Share

Sabar akan Rasa

“Saat memutuskan mencintai, maka saat itu pula kita harus siap dengan rasa sakit hati. Sejatinya bahagia dan duka sebab cinta, laksana telinga dengan mata yang hanya tersekat beberapa jarak saja.”

~Novita_A12~

Pov: Hanna

"Ya Allah... hari ini keluarga pesantren akan menyerahkan seserahan itu, dan saat seserahan itu sudah aku terima, tidak ada peluang aku membatalkannya, jikapun bisa maka akan banyak hati yang tersakiti. Apa iya aku harus membatalkannya?" Pagi ini aku larut dalam lamunan di atas meja belajar yang menghadap ke arah jendela, sengaja menghadap ke arah sana, agar saat belajar otak tetap fresh melihat pemandangan hijau dedaunan di depan sana. 

“Hanna!” ibu memanggilku, aku pun sadar dari lamunanku, aku terbelalak melihat buku catatanku penuh dengan coretan spiral. ‘Saat ini saja aku sudah pusing melihatnya, apalagi beberapa tahun setelah aku punya anak nanti.’ Pikiranku mulai ngawur entah ke arah mana. 

Aku tutup buku tersebut, dengan segera meluncur ke dapur. “Enggeh Bu?” Ibu kaget melihatku. Aku pun bingung, dan meneliti penampilanku dengan sangat teliti. “Itu kenapa pulpen kamu bawa ke dapur?” Ibu tertawa ringan sembari mengaduk-aduk makanan di bejana. 

“Hehe... Enggeh! Hanna kembali ke kamar lagi.” Aku pun bergegas ke kamar, tidak aku letakkan di dapur, sebab aku suka lupa dengan barang yang kubawa jika tidak aku letakkan kembali pada tempatnya. Bahkan jika aku tanya pada ibu mengenai apa yang aku bingungkan karena lupa tempat akhir aku meletakkan, pasti Ibu langsung menegurku. ‘Makanya, kalau naruh barang jangan menghadap ke belakang.’ 

Sesegera mungkin aku langsung kembali ke dapur, sebelum kembali larut dalam gegana(Gelisah, galau, merana). Langsung aku raih beberapa sayur yang harus dipotong hingga siap rebus. “Aduh” Pisau itu menyapaku dengan sedikit goresan luka. Tapi bukan salah pisaunya, lagi-lagi aku larut dalam lamunan. “Kenapa Han?” Ibu panik. “Hehe... Mboten nopo-nopo Bu.” Ibu pun menggeleng-gelengkan kepala. ‘Hanna! fokus dong, kenapa dari tadi tingkahmu aneh sih”gumamku sembari lanjut memotong sayur. 

*Mboten nopo-nopo: Tidak apa-apa

***

Pov: Aji

Perjalanan menuju butik sedikit jauh, membutuhkan sekitar satu jam setengah perjalanan, tapi demi Mas Ans juga kebahagiaan Hanna, aku harus menempuhnya. Saat ini aku yang mengendarai mobil, Mas Ans ada di sebelahku, Umi dibelakang dengan salah satu santriwati. 

“Mas!” panggilku pada lelaki yang duduk di sebelahku, rupanya dia sedang melamunkan sesuatu. 

Dan Mas Ans Cuma menolehkan pandangannya, kemudian kembali memandangan ke arah depan. “Mas Ans sudah ada planing mau belikan Hanna baju seperti apa?” Mas Ans rupanya kaget dan belum terpikir ke arah sana, sehingga dia tersedak dan segera meraih air minum di depannya. 

“Nanti Umi yang pilihkan, tentu dengan persetujuan Mas mu.” Aku hanya tersenyum. “Enggeh Mi.” 

Perjalanan pun kembali hening, hanya ramai dengan bunyi kendaraan yang berlalu lalang, juga suara mesin mobil yang nyaris tak terdengar suaranya. ‘Santriwati memang banyak, tapi aku pun tidak memahami kenapa hatiku harus condong pada Hanna, dan menurutku wajar jika hati ini memilih Hanna, Umi saja yang lebih kenal Hanna memilih Hanna menjadi menantunya, apalagi...Ah sudah Ji. Sebentar lagi Hanna akan menjadi kakak iparmu.” 

Kuhentikan laju mobil dekat butik bertuliskan Hanna’s Store. “Di sini Mi?” Aku menoleh saat laju mobil berhenti. “Iya. Ayo kita turun.” Mas Ans memang dari kecil selalu tidak terlalu banyak berbicara, tapi aku selalu berusaha mencairkan suasana saat bersamanya. 

Kami pun melangkah masuk, Mas Ans menghentikan langkahnya. “Ada apa Mas?” tanyaku. “Ini benar? Butiknya bernama Hanna’s Store ?” Mas Ans kaget, sedang Umi sudah lebih awal masuk butik. “Iya Mas, emang kenapa?” Mas Ans Cuma terdiam, kemudian melanjutkan kembali langkahnya. 

Aku yang masih tertinggal di belakang langkahnya, hanya menggeleng-geleng kepala, dan sedikit menahan tawa dengan tingkah Mas Ans. Aku berusaha mengubur rasa ini dengan setiap senyum pura-puraku di depan semua orang, aku berharap senyum pura-pura ini bisa menjadi nyata, tergantikan dengan hilangnya rasa dan senyum itu bisa kembali tulus menyapa. 

***

Beberapa Jam berputar-putar di butik, tidak terasa tiga jam kita habiskan di sana. Berangkat dari rumah memang agak pagi, karena berharap adan dzuhur sudah berada di rumah kembali, sehingga tidak perlu sholat di masjid dekat butik. 

Kami sudah berada di dalam mobil dan sipa untuk pulang, sebab setelah adzan asar mau langsung ke rumah Hanna. Aku ikut? iya, tentu aku ikut. Aku harus mengenyampingkan rasa perih ini, demi kebahagiaan Abah, Umi, juga Mas Ans. 

“Mas Ans!” panggil Umi. Sontak Mas Ans menjawab dengan menoleh ke arah Umi.

”Enggeh Mi” Tampak dari pantulan kaca depan mobil, Umi tersenyum penuh rona bahagia. 

“Sudah siap buat mengkhitbah Hanna kan?” Mas Ans hanya tersenyum, aku pun turut tersenyum, bergumam dalam hati semoga Mas Ans bisa mencintai Hanna dan memperlakukan dengan sebaik-baiknya. 

Umi sangat yakin bahwa Mas Ans akan mencintai Hanna, aku pernah menyampaikan apa yang pernah Mas Ans ceritakan padaku, tapi Umi tetap yakin Hanna bisa meluluhkan hati Mas Ans. Dan lambat laun Mas Ans bisa mencintai Hanna. Entah apa yang membuat Umi sangat yakin pada Hanna. 

Setelah beberapa jam perjalanan pulang, kami pun segera bersiap-siap sholat dzuhur. Kemudian masing-masing bersiap-siap menuju rumah Hanna. Aku memaksakan ikut, sebab sebentar lagi aku harus mengurus berkas kampus, aku khawatir tidak bisa hadir pada  pernikahan Mas Ans. Tapi aku akan berusaha hadir, untuk meyakinkan hati ini, bahwa Hanna yang pernah aku cintai kini menjadi kakak iparku sendiri. 

***

Saat sudah di rumah Hanna, seserahan juga sudah di terima oleh pihak Hanna, perbincangan hangat pun di mulai dengan suguhan beberapa kue basah khas rumahan. 

“Jadi dengan kedatangan kami kembali ke sini, kami hendak mengikat Hanna dengan putra kami Ans, kami berharap hal ini menjadi perantara semakin eratnya tali silaturrahmi di antara keluarga kita.” Abah memulai perbincangan. 

Pihak Hanna juga menanggapi dengan hangatnya, sekilas aku lihat Hanna tersenyum. Aku yakin Hanna bisa bahagia, dan mungkin saat ini Hanna sudah melupakan surat itu, atau surat itu memang tidak pernah Hanna simpan. 

Ayah Hanna pun tersenyum dengan ungkapan Abah. “Kami juga sangat berterima kasih dan sangat menggantungkan harap prosesi ini lancar hingga nanti ke pelaminan.” ucap Ayah Hanna, aku belum pernah tahu Hanna memanggil apa pada Ayahnya, selain aku lama di Jombang, aku juga belum pernah tau saat-saat Hanna dikirim sewaktu di pesantren. 

“Aamiin, dan kami berharap jeda pertunangan dengan pernikahan tidak terlalu jauh. Lagian Hanna sudah siap kan menjadi istri Ans?” Semua pandangan tertuju pada Hanna, dan lagi-lagi hatiku semakin rapuh melihat senyum Hanna, segera kupalingkan pandanganku, khawatir rasa ini bukan malah hilang tapi justru menjadi keegoisan. 

Aku putuskan untuk fokus pada tujuanku, dan tidak berani membuka hati sebelum aku benar-benar siap menghalalkan. Terima kasih atas pengalamannya, Hanna. 

Bersambung...

Thanks sudah mengikuti sampai sini, guys. Jangan lupa vote and komennya ya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status