Lily heran, dia hanya kaget mendengar Arsen bertanya dengan nada tinggi seperti itu.“Di sini dingin, jadi aku memakai baju menyesuaikan suhu,” jawab Lily.Lily tidak berani memandang Arsen, matanya menghindari tatapan pria itu yang sedang memindai penampilannya. Lily melirik Arsen yang tampak membuang napas kasar. Pria itu berjalan ke dekat ranjang lalu menyambar remote pendingin ruangan.“Lepas jaketmu atau kamu bisa mati kepanasan,” ucap Arsen dingin.Lily bergeming, dia masih berdiri di tempatnya lalu memainkan ujung lengan dan bulu-bulu di kerah jaket model parka yang biasa dia pakai saat liburan ke luar negeri.Lily terlihat sangat imut dan menggemaskan.“Sebenarnya aku takut tidur satu kamar denganmu.” Lily menunduk, menekan ujung jari kakinya ke lantai dan bicara tanpa menatap Arsen yang masih berada di dekat ranjang.“Malam itu mungkin kita sudah ….” Lily urung menyampaikan isi kepala, bibir mungilnya menghembuskan udara diikuti dengan pundak yang turun. “Aku bukan wanita sep
Ternyata sepatu bagus juga bisa membawa kita ke neraka. Lily ingin kabur saat tahu bahwa Sonia merupakan direktur pemasaran dari ARS Company. Sialnya sekarang dia harus menjadi bawahan wanita itu. Lily mencoba mengumpulkan kekuatan, terlihat lemah di depan Sonia sama saja menggali kuburan sendiri. “Lihat! Tanpa melewati proses seleksi, dia bisa diterima bekerja di sini.” Sonia berucap lantas menoleh pada staf lain yang ada di ruangan sebelum kembali menatap Lily. “Sebenarnya apa hubunganmu dengan Pak Arsen?” Lily tak merespon pertanyaan Sonia, dia hanya memandangi tingkah selingkuhan Bryan itu yang saat ini sedang memandang remeh padanya. ‘Apa dia mau melakukan hal yang sama seperti delapan tahun yang lalu? Merundungku?’ Lily memandang staf lain yang berdiri diam seperti menikmati pertunjukan antara dirinya dan Sonia. “Karena kamu masuk ke sini tanpa melewati wawancara denganku, maka aku tidak bisa mengakui kemampuanmu.” Lily muak melihat Sonia terang-terangan mencibir dan mer
Siang itu di sebuah restoran bintang lima, Arsen duduk diam memandang piring berisi makanan yang baru saja pelayan sajikan. Satu jam yang lalu, ibu mertuanya meminta bertemu dengannya. Arsen bersedia meluangkan waktu karena Risha berkata ingin membahas soal Lily. "Kenapa Anda dan Pak Adhitama tidak menyewa pengawal lagi untuk Lily?" tanya Arsen lalu memandang Risha. Kening Arsen berkerut samar setelah sadar dengan yang telah dikatakannya pada Risha ketika melihat ekspresi aneh di wajah wanita itu. Arsen sedikit menyesal, seharusnya ia tidak menggunakan kata ‘lagi’ tadi atau Risha akan … "Lily pasti sudah bercerita," ucap Risha menarik kesadaran Arsen. "Dia juga pasti memberitahumu alasannya kenapa tidak mau memakai pengawal lagi." "Apa karena dia dirundung dan dikatai anak manja oleh teman-temannya sewaktu sekolah?" tanya Arsen. Arsen tertegun menangkap ekspresi wajah Risha. Kemudian ia menggeleng samar, kembali menyadari kesalahannya berbicara. "Lily pasti akan marah kalau aku
Thomas berdiri di belakang Arsen yang duduk di samping ranjang Lily. Dia tidak bisa menerka apa yang ada di pikiran atasannya saat ini.Sejak membawa Lily ke rumah sakit Arsen tak bicara apa-apa padanya kecuali hanya fokus pada kondisi Lily.Thomas berniat meminta maaf. Dirinya khawatir mungkinkah ia sudah membuat kesalahan karena menyentuh wanita Arsen?Namun, belum juga Thomas buka suara, Arsen lebih dulu berkata, “Pecat karyawan yang mendorong Lily tadi! Dan pastikan dia tidak akan pernah bisa bekerja di perusahaan mana pun."Thomas merasa lega ternyata bukan tindakannya yang membuat Arsen diam. Dia mengangguk kemudian pamit pergi pada Arsen, sambil berjalan Thomas mengingat kembali kejadian perundungan yang dilakukan staf pemasaran pada Lily di lift.Thomas dan Arsen baru saja kembali dari luar, mereka melihat kejadian itu lantas Thomas buru-buru berlari setelah menoleh pada Arsen yang tampak menggertakkan gigi.Thomas mengambil tindakan karena paham Arsen dan Lily menyembunyikan
Ketika pandangan Arsen tertuju pada pergelangan tangan yang dicekal Lily, Lily baru tersadar. Buru-buru Lily menarik tangannya dan meminta maaf. Lily menundukkan kepala, merasa canggung dan takut di saat yang bersamaan terhadap Arsen. "Apa kamu benar-benar sudah merasa baikan?" Lily kaget dan langsung menatap wajah Arsen. Lily mengangguk tanpa ragu. Lily senang Arsen bertanya hal itu padanya, meski setelahnya pria itu tak mengatakan apa pun lagi. Sore menjelang malam, Lily bisa bernapas lega karena Arsen mengabulkan permintaannya. Meskipun harus memakai kursi roda saat keluar dari kamar, tetapi setidaknya Lily tidak perlu bermalam di tempat yang paling dia takuti. Lily mencoba bangkit saat mobil yang menjemput dirinya dan Arsen datang. Dia baru akan menegakkan badan saat Arsen tiba-tiba saja mengangkat tubuhnya. Lily terkesiap, jantungnya tiba-tiba berdetak aneh dan pipinya terasa panas karena perlakuan Arsen terhadapnya. Pria itu bahkan memasangkan sabuk pengaman pada Lily. Aka
Pagi itu, Lily terbangun dengan situasi yang belum bisa ia cerna. Ketika ia mengedarkan pandangan yang Lily temui hanya Bibi Jess yang berada di samping tempat tidurnya, dan dua orang pelayan yang berdiri tidak jauh dari mereka."Tuan sudah pergi.” Bibi Jess berkata seolah mengetahui kebingungan yang dirasakan Lily. “Tuan bilang ada urusan mendesak, jadi mungkin akan pergi dua hari. Beliau juga berpesan agar Nona tidak perlu berangkat kerja hari ini."Lily tiba-tiba merasa aneh, menyentuh dadanya. Ada yang hilang. Kenapa Arsen tidak pamit padanya?Lily tiba-tiba menggelengkan kepalanya, mengembalikan kesadaran, tetapi ia tetap meraih ponsel di atas nakas.Melihat ponselnya kosong, tiba-tiba kekecewaan memenuhi hatinya.Arsen benar-benar tidak berpamitan padanya.Mengalihkan hatinya, Lily menyibakkan selimut. "Aku tidak bisa di rumah seharian, aku pasti akan bosan, Bi. Tidak masalah, aku akan meminta izin suamiku berangkat kerja hari ini."Dia hendak turun tetapi rasa sakit di pergelan
Lily masuk ke ruang bagian pemasaran bersama Dini. Dia mengucapkan salam ke rekan satu timnya yang sudah datang, tetapi Lily merasa rekannya kini memandang sungkan padanya.Lily memandang ke arah meja kerja Sonia. Meskipun sosoknya tidak tampak, tetapi Lily melihat tas wanita itu sudah ada di atas meja.Lily tak peduli, dia duduk dan langsung membuka laptop. Pekerjaannya menumpuk karena Sonia memberinya beban lebih berat dari staf lain.Ponsel Lily tiba-tiba bergetar menarik fokus Lily dari laporan yang harus dia susun dan selesaikan.[Apa kamu ada waktu? Aku mau bertemu]Kening Lily berkerut samar melihat nomor asing yang ke ponselnya dan mengirimkan pesan.Namun, dari foto profil yang terpampang Lily bisa tahu pemilik nomor itu adalah Bryan.Lily membiarkan saja pesan Bryan tanpa berniat membalas, tetapi lagi-lagi pesan dari mantan tunangannya itu masuk dan membuat Lily kesal.Lily ingin langsung memblokir, tetapi satu pesan dari Bryan kembali masuk ke ponselnya.[Apa kamu memiliki
Arsen memandang keluar jendela mobil mewah miliknya yang dikemudikan Thomas.Beberapa saat yang lalu Arsen baru mendapat kabar dari Bibi Jess tentang Lily yang tetap bersikeras berangkat kerja meski ia larang.Pria tampan itu urung tersenyum menyadari Thomas sejak tadi mengawasi dari kaca spion tengah. Tatapan Arsen beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di samping kursinya."Pak, apa Anda yakin akan melakukan ini?"Arsen tak menjawab pertanyaan Thomas, dia meraih ponsel itu lalu menyalakannya."Tahun ini sepertinya akan menjadi tahun keberuntunganku. Aku tidak menyangka selingkuhan Jerry adalah psikiater Lily," ucap Arsen.Thomas tersenyum, dia memandang Arsen lagi sebelum kembali fokus mengemudi.Thomas menggeleng samar. Di dunia ini apa yang tidak bisa Arsen lakukan? Jangankan hal yang lurus, yang buruk saja bisa bosnya tangani."Bedebah sialan itu memberiku obat perangsang di hari pertama kakiku menginjak negara ini," kata Arsen. "Dia pasti tidak menyangka selama ini aku memeg
Adhitama memindai ruang tengah rumah Arsen. Dia lantas mengambil cangkir yang ada di meja lalu menyesap teh di dalamnya. Adhitama meletakkan cangkir kembali lantas berkata," Sebagai sesama pengusaha, aku merasa salut padamu. Kamu bisa mengembangkan ARS yang dulunya hanya perusahaan buangan kakekmu dan nyaris bangkrut." Arsen diam dan hanya mendengarkan Adhitama bicara. "Aku heran kenapa Arya tidak pernah menceritakan punya adik sukses sepertimu padaku." Adhitama menekuk bibir dan mengedikkan bahu setelah bicara. "Jujur saja, orangku tidak bisa menemukan informasi mendalam tentangmu. Informasi hanya seperti apa yang kamu perbolehkan orang lain tahu," ucap Adhitama. Arsen masih diam mendengarkan. "Aku bisa saja bertanya pada Arya, tapi bayarannya terlalu mahal, dia pasti menginginkan kontrak kerjasama lagi dengan Mahesa." Arsen tersenyum miring. Dia senang Adhitama tahu bagaimana liciknya Arya. "Untuk pria yang terlalu misterius sepertimu, bukankah wajar kalau aku tidak
Arsen panik saat Lily meneleponnya dengan suara bergetar. Dia langsung meninggalkan pekerjaannya untuk segera menemui Lily. Arsen pergi ke ruang divisi pemasaran dan membuat semua staf istrinya kaget. "Mana Lily?" Arsen menatap para staf yang hanya mematung memandang ke arahnya. Di saat itu, Dini yang berada di luar berlari ke arah Arsen sambil menunjuk ke arah kamar mandi. "Pak, Lily di kamar mandi, dia menangis. Aku tidak tahu dia kena .... pa." Arsen tak menjawab Dini karena lebih dulu berlari ke arah kamar mandi. Dia masuk lalu mambuka semua bilik yang ada untuk menemukan Lily. Di salah satu bilik akhirnya Arsen melihat Lily duduk menggenggam ponsel sambil gemetaran. Hingga Lily berdiri perlahan keluar dan berkata," aku takut." Arsen tanpa bicara meraup tubuh Lily dan mempopongnya. Dia membawa Lily keluar lalu berjalan cepat menuju lift. "Tidak usah takut, ada aku. Semuanya pasti baik-baik saja," kata Arsen. Arsen berjalan keluar lobi, mengabaikan tatap
Siang itu, dengan alasan ingin membicarakan masalah Sonia, Lily meminta bertemu dengan Thomas. Awalnya Lily mendapat penolakan dari Thomas, tapi akhirnya pria itu setuju setelah dia mengancam akan mengadu pada Arsen. Saat ini mereka sudah duduk berhadapan di meja sebuah restoran cepat saji. Hidangan juga sudah tersedia. Namun, belum ada satu pun dari mereka yang mulai makan. Lily diam menatap Thomas. Pria itu terlihat gugup sampai beberapa kali memalingkan muka darinya untuk menenggak air mineral dari botol. "Kamu kenapa? Aku ini bukan hantu," ucap Lily ketus. "Kamu bukan hantu tapi mengajakku bertemu di tempat seperti ini di siang bolong lebih nenyeramkan dari pada melihat hantu." Thomas meluapkan perasaan. "Bayangkan jika ada paparazi lalu mengirimkan foto kita ke pak Arsen." Thomas meremas udara di depan mukanya. "Anakku masih kecil dan bayi, kamu tahu itu," ucap Thomas. Lily berdecak lidah mendengar balasan Thomas. Dia mengambil sepotong ayam goreng lalu meletakk
Lily menatap lekat Arsen yang hanya diam dan tak langsung menjawab pertanyaannya. Lily kaget saat suaminya itu mengangguk. Lily tak bisa berkata-kata, dia hanya bisa menatap Arsen penuh rasa iba. Lily buru-buru meletakkan ponselnya ke nakas. Dia lantas berbaring kemudian membuka lengannya lebar. "Malam ini aku mau tidur sambil memelukmu," ucap Lily seraya tersenyum. Arsen membalas senyuman Lily, dia mematikan lampu utama lalu mendekat dan membiarkan Lily memeluknya. "Kita sudah tidur saling berpelukan terus tiap malam," ucap Arsen. "Ini beda, biasanya aku yang manja," balas Lily. *** Hari berikutnya. Di ARS Company Pagi itu Lily berada di ruang kerja Arsen. Dia di sana bersama Arsen, Thomas, dan Jerry untuk membahas langkah selanjutnya menyelesaikan masalah Sonia. Lily sudah yakin memilih menempuh jalur hukum. Dia ingin Sonia mendapat pelajaran dan balasan yang setimpal. “Kamu tenang saja, timku akan segera membuat laporan ke polisi agar bisa segera diprose
Lily berjalan pelan menuju ruang kerja Arsen. Di belakang Lily, ada Thomas yang terus menatap punggung wanita itu. Thomas berharap Lily tidak membocorkan pada Arsen apa yang sudah dia katakan. Karena jika itu sampai terjadi, Arsen pasti marah dan tidak akan mau lagi mengenalnya. "Aurelia Dreyana, Aurelia Dreyana, Aurelia Dreyana." Lily mengulang-ulang nama ibunda Arsen yang Thomas sebutkan tadi. Lily tiba-tiba menghentikan langkah, dia meremas sisi bajunya karena baru saja mendapatkan petunjuk besar. "Au ... drey," lirih Lily. "Itu artinya .... " Thomas yang melihat Lily seperti itu menjadi ketakutan. Riwayatnya bisa saja tamat hari ini di tangan Arsen. "Hari ini dia hanya bertanya siapa nama ibu Pak Arsen, tapi besok bisa jadi dia bertanya hal lain," gumam Thomas. Thomas masih agak melamun, hingga matanya membola saat Lily sudah menjangkau ruang kerja Arsen. Thomas merasakan jantungnya hampir melompat keluar melihat langkah Lily yang lebar mendekat ke meja kerja
Arsen menatap Lily dalam-dalam. Dia tak membalas pertanyaan wanita itu dan malah menarik sabuk pengaman untuk dipakaikan ke tubuh Lily. "Besok, kita temui dokter kandungan dulu." Lily kaget sampai menepis tangan Arsen. "Mau apa? Jangan melakukan hal buruk ke anakku." Lily memeluk perutnya menggunakan dua tangan. Dia ketakutan. Arsen tertegun, merasa bersalah melihat reaksi Lily yang seperti ini. "Jangan takut. Aku janji akan melindungi anak kita meski taruhannya nyawaku," ucap Arsen. "Kita harus ke dokter untuk memastikan kesehatanmu juga kandunganmu. Bukankah kamu ingin mendengar cerita tentang ibuku? Aku ingin mengajakmu langsung ke rumahnya, kita harus menggunakan pesawat ke sana." Lily membeku mendengar penjelasan Arsen. Apa maksud Arsen? Bukankah ibu Arsen sudah meninggal? Lily tak ingin Arsen curiga kalau Bryan sudah menceritakan beberapa hal padanya. Dia mengangguk mengiyakan ucapan Arsen. ** Hari berikutnya. Seperti kemarin Lily berangkat bekerja
Lily berjalan menuju mobil yang menunggu di depan lobi. Saat akan masuk ke pintu belakang, Lily terkejut melihat Arsen masuk dan duduk di belakang kemudi. “Ayo,” ajak Arsen setelah menurunkan kaca jendela. Lily diam menatap pada pria itu. Dia tidak bergerak sama sekali dari posisinya. Melihat Lily yang hanya diam. Arsen keluar dari mobil lalu berjalan memutar dan membuka pintu penumpang depan. “Masuklah,” perintah Arsen. Lily menuruti Arsen dan langsung duduk. Arsen masuk lagi dan segera mengemudikan mobil meninggalkan gedung ARS. Seperti yang sudah Arsen duga, Lily hanya diam sepanjang jalan. “Mau makan dulu?” tanya Arsen menawari. Lily diam memandang ke luar jendela, dia baru sadar kalau mereka tidak menuju arah pulang ke mansion Arsen. “Kita mau ke mana?” tanya Lily sambil menoleh pada Arsen. “Ikut saja,” jawab Arsen dengan senyum kecil. Lily mengamati jalanan yang mereka lewati, lalu dia menegakkan badan saat menyadari ke mana Arsen membawanya. Taman dek
Lily tersenyum miring, mengambil gelas minumannya lalu menyesapnya santai. "Kamu tahu, Bryan? Mendengar ceritamu tentang suamiku membuatku semakin yakin kalau suamiku punya alasan kuat untuk tidak memberitahuku." Lily meletakkan gelasnya ke meja lantas bicara lagi. "Kenapa setiap kali bertemu dan mengajak bicara kamu selalu menjelek-jelekkan pamanmu? Padahal dia sedikitpun tidak pernah menceritakan keburukan keluarga kalian." Lily benar-benar tak habis pikir. "Dia itu manipulatif dan munafik," balas Bryan. "Mungkin bagi keluargamu, tapi tidak bagiku." Lily mulai emosi. Nada bicaranya meninggi. "Pamanmu pria baik dan aku bisa merasakan itu." Bryan malah tertawa terbahak, sampai bahunya bergetar. "Lily ... Lily, dia hanya menjadikanmu alat untuk keberlangsungan bisnisnya. Jangan menutup mata, atau kamu akan buta betulan. Jika kamu bukan anak Adhitama Mahesa dan mantan tunanganku, apa dia mau mendekati bahkan sampai menikahimu?" Bryan bicara agak panjang. Lily diam. Untuk
Sonia tampak terkejut, tapi dia tetap bersikap biasa. “Aku tidak mau mengeluh. Aku hanya mau bersenang-senang saja denganmu,” balasnya. Bryan tidak merespon. Dia memilih pergi ke kamar sambil melepas dasi dan jasnya, setelah itu Bryan berbaring terlentang di ranjang. Sonia menyusul Bryan. Dia ikut naik ranjang, bahkan duduk di atas tubuh Bryan sambil meraba dada pria itu. “Apa kamu lelah?” tanya Sonia dengan tangan terus bergerilya di dada Bryan. Bryan melirik pada Sonia yang secara sengaja membuka sedikit pakaian bagian atasnya. “Bagaimana kalau kita bersenang-senang, hm? Apa kamu tidak mau?” tanya Sonia dengan suara lemah lembut untuk menggoda Bryan. Sonia melihat Bryan meneguk ludah. Dia membungkuk lalu mulai mencium bibir Bryan. Mereka bercumbu cukup lama, sampai Bryan membalik posisi mereka dan menindih tubuh Sonia. *** Sonia memeluk Bryan setelah mereka puas saling memuaskan. Dia memainkan jemari di dada Bryan. Sonia tiba-tiba kesal melihat plaster luka yang