Share

Halalkan atau Ikhlaskan

“Jika tidak bisa menghalalkan, maka ikhlaskanlah”

~Novita_A12~

Pov: Aji

Perasaanku remuk, aku segera pamit dari kamar Mas Ans sebab tak mampu jika harus selalu berpura-pura menguatkan Mas Ans, sedangkan hatiku sendiri rapuh tak karuan.

“Sebenarnya aku bisa membantu Mas Ans untuk mengurungkan niat Umi mengenai perjodohan ini dan melamar Hanna, tapi apalah dayaku yang masih harus meneruskan S2-ku, Umi pasti melarangku menikah saat dalam masa belajarku.Ya Allah, hamba-Mu bingung,” lirihku.

Aku berusaha menghilangkan semua keruh dalam hati, juga keegoisanku dengan memuraja’ah hafalan, hingga aku pun mampu terlelap. Di mana letak keegoisanku? Aku merasa sangat egois, hatiku seakan tak rela mengikhlaskan Hanna menikah dengan kakakku sedang aku belum bisa menghalalkannya. 

“Mas Aji,” panggil Umi. Dengan segera aku membuka pintu kamar, yang ternyata Umi membawakanku pisang goreng hangat, aku sudah yakin itu adalah buatan Hanna dan tidak menjadi heran jika Umi sebenarnya sudah lebih dulu memberikan sajian tersebut pada Mas Ans. 

“Pisang gorengnya enak Mi,” ucapku sembari menikmati makanan di tangan. Umi tersenyum hangat, lalu duduk di kursi yang terletak agak jauh dari ranjang tidurku, kursi itu sengaja aku taruh di sana, guna menikmati indahnya mentari pagi, juga menikmati udara segar saat pagi menyapa, pun ketika senja memberi peringatan akan hadirnya malam. 

“Le! Menurutmu cocok tidak jika Kakakmu Umi jodohkan dengan Hanna?” Sontak aku tersedak, segera kuraih air minum berharap batuk ini reda. 

“Pelan-pelan toh, Le!” 

“Cocok kok, Mi, cocok banget malah,” jawabku sembari tersenyum mengelabui perasaanku yang sebenarnya. 

“Yasudah jika memang demikian, jadi Umi tidak ragu untuk segera melamarkan Hanna untuk kakakmu, Ans. Sudah, kamu tidur! sudah malam. Besok pagi Umi dan Abahmu mau ke rumah Hanna, sudah bilang juga pada keluarganya untuk bersilaturrahmi ke sana.” 

“Enggeh, Mi.” 

Perutku mendadak kenyang, apa iya aku benar-benar harus mengikhlaskan Hanna, Hanna yang sudah sejak SMA diam-diam aku kagumi. Salahku juga kenapa aku tidak jujur saja pada Umi dan memberi kepastian untuk Hanna. 

***

Pov: Hanna

Bangun tidur saat ini terasa beda dengan biasanya, ada apakah. Aku bingung, apa karena aku tahu kalau Gus Aji sudah pulang. Lantas apa hubungannya denganku, Gus Aji juga tidak pernah mengungkapkan perasaannya atau memberiku kepastian untuk menunggu. 

Sambil kulipat selimutku, terlintas sejenak dalam pikirku, “Lantas apa maksud surat yang Gus Aji kirimkan satu hari sebelum berangkat ke Jombang.”  Kemudian aku sadar dari lamunanku dan bergegas menuju kamar mandi. 

***

Mukenah kupakai, tidak lupa juga memakai wangi-wangian. Wangi parfum dengan udara yang sama sekali masih belum tercemari oleh polusi apapun sangat menyatu dan memberiku banyak energi positif, segar.

Didukung juga oleh wangi bunga di taman dekat musholla. “Ya Allah sungguh indah ciptaan-Mu, di langit kau sediakan bintang dan bulan sebagai penghiasnya. Pun di bumi kau tabur bunga-bunga sebagai salah satu alasan indahnya. Maha Suci Engkau Ya Rabb.”

Aku salat beberapa rakaat, kemudian tampak beberapa teman sudah mulai berbondog-bondong menuju kamar mandi, hati ini senang melihat pemandangan seperti ini, yang mungkin akan jarang aku temui saat aku menikah nanti. 

Tidak terasa musholla sudah penuh, dan kulirik jam ternyata sudah masuk waktu sholat, juga sudah terdengar adzan yang dikumandangkan oleh santri putra.

Setelah adzan,  santri-santri membaca surat sajdah kemudian dilanjut dengan dzikir bersama sembari menunggu bunyai untuk mengimami sholat subuh berjama’ah. 

Setelah kegiatan subuh usai, semua santri turun dari musholla untuk segera bergegas siap-siap berangkat sekolah. Aku tidak segera turun, berniat untuk menunggu sholat duha.

Tiba-tiba ada seorang santri yang menepuk pundakku kemudian berbisik pelan, “Mbk! Samean dipanggil Bunyai.” Sontak aku kaget, ada apakah gerangan. Segera aku menghadap dengan tetap menggunakan mukenahku. 

“Hanna.” 

Aku hanya bisa menunduk, dan gugup sebab tidak biasanya Bunyai memanggilku sepagi ini, “Habis ini kamu langsung siap-siap ya! Ikut Bunyai ke luar sebentar,” lanjut Bu Nyai. 

“Enggeh,” jawabku dengan perasaan berdebar tak karuan, tanganku penuh keringat, sebab mau tidak mau aku sadar kalau di sana ada Gus Aji. Aku keluar setelah Bu Nyai mempersilakan aku untuk segera bersiap-siap. 

***

Setelah bersiap-siap aku langsung menghadap Bunyai, aku yakin nanti hanya akan bedua dengan Bunyai di mobil, pikirku Bunyai mengajakku belanja, dan ternyata aku salah.

Di dalam mobil sudah ada Gus Aji dan Gus Ans juga Kyai, Pikiranku semakin tak karuan, keringatku mengucur deras padahal aku baru selesai mandi, cuaca pun masih dingin. 

Aku duduk di kursi paling belakang bersama Bunyai, aku bingung harus bertingkah bagaimana, sebab ini adalah pengalaman pertamaku satu mobil dengan keluarga pesantren. 

“Kamu tahu kita mau kemana, Hanna?” tanya Bunyai.

“Mboten Bu Nyai.” Aku tidak berani mengangkat pandanganku, apalah dayaku yang hanya seorang santri, aku harus tetap takdzim dan menjaga sikap pada guruku.

Akhlakku pada guru juga menjadi salah satu penentu barakah atau tidaknya ilmuku kelak. 

Bunyai hanya tersenyum, aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan Gus Aji, Gus Ans, juga Kyai, mengangkat kepalaku saja aku tidak berani.

“Jangan menunduk terus, Hanna! nggak capek ya nunduk terus?” Kata-kata Bunyai membuat rona wajahku semakin pucat, suasana semakin dingin, ditambah AC mobil yang begitu kencang menurutku. 

Aku hanya tersenyum, kemudian mencoba untuk bisa mengangkat kepalaku, sontak aku terbelalak, jalan yang saat ini ditempuh adalah jalan menuju rumahku, dan aku rasa dekat rumahku tidak ada tempat belanja, aku semakin bingung, lantas mau kemana sebenarnya tujuan ini. 

Beberapa menit kemudian, mobil pun berhenti, dan tampak sudah ada tuan rumah yang menyambut, aku semakin kaget saat tau yang menyambut adalah Bapak dan Ibuku, aku semakin tidak paham. Dan mobil itu berhenti pas di depan rumahku. 

Aku mencium punggung tangan Bapak dan Ibuku, belum sempat aku bertanya, bapak sudah mempersilahkan kami semua masuk. Aku masih terheran-heran, ada apa ini sebenarnya. Kenapa aku semakin bingung. 

Saat semua sudah duduk di ruang tamu, aku langsung membuntuti Ibu ke dapur untuk bantu menyiapkan hidangan yang memang sudah sejak tadi dipersiapkan. Setelah semua dihidangkan, Bapak dan Ibu mempersilahkan Kiai, Bu Nyai, Gus Ans, dan Gus Aji menikmati hidangat tersebut. 

Aku merasa tidak pantas mendengarkan pembicaraan mereka, aku pun berniat untuk  pergi ke dapur. Ibuku mencegah dan malah mengajakku duduk di sampingnya. 

“Jadi seperti ini Pak!Buk! Maksud kedatangan kami sekeluarga,selain berniat menyambung silaturrahmi, kami juga berniat untuk menjodohkan salah satu putra kami dengan putri Bapak dan Ibu,” Kiai mengawali perbincangan dan memecah keheningan beberapa saat itu. 

Bapak dan Ibuku kaget, kaget dengan rona bahagia, sedangkan aku pun kaget, kaget dengan rona penuh bimbang dan tanda tanya, “Ya Allah! Inikah makna dari tiba-tiba bimbangnya hati hambamu tadi pagi. Apa benar, surat yang dulu sempat Gus Aji kirim adalah surat keseriusan hati Gus Aji.” aku membatin. 

“Kami hendak menjodohkan Hanna dan Ans,” lanjut Kyai. 

Hatiku berdebar, detak jantungku terasa berhenti, “ Gus Ans?” Aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, bahkan aku tidak pernah ada rasa sebelumnya.  

Bersambung...

Tak lupa othor selalu pesen, ya. Buat vote and komen. Thank you ;)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status