Share

Tikungan Sepertiga Malam

“Cintai sejati, akan berusaha saling memahami walau ujian yang dihadapi lebih samar dari bekas tusukan jarum dan lebih ganas dari mangsa ular berbisa.” 

~Novita_A12~

Pov: Ans

Peperanganku dengan perasaanku dimulai, aku harus berusaha menerima Hanna walau sejatinya aku belum paham, ini akan mudah ataukah sulit bagiku. Sejatinya menumbuhkan rasa cinta itu tidak semudah menunggu tumbuhnya biji sawi yang sekali sebar hanya menunggu beberapa hari langsung bisa tumbuh dan menjanjikan hasil di kemudian hari. Ini adalah cinta yang hingga kini aku pun bahkan tidak tahu bijinya mau aku tanam dimana. 

Aku masih ada di rumah Hanna, aku hanya diam. Kubiarkan Abah dan Umi yang menyampaikan semuanya. Sebenarnya Aku tak paham jika diminta untuk menyampaikan kata walau sepatah saja. 

“Mas Ans, ada yang mau disampaikan?” pertanyaan Umi benar-benar mengagetkanku.

“Mboten, Mi,” jawabku dengan detak jantung karuan. 

Suasana kembali hening, karena dirasa sudah agak lama dan semua maksud kedatangan kami pun sudah di sampaikan. Masalah pernikahan akan kami bicarakan kembali saat prosesi lamaran dari keluarga Hanna, saat itu lah tanggal pernikahan kami akan ditetapkan, yang kurasa tidak akan jauh dari jarak pertunangan kami.

Kami pun pamit pulang, keluarga Hanna menyambut hangan kedatangan keluarga kami, kami sangat senang, Abah juga Umi menyampaikan terima kasih atas semua sambutan dan wejangannya, sedang aku dan Aji hanya bisa tersenyum dengan sedikit senyum dan anggukan kepala. 

***

“Mi! Apa Ans bisa ....” tanyaku pada Umi yang tiba-tiba dipotong oleh Adikku, Aji. 

“Pasti bisa nggeh Mi,” ucapnya. Aku pun menepuk pundaknya sembari berbisik, “Ssst, Mas mau bicara sama Umi.”

“ Apa Ans bisa ....” lagi-lagi Aji menyambar pembicaraanku.

“Mas Ans pasti bisa, Mas. Masak dengan jarak yang mungkin hanya beberapa bulan saja Mas Ans ndak bisa,” potongnya. 

“Ajiiiii...,” Aku menggerutu kesal. Kemudian kulanjutkan dengan nada sedikit meninggi, “Ah, sudah lah... lupakan!” 

Aku kesal pada Aji, tiba-tiba Umi menoleh dan tersenyum melihat ke arahku. 

“Mas Ans inginnya pernikahan ini dipercepat?” pertanyaan Umi kali ini membuatku semakin merasa sulit bernapas, aku terbelalak. 

“Mboten ....” aku menjawabnya, dan lagi-lagi Aji memotong pembicaraanku. 

“Nah, enggeh Mi, itu maksud Mas Ans dari tadi. Enggeh kan Mas?” Aku melotot padanya, dia palingkan mukanya dengan tersenyum remeh sebelumnya membuat aku semakin geram ingin meremas-remas wajah yang berlagak lucu itu. 

“Ya sudah, Mas. Nanti kita bicarakan saat keluarga Hanna ke rumah, tinggal satu minggu lagi kok.” Aku hanya diam dengan ku pijatkan tangan pada kening mengkerutku. 

Aji tersenyum puas dengan jawaban Umi, aku sudah tidak sabar menunggu sampai rumah dan membantai dia habis-habisan. 

***

Di persimpangan agak jauh dari rumah, tiba-tiba Aji menginginkan sopir untuk menghentikan mobilnya. 

“Mi! Aji mau turun di sini dulu enggeh. Aji mau bertemu teman,” ucapnya meminta izin Umi. Aku pun semakin geram, dia menghadap ke arahku dengan tersenyum yang kurasa itu senyum ledekan. 

“Iya, Ji. Nanti pulangnya gimana?” Umi mengizinkan.

“Nanti Aji diantar teman, kalau tidak Aji mungkin naik gojek Mi,” ucap Aji sembari mencium punggung tangan Umi. 

Aku geram sembari berucap, “Hati-hati Ji!” Aji tersenyum, “Siap Mas.” Aji mengangkan tangannya layaknya sedang hormat berdera.

***

Beberapa menit kemudian, kami sampai rumah. Badan ini terasa remuk, hampir seharian kami berada di luar. 

“Mi! Ans langsung ke kamar nggeh, Ans mau mandi, istirahat sebentar mau nunggu adzan maghrib,” tuturku lemas.

Umi tersenyum dan mengelus pundakku, “Yauda, nanti jangan lupa buat makan malam, jangan tidur ya!” 

“Enggeh Mi, Ans tidak mungkin tidur. Tapi kayaknya setelah sholat isya’ Ans mau langsung tidur, kan sudah kenyang tadi makan di rumah Hanna,” 

“Cie, yang muali terpesona dengan masakan Hanna.”

Aku hanya tersenyum, tidak ingin melanjutkan sebab pasti Umi akan terus menggodaku tentang Hanna. 

***

Setelah sholat isya’, terdengan suara mobil. Aku yakin itu suara mobil yang mengantarkan Aji. Dengan segera aku menyelinap ke kamar Aji, dan bersiap membantai dia sebab persoalan tadi sore. 

“Mas Ans!” Aji kaget, dan aku tak kalah kaget, sebab tidak terdengan suara 

kakinya melangkah dan tiba-tiba dia sudah membuka pintu kamarnya. 

“Hmm.” Mulai kupasang wajah sinis dan siap membantai Aji. 

“Hehe... Mas Ans kenapa?” 

“Kenapa kamu tadi sore berkata seperti itu di hadapan Umi, padahal kamu tahu gimana perasaan Mas,” ucapku dengan nada tinggi. 

“Mas! Abah sama Umi sudah ke rumah Hanna, apa mas rela jika Abah sama Umi merasa bersalah dengan kebimbangan yang hendak Mas katakan.

“Aji! Mas tidak mungkin bisa mengecewakan Umi juga Abah. Mas hanya minta pendapat pada Umi sama Abah, siapa tahu ada saran mengenai rasa ini yang tidak kunjung bisa Mas munculkan.”

“Mas! jika mas belum bisa mencintai Hanna secara langsung, coba Mas mencintai Hanna melalui do’a Mas, selipkan do’a buat Hanna, walau bagaimana pun sebenar lagi Mas akan menikah dengan Hanna.”

Aku hanya terdiam dan duduk di kursi belajar adikku, sedang Aji masih berdiri di depan lemari dekat pintu, sebab aku langsung menyerbunya begitu dia memasuki kamar.

“Sekarang coba Mas renungkan, Hanna sudah menerima Mas, apa Mas mau menyia-nyiakannya, terutama kepercayaan orang tuanya. Orang tuanya rela memberikan anaknya untuk mengabdi pada Mas, yang beliau percayai bahwa Mas akan mencintai Hanna. Jika Mas hanya selalu berpikir hal yang masih belum tentu terjadi, apa Mas yakin itu tidak akan melukai Hanna, bukan cuma Hanna, tapi juga keluargnya pun keluarga kita.”

Aku hanya terdiam, kemudian meninggalkan kamar Aji. Aku renungkan perkataannya, kenapa aku menjadi selemah ini, aku hanya memikirkan egoku sendiri. 

Ku baringkan badan ini, terasa begitu berat saat pikiran dan hati tidak sejalan. Aku baru merasakan sebuat rasa yang harus kupaksakan.

 

***

Pov: Hanna

"Allahumma Habbibnii Ilal Qur’an W* Habbibil Qur’an Ilayya"(Ya Allah cintakanlah aku pada Al-qur’an dan cintakan al-qur’an padaku.)

Kubaca do’a di atas sembari kubuka pelan mushafku, tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini dengan tak kunjung munculnya rasa ini selain dengan do’a. Aku hanya bisa menginginkan sesuatu tapi Allah yang memutuskan. 

Aku sebenarnya bukan dari pesantren tahfidz, qadarullah aku diberi kesempatan untuk bisa menghafal Al-Qur’an. Belum khatam, karena memang aku ingin menyelesaikan hafalanku dengan suamiku kelak, aku tidak menyangka bahwa yang akan menjadi suamiku adalah guruku sendiri. 

Kubaca beberapa ayat, aku ulangi beberapa yang aku rasa belum lancar dalam ingatanku, aku yakin dengan aku mengulang-ulang, ada masanya aku akan lancar melafadzkannya. 

“Kuputuskan satu impian

Aku ingin jadi hafiz Qu’an 

Ku akan bertahan walau sulit melelahkan 

Allah beri aku kekuatan...”Hp ku berbunyi pertanda masuknya sebuah panggilan. Nomor baru, aku bingung dengan segera aku angkat telepon. 

“Asslamu’alaikum.” 

“W*’alaikumussalam W*harmatullah.” suara dari seberang, suaranya tidak asing.

“Maaf, apakah telepon ini mengganggu?” suara itu terdengar kaku dan gagu. 

“Tidak, maaf dengan siapa ya?” tanyaku.

“Kamu tidak hafal dengan suara Gusmu?” suara itu membuat detak jantungku terasa berhenti. 

“Gus Ans?” 

Bersambung...

Jangan lupa vote and komennya, ya;)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status