Share

Cinta Bisa Tumbuh Perlahan

“Jodoh sudah ada yang mengaturnya, kita tidak tahu apakah jodoh itu adalah dia yang kita cinta sejak lama, ataukah dia yang sama sekali belum ada rasa padanya.”

~Novita_A12~

Pagi itu teramat cerah, tapi kurasa hatiku tidak demikian pula adanya, bagaimana hati ini akan merekah, hari ini Umi berniat meneruskan perjodohanku dengan Hanna, sedangkan hingga detik ini aku belum ada rasa padanya walau secuil saja. Apalagi keyakinan untuk mengikatnya.

Hal ini sama sekali tidak pernah terbayang dalam benakku. Aku akan menikah dengan orang yang sama sekali belum aku cintai. Sedari aku duduk di bangku SMA, aku membayangkan akan menikah dengan orang yang aku cinta, walau sejak saat itu aku memang belum bisa mengungkapkan rasa pada siapapun. 

“Mas Ans?” Secara tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, dan dia Aji adikku yang baru pulang dari Jombang dalam rangka menyelesaikan gelar S1 nya.

Aku pun bahagia dengan kedatangannya dan terus memeluknya, suasana taman yang begitu indah didukung dengan udara yang belum tercemari oleh polusi, membuat pertemuanku dengannya seakan pertemuan dengan kekasih, iya kekasih, yang sedang merindukan kekasihnya dengan puncak rindu berkobar membara, tapi hal itu juga belum bisa membuat pikiranku kembali merasa tercerahkan. 

Adikku Aji melepaskan pelukan itu, dan menyadari bahwa rona senyum kakaknya tidak seperti biasa, mungkin, dia pun khawatir, “Mas Ans kenapa? sepertinya ada yang Mas pikirkan.” Aku sudah duduk di kursi yang terhias bunga anggrek pada pohon di sebelahnya. 

“Mas tidak apa-apa.” Aku berpura-pura mengembangkan senyum di bibir agar adikku tidak juga ikut terbebani oleh masalah ini.

“Mas! Kita ini saudara, Mas yang aku punya satu-satunya, dan kita berkumpul sudah dari kecil. Aku tahu kalau dengan raut wajah Mas yang seperti saat ini berarti Mas lagi ada masalah. Sudahlah, Mas, ceritakan! Siapa tahu solusinya Allah bukakan melalui Aku.”

Aku menghela napas dan berpikir sejenak, hatiku pun lunak untuk bisa bercerita pada Aji, sedang kuyakin dia pun satu-satunya yang akan tetap berada di sampingku kelak saat yang lain berpaling, sebab dia saudara kandungku. 

"Apa iya aku harus menceritakan pada Adikku, sedang hal ini kurasa sedikit konyol. Iya, masalah hati, aku sulit menele’ahnya,"gumamku dalam hati. 

“Mas!” Lagi-lagi Aji mengagetkanku. “Kenapa malah ngelamun?” Aku tersenyum tipis pertanda hatiku memang sedang bergejolak.

“Ini lo ... Mas sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja Mas lagi bingung.” Aku menjelaskan juga dengan perasaan kacau balau, sehingga sulit menata kata-kata bahkan untuk mengawali sebuah cerita. 

Aji mendengarkan dengan seksama, menatapku dengan seriusnya pun penuh raut tanda tanya, Pertanda sudah sangat siap merekam setiap ceritaku. “Bingung kenapa, Mas?” perkataan yang muncul setelah dia mengangguk kecil.

“Umi mau menjodohkan Mas.” 

“Wah bagus dong, Mas, lagian apa yang Mas beratkan, Mas kan memang belum punya calon istri? Menikah itu menyempurnakan separuh iman lho, Mas. Eh bentar-bentar Mas.”

Aji kegirangan sehingga sulit mengontrol setiap perkataan yang dia lontarkan. “Berarti sebentar lagi aku akan punya ponakan dong? Wah ini kejutan luar biasa Mas, aku baru mendapat gelar S.Pd-ku. Menurutku itu saja sudah cukup kok Mas jadi hadiah Mas buat aku...hehe,”lanjutnya. 

“Aji!” Suara itu terdengar lantang tapi tetap lembut, dan itu suara Umi.

“Enggeh, Mi.” Sontak Aji berdiri menghadap Umi, dari kita kecil memang sama-sama tidak bisa untuk tidak segera menghadap jika Umi sudah memanggil.

“Sebentar ya, Mas, tadi aku datang dari Jombang memang langsung mencarimu, sebab aku panggil Umi tidak ada.” Aku tersenyum mengiyakan. “Kita lanjut nanti malam ceritanya ya, Mas, terima kasih kejutannya, Mas Ans.” Aji pergi dengan senyum lebar di pipinya. 

“Aji...Aji.” Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala sembari mendesah pelan.

Taman yang ramai dengan bunga-bunga, kembali terasa sepi seakan tidak sedang terhias apa-apa. Kutangkupkan kedua telapak tanganku ke muka. Pasrah.

“Apa iya aku harus menikahi Hanna?” Aku membatin. 

“Mas Ans! Sini dipanggil Umi,” seru Aji memanggil.

***

“Mas Ans, ini lho adikmu datang kok malah masih diam di taman. Sini, kita makan bareng tadi Hanna sudah masakkan kita makanan special, kesukaan kalian berdua,” tegur Umi yang memang sangat suka dengan masakan Hanna.

“Hanna, Mi?” Aji terbelalak, mendadak kaget mendengar nama Hanna.

“Iya, calon kakak iparmu.” Aku melihat ada yang tiba-tiba berubah dari rona wajah adikku, tapi dengan pikiranku yang masih kacau ini aku tidak sanggup mengartikannya.

Aku duduk di samping Aji, kemudian Abah menyusul. Abah memang selalu datang agak akhir, saat kita semua sudah diyakini beliau berkumpul di meja makan. 

“Mas Ans! Kamu sudah cerita belum sama adikmu, Aji?”

“Sampun, Mi.” 

*Sampun: Sudah

Suasana di meja makan terasa hening, aku dengan beban pikiranku yang merasa masih di awang-awang kehilangan nafsu untuk makan. Aku hanya mengambil sedikit masakan Hanna, sedangkan yang lain asyik menikmatinya. 

Aku pun selesai lebih dulu, dan pamit pada Umi untuk bersiap-siap mengisi kajian, iya kajian dan lagi-lagi aku harus mengajar Hanna, yang pasti dia akan selalu bertanya sehingga menuntutku melihat ke arahnya, dan itu sedikit membuat aku tidak nyaman dan merasa tersiksa. 

***

Kajian yang kuisi hari ini kurasa kurang maksimal, dan jawaban yang kuberi pada setiap santri yang bertanya pun kuyakin membingungkan. Entahlah sejak kapan aku menjadi orang yang membawa-bawa masalah pribadiku ketika mengajar. 

Malam pun tiba, langit terhias indahnya bulan purnama yang ditemani oleh bintang-bintang di sampingnya.

Sejenak aku bergeming,”Jika bulan saja ditemani bintang, masak iya aku selalu menginginkan kesendirian. Apa iya aku harus menerima perjodohan ini, tapi aku kasihan pada Hanna jika harus tahu aku menikahinya tidak atas landasan cinta.” Terdengar ketukan pintu. 

“Masuk.” Dan ternyata Aji. 

“Eh kamu, Ji?” 

“Iya laa Mas. siapa lagi kalau bukan adikmu yang tampan ini.” 

“Apaan sih kamu.” 

“Mas Ans tetap terbebani masalah perjodohan itu?” Aji bertanya sembari duduk di kursi tepi rajang tidurku. 

“Yaa begitulah, Mas ragu apakah Mas bisa membangun rumah tangga tanpa dasar cinta.” 

“Mas! Jodoh itu sudah ada yang mengaturnya. Kita tidak tahu bahwa kita akan menikah dengan siapa, dengan orang yang kita cintai kah, atau malah dengan orang yang bahkan kita belum punya rasa sama sekali padanya. 

Memang sih, kita semua pasti menginginkan untuk menikah dengan orang yang kita cintai, tapi apa Mas bisa menawar jika itu sudah jodoh Mas?” jelasnya panjang. membuat aku yang awalnya berdiri saja di tepi jendela, memutuskan untuk duduk, sebab jika tidak, bisa kesemutan kaki ini mungkin sudah menjalar hingga ubun-ubun.  

“Terus?” 

“Yaa, Mas terima lah. Apalagi itu sudah pilihan Umi sama Abah, aku yakin pasti sudah yang dirasa terbaik untuk Mas.”

“Walau Mas tidak cinta?” 

“Iya, Mas! Cinta itu bisa tumbuh secara perlahan. Mas terima dengan bismillah jika Mas merasa ini bukan yang terbaik untuk Mas. Husnudzan Billah (Berbaik sangka pada Allah) ini yang terbaik menurut Allah. 

Aku pun mengangguk pelan, aku memang merasa lemah saat ini, padahal sebenarnya apa yang diungkapkan adikku itu, hal yang sebenarnya sederhana dan tidak perlu membuka belasan kitab untuk menjawabnya, tapi tetap aku merasa lemah untuk meyakinkan hatiku sendiri. Aji tersenyum kemudian pamit untuk segera ke kamarnya.

Hari sudah malam, entah apa yang membuat Umi membatalkan pergi ke rumah Hanna malam ini seperti yang diungkapkan tadi pagi, aku tidak bertanya, kubiarkan semua mengalir apa adanya. 

Bersambung...

Hai, hai, jangan lupa dukung cerita ini dengan vote and komennya, ya ;)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status