin tak karuan, keringatku mengucur deras padahal aku baru selesai mandi, cuaca pun masih dingin. 

Aku duduk di kursi paling belakang bersama Bunyai, aku bingung harus bertingkah bagaimana, sebab ini adalah pengalaman pertamaku satu mobil dengan keluarga pesantren. 

“Kamu tahu kita mau kemana, Hanna?” tanya Bunyai.

“Mboten Bu Nyai.” Aku tidak berani mengangkat pandanganku, apalah dayaku yang hanya seorang santri, aku harus tetap takdzim dan menjaga sikap pada guruku.

Akhlakku pada guru juga menjadi salah satu penentu barakah atau tidaknya ilmuku kelak. 

Bunyai hanya tersenyum, aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan Gus Aji, Gus Ans, juga Kyai, mengangkat kepalaku saja aku tidak berani.

“Jangan menunduk terus, Hanna! nggak capek ya nunduk terus?” Kata-kata Bunyai membuat rona wajahku semakin pucat, suasana semakin dingin, ditambah AC mobil yang begitu kencang menurutku. 

Aku hanya tersenyum, kemudian mencoba untuk bisa mengangkat kepalaku, sontak aku terbelalak, jalan yang saat ini ditempuh adalah jalan menuju rumahku, dan aku rasa dekat rumahku tidak ada tempat belanja, aku semakin bingung, lantas mau kemana sebenarnya tujuan ini. 

Beberapa menit kemudian, mobil pun berhenti, dan tampak sudah ada tuan rumah yang menyambut, aku semakin kaget saat tau yang menyambut adalah Bapak dan Ibuku, aku semakin tidak paham. Dan mobil itu berhenti pas di depan rumahku. 

Aku mencium punggung tangan Bapak dan Ibuku, belum sempat aku bertanya, bapak sudah mempersilahkan kami semua masuk. Aku masih terheran-heran, ada apa ini sebenarnya. Kenapa aku semakin bingung. 

Saat semua sudah duduk di ruang tamu, aku langsung membuntuti Ibu ke dapur untuk bantu menyiapkan hidangan yang memang sudah sejak tadi dipersiapkan. Setelah semua dihidangkan, Bapak dan Ibu mempersilahkan Kiai, Bu Nyai, Gus Ans, dan Gus Aji menikmati hidangat tersebut. 

Aku merasa tidak pantas mendengarkan pembicaraan mereka, aku pun berniat untuk  pergi ke dapur. Ibuku mencegah dan malah mengajakku duduk di sampingnya. 

“Jadi seperti ini Pak!Buk! Maksud kedatangan kami sekeluarga,selain berniat menyambung silaturrahmi, kami juga berniat untuk menjodohkan salah satu putra kami dengan putri Bapak dan Ibu,” Kiai mengawali perbincangan dan memecah keheningan beberapa saat itu. 

Bapak dan Ibuku kaget, kaget dengan rona bahagia, sedangkan aku pun kaget, kaget dengan rona penuh bimbang dan tanda tanya, “Ya Allah! Inikah makna dari tiba-tiba bimbangnya hati hambamu tadi pagi. Apa benar, surat yang dulu sempat Gus Aji kirim adalah surat keseriusan hati Gus Aji.” aku membatin. 

“Kami hendak menjodohkan Hanna dan Ans,” lanjut Kyai. 

Hatiku berdebar, detak jantungku terasa berhenti, “ Gus Ans?” Aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, bahkan aku tidak pernah ada rasa sebelumnya.  

Bersambung...

Tak lupa othor selalu pesen, ya. Buat vote and komen. Thank you ;)

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Putra Kiai   Senyummu Manis

    “Senyum itu mahal harganya, saat diberikan dari orang yang mencinta kepada yang dicinta.”~Novita_A12~Akhirnya aku sedikit lega, sebab bisa bernapas bebas di kamar, dan aku sendiri, sebab gus Ans lebih memilih istirahat di ruang tamu, padahal di sana ramai, aku yakin gus Ans tak akan betah beristirahat di tempat seperti itu. Tapi ada sedikit sedih, saat mengingat gus Ans bahkan tak tersenyum walau sedikit pun, tampak tidak ada pancaran bahagia dari wajahnya, akankah gus Ans menyesal telah menikah denganku. Tapi tidak ingin membicarakan hal ini kepadanya, aku khawatir saat dia capek seperti ini malah akan menimbulkan ke salah pahaman.“Hanna.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu. Segera aku berdiri, dan membukanya. Dan ternyata gus Ans, benar dugaanku, dia tidak mungkin bisa istirahat di tempat seperti itu, aku pun mempersilakan masuk, dengan pintu tidak aku tutup. Gus Ans membuka jaz hitam yang dia pakai, peci dia letakkan, terlihat ketampanan wajahnya semakin bertambah, sela

  • Dinikahi Putra Kiai   Cinta Sejati itu

    “Cinta sejati adalah cinta yang mampu mengikat dengan tali yang suci, tali pernikahan yang ikrarnya perlu pertanggung jawaban pada Sang Ilahi.”~Novita_A12~“Qabiltu Nikahaha watazwijaha bil mahril madzkuuri, Haaalan.”Air mata ini menetes mendengar ucapan yang Gus Ans ikrarkan. Kini aku berada di samping Umi, dengan gaun yang serba putih, dengan berbagai hiasan dan riasan di luar biasanya. Sontak gema sholawat memenuhi ruangan setelah Kiai membacakan do’a untuk kami berdua, aku pun langsung sungkem kepada Ibu dan Bu Nyai yang sedari tadi mendampingiku. Suasana ini tidak akan pernah aku lupakan, saat ikrar tadi diucap saat itu juga aku siap mengabdikan jiwa dan ragaku kepada suamiku, gus Asn. Aku berharap gus Ans menjadi perantaraku bisa meraih surga. Tiba-tiba teringat sebuah hadits yang pernah aku pelajari saat ibtida’ dulu, “Anna Ridhoz zauji huwa ridhollah wa ghadhobuz zauji huwa ghadhobullah(Sesungguhnya ridho suami adalah ridho Allah, dan murka suami adalah murka Allah.)”Akad

  • Dinikahi Putra Kiai   Bangunan Besar

    “Cinta itu kadang membingungkan, datang tak dengan tanda, hilang pun tiba-tiba.”~Tha~Kini hanya aku dan malam, kupandangi bintang, dengan rasa yang entah bagaimana yang tengah kurasakan, aku tiada bisa melukiskan, sedang dengan segera aku akan melaksanakan sebuah pernikahan, pernikahan yang kuanggap sakral dan sejak dulu aku membayangkan bahwa akan menikah dengan penuh gelimang rasa cinta. Namun, nyatanya tidak sesuai kenyataan. Aku menikah dengan tanpa ada rasa sama sekali, entah karena trauma masa lalu sehingga membuatku seakan hambar akan rasa cinta yang sebentar lagi akan mengikatku dengan ikatan pernikahan, dengan ikatan sakral yang suci berjanji kepada Ilahi rabbi.***Menikah menurutku bukan perihal yang main-main, aku hanya menginginkan menikah sekali seumur hidup, dan yang aku dambakan menikah dengan penuh rasa cinta sehingga menjadi perantara hidup bahagia, tetapi beda dengan yang saat ini kurasakan satu hari sebelum hari perniakahanku saja, rasa itu tak kunjung muncul di

  • Dinikahi Putra Kiai   Perasaan Tak Menentu

    “Patuh pada perintah orang tua adalah salah satu cara untuk kita menyicil dalam membalas jasanya, walau sejatinya sampai kapanpun jasanya tak akan sebanding dengan pengorbanannya.”~Novita_A12~Pov: Ans.Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang kurasa hambar, ada senyuman tapi tak mewakili persaan, perasaan ini merasakan ada sebuah keterpaksaan, tapi aku merasa tetap harus melakukan. Hari pernikahanku semakin dekat, dan aku belum ada persiapan perasaan sama sekali, platform sudah Umi pesan, dan kemungkinan untuk di rumah Hanna sudah terpasang, kami yang membiayai dengan ada separuh bantuan dari keluarga Hanna, sebab pernikahan yang cukup meriah ini, Umi yang menginginkan dan mengaturnya aku hanya ikut keputusan Umi dan Abah saja. “Ans!” Terdengar suara Umi memanggil dan langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Aku yang masih asik dengan pemandangan di luar sana menjawab dengan singkat saja. “Enggeh, Mi?” Aku tidak keluar kamar sebab pintuku memang terbuka dan langkah Umi me

  • Dinikahi Putra Kiai   Pra-Nikah

    “Menikah adalah sakral, maka untuk menikah harus dipersiapkan sebelumnya, sebab semua insan pasti menginginkan satu kali saja seumur hidup melakukan pernikahan.”~Novita_A12~Daun pacar itu kecil, tapi bukan berarti tidak bermanfaat, maka tidak ada alasan bagi seseorang meremehkan pada seorang yang lain hanya karena hal kecil, sebab hal sekecil apapun saat dicipta pasti sudah disiapkan beserta manfaatnya. Daun pacar memang tidak bisa di makan, tapi memiliki fungsi untuk menghias tangan. “Hanna, ada gunting?”tanya Zuhra.“Ada, buat apa?”jawabku yang masih berdiri meletakkan buku yang kubaca tadi. “Buat memotong daun-daun pacar ini, tentunya, Hanna.”Zuhra memang sedikit mudah kesal tapi kesalnya bukan berarti dia mudah marah, dia hanya menggerutu dengan sedikit nada meninggi, kesal. “Hehe, oke. Iya, nih.” Kuserahkan gunting itu padanya. “Oiya, apa perlu aku panggilkan mbak-mbak yang lain guna membantu kamu?”tanyaku pada Zuhra, sebab kasihan jika dia harus mengerjakan sendirian. Aku

  • Dinikahi Putra Kiai   Hanna dan Henna

    “Cinta boleh saja seperti Henna, melekat di tangan berfungsi menghias pemandangan, tapi kekuatan cinta tidak bisa di ukur dengan lekatnya henna pada tangan sebab cinta sejati tak akan pernah luntur sekalipun dipaksa menjauhi.”~Novita_A12~Cuaca hari ini lebih indah dari kemarin, bunga-bunga yang kuncup kini mulai bermekaran, berwarna kuning, pink, juga putih menghias taman, embun pagi masih bermanja-manja dengan dedaunan, mushaf pink yang kupegang, tak ubahnya bunga-bunga tadi, menghiasi hati ini, indah saat kupandang menggoda hati untuk segera bermanja-manja dengan isi di dalamnya. Dengan Al-qur’an hati ini bisa tenang, hati yang sempit menjadi lapang, suasana hati tenteram menentramkan suasana sekitar sebab diikuti jernihnya pikiran. Mukenah putih yang kupakai menutup seluruh tubuhku, hingga angin saja tak dapat melihat, tubuh ini hangat dengan belaian lembut mukenah panjang. Aku tetap ingin menikmati masa-masa sebelum aku mengubah status santriku menjadi seorang istri, yang seb

  • Dinikahi Putra Kiai   Suatu Malam

    “Setiap insan di dunia, pasti memiliki yang namanya cinta. Bedanya, ada yang mengungkapkannya, ada pula yang sebatas memendamnya, semua sesuai dengan caranya.”~Novita_A12~Malam dicipta agar insan dapat beristirahat dengan nikmatnya, setelah seharian bekerja, seharian mencoba berpikir akan kekuasan-Nya, maka dijadikan pada malam suasana yang tenang, jauh dari keramaian, dingin agar mendukung suasana turut hening, damai, tenteram dan menentramkan. Aku diam, melihat terangnya lentera malam, bersinar sehingga catatan yang kupegang dapat terlihat jelas dan dapat kulukiskan setiap luapan perasaan. Aku masih dengan meja kecilku, bisa kulipat saat sudah tak lagi membutuhkannya, tapi aku berharap semoga aku akan ditemukan orang yang akan mencintaiku bukan sekadar karena membutuhkanku, tapi murni ingin mmebimbingku juga mengajakku bersama menuju surga-Nya. Aroma bunga sedap malam yang ditanam di taman, semerbak memenuhi seisi ruangan, aku terbuai dengan aromanya mmebuat aku lupa bahwa aku s

  • Dinikahi Putra Kiai   Rasa yang Menggenang

    Ada yang mengatakan bahwa jika ingin merasakan cinta maka harus tahu siapa yang hendak dicintainya, aku tahu tapi kenapa cinta itu tak kunjung aku rasakan. Apakah aku ini terlalu lemah untuk menemukan, ataukah cinta itu terlalu mungil sehingga netraku tak mampu menjangkau hingga ke angan, atau mungki cinta itu ibarat angin yang sama sekali tidak bisa secara kasat mata aku genggam. Pada intinya, cinta tak ubahnya misteri, tiba-tiba datang dan kemudian pergi. ***Jingga mulai menyapa, sebentar lagi malam menjadi tanda bahwa acara pernikahanku akan segera dilaksanakan, dan aku tetap dengan kubangan rasa yang sama sekali tidak kutemukan cinta di dalamnya. Segera ku larutkan rasa ini pada hafalan qur’an. Aku memuraja’ahnya berharap melalui perantaranya aku bisa mendapat petunjuk perihakl apa yang hendak aku laksankan, pernikahan. ***Setelah muraja’ah kurasa cukup, satu hari satu juz, maka aku raih kitab yang pernah kupelajari di pesantren, hanya ingin berusaha menyibukkan diri agar ti

  • Dinikahi Putra Kiai   Kehebohan Cinta

    Aku terngiang-ngiang perihal kejadian saat kajian, kenapa aku harus bertingkah konyol seperti itu. Tapi aku benar-benar khawatir terhadap gus Ans, rasa ini tidak bisa aku sembunyikan, jika pun aku harus nekad bertanya pada Bunyai itu pun tidak mungkin. Malu rasanya seorang wanita yang masih belum sah menjadi istrinya mengkhawatirkan putranya. Tiba-tiba sebuah kertas jatuh dari atas lemariku, dan itu surat yang kemarin aku selipkan di buku catatan. Aku pun ingat bahwa surat itu belum aku balas, langsung aku raih pulpen di tempat pensilku, segera aku mencoba merangkai kata-kata yang layak aku kirimkan pada gus Ans yang masih berstatus guruku. Setelah kurangkai tulisan itu, dan kurasa layak untuk aku kirimkan. Segera aku lipat, sedikit berbeda dengan surat dari gus Ans, surat dariku tidak aku beri parfum, biarkan wangi kertas itu menjadi saksi tulisan sebagai perwakilan rasa ini. ***Setelah surat itu siap, aku pun ke dapur pesantren dan biasanya ada beberapa santri putra yang turut

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status