"Setiap insan menginginkan mencintai yang dicintai, tapi Allah lebih tahu siapa yang seharusnya dia cintai. Cinta karena Allah akan menjanjikan kebahagiaan, cinta karena nafsu cenderung celaka dihari kemudian.”
~Novita_A12~"Ya Allah, berarti aku telah salah mengharap surat yang dikirimkan Gus Aji adalah bentuk keseriusannya padaku, aku telah lama menyimpan perasaan yang seharusnya tidak aku miliki."Selama ini aku telah berharap lebih pada Gus Aji, walau sebenarnya aku sadar seharusnya perasaan itu tidak pernah aku biarkan muncul. Dan saat ini aku harus memutuskan untuk mencintai orang yang bahkan aku belum pernah mencintai, ini adalah hal yang sama sekali belum pernah aku bayangkan. “ Jawabannya, kami serahkan pada Hanna, kami selaku orang tua pasti akan selalu mendukung keputusan anak kami,” ucap bapak sembari menoleh ke arahku. "Ya Allah, kenapa hati hamba menjadi tak karuan seperti ini"aku tak paham dengan persaanku, separuh aku senang, separuh lagi aku ragu. Ragu, akankah aku bisa sepenuhnya mengabdi pada Gus Ans, yang selama ini murni aku hanya menganggapnya guruku, tidak lebih. “Hanna, Gimana, Nak?” Ibu menepuk pundakku pelan, menyadarkanku dari lamunan. Aku pun gugup, dan hanya bisa menjawab dengan tersenyum. Tapi senyum itu, kurasa tidak setulus senyum harianku, ada hal yang masih membebani senyum itu. Tradisi di desaku, saat anak gadis dikhitbah, kemudian dia hanya diam dan tersenyum sudah dianggap cukup untuk menjawab khitbah itu. “Assukutu ‘Alamatur-ridha”(Diamnya berarti dia mengiyakan). Aku tidak berani melihat bagaimana ekspresi Gus Ans dengan jawabanku, aku hanya berharap Gus Ans benar-benar mencintaiku, bukan karena terpaksa menerima perjodohan ini. “Ya sudah, Hanna boleh untuk tidak langsung ikut ke pesantren, di rumah dulu. Besok kami akan datang kembali, membawa seserahan lamaran untuk pertunangan” Mendengar hal itu, aku senang berarti aku masih bisa lama bersama bapak dan ibu, tapi di sisi lain, hatiku terasa hampa, aku khawatir terlalu cepat memutuskan untuk mencintai, yang paling aku khawatirkan, jika aku mudah menjatuhkan hati kepada seseorang, maka aku akan mudah juga ditinggalkan, Na’udzubillah. *** Pov: Aji"Hanna, aku yakin kamu berharap aku yang dijodohkan denganmu, sebab aku yakin kamu tidak melupakan isi suratku saat itu. Hanna, aku tulis surat itu dengan penuh harap kamu bisa menjadi istriku setelah lulus S2 ku nanti, aku tidak menyangka ternyata Umi sangat memperhatikanku sehingga ingin segera menjadikanmu bagian dari keluarga kami."Aku hanya bisa bergumam dengan semua perkara yang telah terlanjur diputuskan, dan aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Mas Ans memang belum mencintai Hanna, tapi aku yakin lambat laut Mas Ans akan mencintai Hanna.Apa aku sanggup menjadikan orang yang aku cintai sebagai kakak iparku sendiri. ‘Ya Allah, maafkan hambamu jika telah salah mencintai, atau mencintai makhluk-Mu yang indah itu di waktu salah. Aku hanya berharap Engkau segera mempertemukan aku dengan hamba yang Engkau pilihkan untukku Ya Rabb.’Malam ini begitu terasa hampa bagiku, kubaringkan badanku ingin sekali segera aku berlabuh dalam lautan mimpi, tapi kantuk itu tak kunjung menghampiri. “Mas Aji! Sudah tidur, Le?” Terdengar suara Umi, dengan segera aku menuju pintu. “Dhereng, Mi” *Dhereng: Belum“Besok sore kamu ikut ya, untuk menyerahkan seserahan Mas mu”Aku terbelalak, padahal aku tidak siap jika harus kembali bertemu dengan Hanna, aku berharap kemarin adalah terakhir aku bertemu Hanna sebelum aku bisa mencintai orang lain. Dengan terpaksa aku mengiyakan permintaan Umi, walau bagaimanapun aku juga harus membiasakan diri untuk bisa menerima Hanna sebagai kakak iparku. Aku kembali menutup pintu saat Umi sudah pergi, kulangkahkan kaki ini walau terasa berat menuju ranjang tidurku, aku berharap malam ini tidak ditambah dengan mimpi buruk yang akan mengganggu tidurku.*** Pov: AnsJam sudah menujukkan pukul 23:30, dan aku tidak sama sekali merasakan kantuk, aku belum bisa menerima Hanna, aku khawatir tidak bisa membahagiakannya. Dan besok pagi, adalah waktu pertunanganku dengan Hanna, seharusnya malam hendak pertunangan setiap dua insan berbahagia, kenapa perasaanku menjadi tak karuan rupanya. Segera aku ambil wudlu’ biasanya manusia yang susah tidur, akan mudah merasakan kantuk jika dibawa mengaji. Maka aku ambil mushaf, memuraja’ah hafalan Qur’anku. Dan ternyata benar, baru setengah juz aku mulai muraja’ah, aku mulai menguap. Dan mata mulai merasakan sepat. Setelah 1 juz selesai, segera aku tutup mushafku segera aku baringkan badanku yang merasakan penat, padahal aku tidak bekerja kasar. Ku baca sholawat, pada pembacaan sholawat ke dua masih sadar, dan yang ke tiga sudah terasa di awang-awang hingga akhirnya aku tidak sadar di bawa kemana oleh mimpiku. ***Jam sudah menujukkan pukul 03:00, segera aku ambil handuk untuk mandi sebelum sholat tahajud, setelah membaca beberapa khasiat bangun malam, diantara jika ingin menjaga kesehatan maka hendaklah mandi sebelum subuh. Aku sholat dua rakaat, kemudian ku larutkan hati ini membaca istighfar, berharap kelancaran dan kebarakahan apa yang hendak aku kerjakan, Aku berharap aku tidak salah jalan, dan tidak salah memutuskan, lebih-lebih menerima perjodohan dengan Hanna, padahal aku belum bisa mencintainya. Adzan subuh berkumandang, segera aku ke masjid, untuk mengikuti sholat berjama’ah bersama Abah juga santri-santri di pesantren. Saat sudah berada di setapak, dekat dengan masjid tiba-tiba terdengar suara lantang Aji. “Mas Ans!” Aku langsung menoleh, menunggu langkahnya hingga menyelarasi dengan langkahku. Kami berjalan beriringan. “Gimana Mas? sudah bisa mencintai Hanna?” “Ji! Ini masih pagi lho, sudah maen nanya yang begituan,” elakku. Aji cuma membalas dengan tawa ringan. Dan tidak melanjutkan pertanyaannya sebab Abah sudah berdiri di depan masjid menunggu beberapa santri yang memiliki kebiasaan telat bangun, dan bagi santri yang sudah sangat terlambat, biasanya nanti ada pengurus yang memberikan denda, dendanya bisanya berupa hukuman bersih-bersih yang sudah disepakati bersama. Sedang Umi sholat berjama’ah bersama santriwati, dan biasanya ada beberapa hari tertentu langsung mengisi kajian kitab, sebab hari lain santriwati ikut kajian bersama santri putra melalui alat penghubung, shound sistem. Setelah sholat berjama’ah, aku dan Aji keluar terlebih dahulu, sebab Abah masih mengisi kajian Tafsirul jalalain. “Ji.” Aku memecah keheningan diperjalanan kami. “Enggeh, Mas?” Aji antusias. “Apa bisa aku menikah dengan tanpa cinta ya? Aku ragu Ji.” “Makanya Mas, sebaiknya Mas berusaha mencintai dari sekarang, sebab pertunangan ini tidak mungkin lama, dengan segera Mas akan segera menikah dengan Hanna. Tapi jika pun memang belum bisa, yaa tidak apa-apa Mas, seperti yang aku bilang kemarin, cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu Mas, apalagi kalau sudah nikah, selain Mas selalu melihat Hanna, semua kebutuhan Mas, Hanna yang urus.” Aji mendadak bijak, tapi memang dalam hal perasaan, aku akui Aji memang lebih pandai. Hari ini terasa sedikit lebih ringan dari hari kemarin, walau nyatanya cinta itu belum berhasil aku tumbuhkan.Bersambung...Happy reading, guys. Jangan lupa vote and komen ya“Saat memutuskan mencintai, maka saat itu pula kita harus siap dengan rasa sakit hati. Sejatinya bahagia dan duka sebab cinta, laksana telinga dengan mata yang hanya tersekat beberapa jarak saja.”~Novita_A12~Pov: Hanna"Ya Allah... hari ini keluarga pesantren akan menyerahkan seserahan itu, dan saat seserahan itu sudah aku terima, tidak ada peluang aku membatalkannya, jikapun bisa maka akan banyak hati yang tersakiti. Apa iya aku harus membatalkannya?" Pagi ini aku larut dalam lamunan di atas meja belajar yang menghadap ke arah jendela, sengaja menghadap ke arah sana, agar saat belajar otak tetap fresh melihat pemandangan hijau dedaunan di depan sana. “Hanna!” ibu memanggilku, aku pun sadar dari lamunanku, aku terbelalak melihat buku catatanku penuh dengan coretan spiral. ‘Saat ini saja aku sudah pusing melihatnya, apalagi beberapa tahun setelah aku punya anak nanti.’ Pikiranku mulai ngawur entah ke arah mana. Aku tutup buku tersebut, dengan segera meluncur ke dapur. “Enggeh Bu?”
“Cintai sejati, akan berusaha saling memahami walau ujian yang dihadapi lebih samar dari bekas tusukan jarum dan lebih ganas dari mangsa ular berbisa.” ~Novita_A12~Pov: AnsPeperanganku dengan perasaanku dimulai, aku harus berusaha menerima Hanna walau sejatinya aku belum paham, ini akan mudah ataukah sulit bagiku. Sejatinya menumbuhkan rasa cinta itu tidak semudah menunggu tumbuhnya biji sawi yang sekali sebar hanya menunggu beberapa hari langsung bisa tumbuh dan menjanjikan hasil di kemudian hari. Ini adalah cinta yang hingga kini aku pun bahkan tidak tahu bijinya mau aku tanam dimana. Aku masih ada di rumah Hanna, aku hanya diam. Kubiarkan Abah dan Umi yang menyampaikan semuanya. Sebenarnya Aku tak paham jika diminta untuk menyampaikan kata walau sepatah saja. “Mas Ans, ada yang mau disampaikan?” pertanyaan Umi benar-benar mengagetkanku.“Mboten, Mi,” jawabku dengan detak jantung karuan. Suasana kembali hening, karena dirasa sudah agak lama dan semua maksud kedatangan kami pu
“Mencintaimu laksana membangun kokohnya rumah dengan nuansa biru haru kesabaran.”~Novita_A12~“Ku putuskan satu impianAku ingin jadi hafiz Qur’anKu akan bertahan Walau sulit melelahkanAllah beri aku kekuatanKu impikan Sepasang mahkotaKu berikan di akhirat kelakSebagai pertanda Bahwa kau sangat ku cintaAku cinta engkau karena AllahReff:Ku cinta UmmiKu cinta AbiKu harap do’amu Selalu dalam hatiBerharap bersamaDi surga-Nya nantiI love you UmmiI love AbiI love my familyForever in my heart...” Bunyi speaker aktif di kamarku. Ku pasang dengan harapan bisa membantuku saat aku berada di rumah, untuk semakin efektif menghafal al-qur’an. Mengingat aku tidak dari pesantren tahfiz, sehingga aku harus menyiapkan hal-hal yang sekiranya selalu menjadi semangat baru.Gus Ans bergeming, sehingga aku pun cenderung pada tak mengeluarkan suara. Aku masih bingung memulai pembicaraan padahal hanya berbicara lewat telepon, entah apa yang membuat aku seakan merasa Gus Ans ada di hadapan
“Apakah mencintaimu perlu rumus? Jika iya, jelaskan padaku!”~Novita_A12~Kling... (Notifikasi pesan masuk)Ternyata pesan dari adikku, Aji. “Mas! Hanna besok ulang tahun.”Aku kaget saat membaca pesan Aji, aku terdiam dan tidak langsung membalas pesannya. “Kenapa Ji?” Ku layangkan Message balasanku.“Ya, Mas tidak mau kasih dia kejutan gitu?”“Buat apa? Mas kan masih belum sah jadi suaminya, nunggu pas sudah sah lah, InsyaAllah.”“Cie cie, yang udah mulai bisa menerima Hanna nie ye...” Aku tidak membalas pesan Aji sebab jika tetap aku balas, dia akan terus membahas Hanna. Aku matikan data seluler, hp ku letakkan di atas meja. Segera kuraih kitab yang hendak aku sampaikan buat kajian Ba’da dzuhur. Kitab kupegang dengan posisi diri menghadap kiblat, duduk di atas meja belajar adalah hal yang sejatinya bisa membuatku ingat masa kecil dan masa depan. Teringat masa kecil saat untuk belajar saja aku harus dipaksa Umi, dan untuk masa depan, aku belajar salah satu tujuanku untuk bekal men
“Saat hati sudah memilih, maka langkah selanjutnya adalah berusaha, agar pilihan benar-benar menjadi pilihan yang menghadirkan kenyamanan.” ~Novita_A12~Pov: HannaPagi yang cerah, bunga-bunga disapa tetesan embun, merekah. Aku dan mushaf yang kugengam menatap ke arah jendela, biar sinar mentari begitu terlihat indah, pancarannya menggugah agar aku segera keluar rumah, guna menikmati kehangatannya. Aku tidak langsung keluar, aku menunggu waktu duha untuk melaksanakan sholat dua rakaat. Khususnya berdo’a meminta rahmat kepada Allah sebab hari ini usiaku genap 21 th. Selesai sholat duha, aku pun memuraja’ah hafalan surat Al-Waqi’ah yang mana aku menghafalnya sewaktu duduk di bangku MTs, sebagai persyaratan pengambilan ijazah. Aku mengharuskan untuk tetap mengingat-ingat hafalan itu sebab menghafalnya tidak mudah, maka aku tidak ingin melupakan peristiwa yang aku yakin akan mempengaruhi hidupku menjad iindah. Aku pun keluar rumah, berniat menikmati hangat mentari sembari menyiram b
“Dear wanita! Kau tak perlu bingung bagaimana caranya harus bertemu jodohmu, biarkan dia yang bingung memikirkan bagaimana caranya bertemu kamu.” ~Novita_A12~Hari demi hari kulalui di rumah, tidak terasa sudah enam hari aku meninggalkan pesantren. Dan hari ini juga aku harus ke pesantre, tepatnya aku harus ke rumah gus Ans. Bapak dan ibu sudah mengajak kyai Ahmad selaku tokoh di daerahku, dan beberap keluarga lainnya. Ada bibi juga tante dari bapak juga ibu. Untuk mobil, karena kami tidak punya mobil maka paman bersedia untuk meminjamkan mobilnya bahkan bersedia turut mengantarkan seserahan pada pihak laki-laki. Setelah semua siap, dan kue-kue dari tetangga juga terkumpul, ada beberapa yang sengaja ibu buat sendiri beberapa lagi beli kepada tetangga yang memang pandai dalam membuat kue. Seserahan ini tidak seberapa jika dibanding seserahan yang dibawa keluarga gus Ans, tapi memang beginilah keadaan kami, dan hanya seperti ini yang bisa kami bawa. Mobil pun berangkat, aku duduk
“Rasa adalah hal yang tidak bisa diterka, kadang dia datang secara tiba-tiba dan suka menghilang tanpa satu pun tanda.”~Novita_A12~Aku menatap langit sembari kudekap kitab yang hendak aku bacakan saat kajian dua menit lagi, aku sengaja berangkat lebih awal dan diam di beranda masjid dengan harapan bisa menetralkan rasa yang seakan sering tak seirama dengan keadaan sesungguhnya, aku sulit mencintainya.Kupandangi dengan seksama setiap baris bunga yang mekar indah manjakan netra, burung-burung berkicau dengan suara khasnya. Langit seakan menyapa bahwa aku dilarang bersedih hanya karena dilema. Aku pun heran selama aku pernah dihinggapi masalah, belum pernah aku merasa terbebani seperti saat ini. Setiap masalah pasti tidak ada yang disukai oleh pemiliknya. “Menurutku, masalah terberat dari semua masalah yang pernah kualami adalah masalah cinta, menumbuhkannya butuh waktu lama hingga aku tak kuasa menerka kapan waktunya,” gumamku dalam hati, dan tak terasa aku sudah tiga puluh menit b
“Cinta tak selamanya harus kita pikirkan dari mana sebabnya, ada masanya cinta itu datang secara tiba-tiba, dan memberikan lukisan indah tanpa disengaja.”~Novita_A12~“Hannaaa...”terdengar teriakan yang suaranya tidak lagi samar di telingaku. “Zuhra.”Kami bersalaman dengan berpelukan melepas rindu yang disebabkan lamanya perpisahan.“Kamu ke mana aja?” tanya Zuhra dengan sedikit mengerutkan dahinya. “Aku, ada kok,”jawabku tanpa beban.“Itu ceritanya gimana sih?” Aku menuju lemariku, dan Zuhra pun masih membuntutiku. Aku duduk, dia pun ikut duduk. “Cerita yang mana?” “Kemarin kamu kan ikut Bunyai, Nah setelah itu kenapa tidak ada kembali lagi, sedangkan Bunyai ada, kok?”“Iya, aku di rumah. Sebab aku menunggu la ...” Segera aku tutupkan telapak tanganku ke mulut, kaget. “La, apa?” Zuhra semakin serius dan semakin merapatkan pendengarannya ke arahku. “O-oh, tidak. Itu kemarin aku minta ijin sama Bunyai, aku bertemu bapak, ibuku, jadinya aku minta ijin bermalam beberapa hari saja