Absen jempol đđ
Lily menelan ludah. Kali ini bukan karena tergiur hot pot yang asapnya menggugah indera penciuman, tapi karena menyadari Arsen ternyata sudah tahu segalanya."Apa saja yang sudah Thomas katakan?" Lily memberanikan diri bertanya."Kamu sangat penasaran tentang ibuku, juga bagaimana aku dulu." Arsen bicara santai, berbeda dengan Lily yang sudah ketakutan setengah mati.Lily menggertakkan gigi, satu tangannya mengepal di atas paha. Dia berniat menghajar Thomas setelah ini."Kamu tidak mau bercerita tentang dirimu, lalu apa lagi yang bisa aku lakukan, sedangkan Bryan, dia .... " Lily menjeda lisan. "Dia bicara buruk tentangmu," imbuhnya. Pundak Lily longsor, dia tak berani menatap Arsen."Aku tidak mau terpengaruh, aku tidak mau hasutan orang membuat perasaanku berubah padamu. Tapi aku juga butuh tahu yang sebenarnya. Aku takut bertanya padamu, jadi apa yang bisa aku lakukan selain menekan Thomas untuk memberitahu." Lily bicara dengan nada suara sedikit tinggi sebagai bentuk pembelaan
Lily dan Thomas menoleh secara bersamaan. Lily lantas tersenyum, dia bersikap biasa dan mendekat ke Arsen. "Thomas sedang pusing membalas pesan dari stasiun TV," kata Lily. Dia agak takut Arsen curiga saat pria itu hanya menatap datar padanya. "Aku datang untuk memastikan kamu sudah makan siang atau belum." "Biasanya kamu tanyakan lewat pesan," balas Arsen. Dia menatap mata Lily kemudian beralih ke Thomas. Sekretarisnya itu menghindari kontak mata dengannya dengan melihat layar ponsel, lalu sibuk mengetikkan sesuatu di sana. "Ketahuan, ya." Lily sengaja memasang muka imut ke Arsen. "Aku sebenarnya ke sini mau minta tolong padamu, tolong pindahkan Hendra dari bagian gudang ke divisi pemasaran," ucap Lily. Arsen mengerutkan kening, dia memasukkan tangan kirinya ke kantong celana dan masih menatap bergantian Thomas dan Lily. "Aku belum makan siang, ikut denganku!" Arsen bicara sambil berlalu pergi. Thomas dan Lily kembali saling pandang, kebingungan. "Siapa yang dia
Lily kaget, bahkan sejak tadi dia belum sempat menyuapkan makanan ke dalam mulut. "Aku akan mencoba bicara pada sekretaris suamiku soal dugaanmu, tapi sebaiknya jangan katakan ini ke orang lain, aku takut sesuatu terjadi padamu," kata Lily. Dia melihat wajah Hendra berubah pucat. "A ... aku..." Hendra terbata-bata. "Bersikaplah biasa," ucap Lily. "Jika ada yang bertanya untuk apa aku duduk bersamamu, bilang saja kalau aku sedang menawarimu posisi staf di divisi pemasaran," imbuhnya. Lily mengambil sendoknya lalu mulai menyantap makan siangnya. "Makanlah! Dan bersikap biasa," titah Lily ke Hendra. Lily memulas senyum tipis saat Hendra mengikuti perintahnya. Dia kemudian mengajak Hendra membahas hal lain. "Aku akan menemui suamiku setelah ini untuk langsung meminta izin padanya. Staf kompeten sepertimu sayang sekali jika harus terlalu lama berada di bagian gudang. Lagi pula divisi pemasaran butuh satu staf lagi," terang Lily. Hendra tampak senang, bahkan sampai menguca
Pagi itu Arsen kaget setelah keluar dari kamar mandi. Dia melihat Lily sudah berdandan rapi memakai setelan kerja.Arsen diam saja saat Lily mendekat padanya. âBolehkan aku pergi ke kantor? Aku sudah baik-baik saja dan tidak efisien jika aku terus bekerja dari rumah?â tanya Lily membujuk Arsen.Lily memasang wajah memelas agar Arsen memberinya izin. Dia memegang lengan Arsen bahkan menggoyang-goyangkannya. âBaiklah, tapi tidak boleh pulang malam, apalagi lembur,â balas Arsen memberi izin. Lily melebarkan senyum sambil mengangguk-angguk cepat. Mereka berangkat bersama ke kantor, saat akan masuk ke halaman perusahaan, banyak wartawan yang duduk-duduk di area depan. âKenapa banyak wartawan menunggu di sini?â tanya Lily sambil menegakkan badan untuk melihat berapa banyak wartawan yang ada di sana. Arsen kesal melihat para wartawan berkerumun. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi Thomas. âMinta petugas keamanan untuk mengusir wartawan yang ada di depan gedung!â perintah Arsen keti
Siang itu Lily duduk berhadapan dengan Thomas di kafe. Kali ini Thomas tidak menujukkan ketakutannya seperti dulu saat berbicara berdua dengan Lily. Meskipun pertemuan mereka juga tidak diketahui lagi oleh Arsen. "Sudah dua hari, tapi dia juga belum bercerita bagaimana hasil investigasi, sedangkan pemberitaan di luar semakin menyudutkan suamiku." Lily mulai menyampaikan apa yang dia rasakan. "Semua berita soal ARS yang tidak mau bertanggung jawab itu palsu, Pak Arsen memang tidak menemui keluarga korban secara langsung, tapi dia sudah menyiapkan semuanya, bahkan semua anak dari korban meninggal dia berikan beasiswa hingga jenjang perguruan tinggi," terang Thomas. Lily membuang napas lelah, dia menatap segelas jus alpukat miliknya di atas meja. Awalnya Lily sangat menginginkan minuman itu, tapi sekarang dia tak berselera bahkan hanya untuk mencicip seteguk pun enggan. "Dia ..., kenapa tidak seperti pengusaha lain," sesal Lily. "Tampil di televisi untuk memberi klarifikasi, men
Malam harinya. Arsen baru saja pulang dan terlihat begitu letih. Dia keluar dari mobil sambil mengusap tengkuknya, tetapi ekspresi wajah lelahnya itu memudar berganti senyum saat melihat Lily menyambutnya di depan pintu rumah. âKenapa kamu berada di luar, ini sudah malam?â tanya Arsen. âMenyambut suami pulang pun tak boleh?â Lily balik bertanya dengan nada manja. Lily merangkul lengan Arsen, lalu mengajak suaminya itu masuk rumah bersama. Lily tidak membahas kebakaran gudang ARS karena tak mau membuat Arsen semakin terpukul. âKamu pasti lelah, mandilah dulu,â kata Lily saat mereka sampai di kamar, âtadi Bunda ke sini, aku belajar masak bersama Bunda.â Arsen tersenyum, dia mengangguk lalu segera pergi ke kamar mandi. Beberapa saat berada di kamar mandi. Arsen akhirnya selesai membersihkan diri dan saat keluar dia mendapati Lily duduk di tepian ranjang. âSudah selesai?â tanya Lily lalu berdiri menghampiri Arsen. âMakan malamnya sudah siap, ayo makan dulu,â ajak Lily
Lily menghela napas kasar saat Thomas mengirim jawaban atas pertanyaannya. [Korban meninggal bertambah menjadi empat orang. Ini masih terus dilakukan identifikasi dan penyelidikan untuk mengetahui penyebab kebakaran.] Lily hendak membalas pesan itu, tapi Thomas lebih dulu mengirim pesan lagi. [Pak Arsen baru saja selesai menemui Pak Anthony, mereka sepakat menunggu hasil investigasi.] Lily diam membaca balasan dari Thomas, lalu mengetik pesan balasan. [Apa ada kemungkinan muncul tersangka yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini?] Lily menatap cemas ke pesan yang baru saja dikirimkannya untuk Thomas. Beberapa saat kemudian, dia kembali mendapat pesan balasan. [Untuk itu aku belum tahu. Lebih baik kamu tenang dan jangan banyak berpikir.] Lily termenung. Bagaimana bisa dia tidak memikirkan masalah yang mungkin akan menyeret nama suaminya. Lily masih ada di kamarnya, memeluk bantal sambil terus memandangi layar ponsel. Lily mendengar suara ketukan pintu, lantas mem
Lily tak lantas mengiyakan usulan Dini. Dia diam sejenak setelah itu mencoba meminta bantuan pada Dini sekali lagi. Kali ini Lily memberikan sedikit solusi. [ Rekam saja seluruh isi rapatnya, kamu hanya butuh diam dan duduk di sana.] Di divisi pemasaran, Dini masih terlihat ragu. Dia menoleh Juna dan heran apa yang terjadi sampai Lily tidak mau diwakili pria itu. Dini akhirnya membalas dengan menyanggupi permintaan Lily. [ Baiklah, aku akan hadir untukmu ] Dia meletakkan ponselnya setelah Lily membalas lagi. Dini lantas membuang napas kasar, hingga membuat Juna menoleh. "Kenapa?" tanya Juna melihat muka Dini yang tertekuk. "Apa ada masalah?" "Lily memintaku mewakilinya mengikuti rapat direktur." Dini menunduk setelah bicara, dia benar-benar merasa takut jika ada yang bertanya padanya nanti. "Kalau kamu tidak mau hadir, aku bisa menggantikanmu." Juna menawarkan bantuan. Dini malah kaget dan takut mendengar tawaran itu. Dia menolen Juna yang menunggu jawaban darinya.
Bryan kaget mendengar berita terbakarnya gudang ARS Company. Dia buru-buru menemui Arya di ruang kerja dengan wajah tak percaya. Bryan masuk tanpa mengetuk pintu dan langsung bicara. "Apa papa melakukannya? Papa membuat kebakaran di pabrik paman Arsen?" Bryan merasa bulu kuduknya berdiri. Dia tak menyangka jika ayahnya bisa berbuat sejahat ini. "Pa ada tiga orang yang tewas, dan tujuh orang terluka parah, katakan kalau bukan Papa yang melakukannya," ucap Bryan lagi. Arya yang duduk di belakang meja kerjanya bersikap biasa. Dia menyerahkan map lalu menyuruh sekretarisnya keluar dan menutup pintu. "Papa tidak melakukannya," ucap Arya. "Apa?" Bryan semakin terkejut. Dia tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan Arya. "Papa tidak usah berbohong, aku mendengar omongan papa dengan mama semalam, papa pikir aku anak kecil dan bodoh. Aku selama ini tidak percaya dengan berbagai macam cerita tentang kekejaman papa, tapi kali ini papa benar-benar keterlaluan." Bryan bicara