kalian ada tebakan soal siapa juna????
Siang itu Lily pergi ke rumah Risha bersama Audrey. Di sana dia dan Risha duduk di halaman samping sambil menatap Audrey yang sedang bermain. “Tumben kamu datang tidak memberi kabar bunda dulu,” kata Risha sambil menoleh pada Lily yang duduk di sampingnya. Mendengar pertanyaan Risha, Lily mengembuskan napas kasar, baru kemudian menoleh pada Risha. Melihat Lily yang seperti punya banyak beban, ekspresi wajah Risha berubah cemas, lalu dia bertanya, “Ada apa, Lily? Apa ada masalah?” “Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan ke Bunda.” Lily menatap sendu dan bingung harus mulai dari mana. “Ada apa, hm?” Risha semakin cemas karena sikap Lily. Lily kembali mengembuskan napas kasar, lalu mulai bercerita. “Kemarin aku pergi memeriksakan kandungan dengan Arsen, tapi Arsen sepertinya tak sepaham kalau aku ingin hamil lagi. Dia bahkan sempat memberi ide untuk adopsi. Tapi semalam sikapnya berubah lagi.” Risha terkejut, lalu kembali bertanya, “Berubah bagaimana?” “Arsen malah berkata kala
Arsen yang memunggungi Lily hanya diam. Dia melangkah maju tapi Lily lebih dulu memeluknya dari belakang. "Aku tahu kamu melakukannya karena sangat mencintaiku," kata Lily. Arsen bergeming. "Aku sangat mencintaimu, jadi aku akan menuruti apapun keinginanmu, kalau kamu memang takut aku hamil lagi, aku tidak akan hamil lagi," imbuh Lily. Dia semakin mempererat pelukannya ke Arsen. "Jangan begini, aku tidak suka kita dingin seperti ini." Lily berusaha membujuk. Hening Lily mulai berpikir harus melakukan apa agar Arsen kembali bersikap biasa. "Aku ..., merasa bersalah." Lily kaget mendengar ucapan Arsen. Pelukannya perlahan melonggar. Dia menjauhkan badan dari Arsen saat pria itu memutar badan. Lily menggeleng. "Tidak ada yang salah, aku tahu kamu bicara begitu karena mencemaskan aku," kata Lily. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia terharu melihat bagaimana Arsen begitu mencintainya. "Maaf ya, aku pastikan ini kali terakhir aku pergi menemui dokter, setelahnya aku janj
Setelah selesai memeriksakan kandungan. Arsen dan Lily kini sudah berada di dalam mobil. Mereka sama-sama diam, sampai Lily menoleh pada Arsen yang sejak tadi hanya diam.“Aku masih tidak menyangka kalau Aira bisa bertahan dengan Jerry,” kata Lily sambil memperhatikan ekspresi wajah Arsen.Dia sengaja membahas hal lain.“Hmm...”Mendengar jawaban singkat dari Arsen, Lily benar-benar bingung dengan sikap suaminya. Tadi yang menyebut pertama kali soal adopsi adalah Arsen, tetapi kenapa Lily yang malah tidak enak hati dengan diamnya Arsen sekarang.“Soal adopsi, apa--” Belum juga Lily melanjutkan ucapannya, Arsen sudah lebih dulu memotong dengan cepat.“Tidak usah dibahas. Lupakan saja.”Mendengar suara Arsen sedikit membentak, Lily sangat terkejut sampai menatap Arsen dengan tatapan tak percaya.Lily ingin bicara lagi, tetapi Arsen sudah lebih dulu kembali bicara.“Malam ini aku ingin keluar.”Kening Lily berkerut dalam, lalu dia bertanya, “Keluar ke mana?”“Pergi bersama Thomas, sudah
Lily duduk di kursi penumpang sambil menggenggam tangan Arsen erat-erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, melainkan karena perasaan campur aduk yang sulit dia kendalikan. Sementara Arsen, meskipun berusaha terlihat tenang, sesekali melirik Lily dengan raut cemas. “Kalau kamu merasa tidak nyaman, lebih baik kita pulang saja,” ujar Arsen pelan saat mobil mereka berhenti di halaman rumah sakit. Lily menggeleng dengan senyum tipis. “Tidak. Aku ingin menemui dokter." Mereka pun melangkah masuk ke ruang praktek Aira. Saat sampai istri Jerry itu menyambut hangat. “Silakan duduk,” sapa Aira ramah. Dia sudah tahu untuk apa Lily datang. “Apa yang bisa aku bantu hari ini?" tanyanya. Arsen menoleh Lily yang terdiam, dia tetap menggenggam tangan istrinya seolah tidak ingin sedetikpun melepaskan. "Aku hanya ingin check up rutin," kata Lily. Mendengar itu, Aira memulas senyum tipis. Tentu saja dia tahu, maksud Lily bukan hanya sekadar itu. "Kalau begitu ayo berbarin
Hari berikutnya Teddy berdiri di depan pintu kamar Ella sambil membawa nampan berisi sarapan. Tangannya sempat ragu mengetuk, namun akhirnya dia meminta izin dan masuk perlahan setelah Ella menjawab. “Selamat pagi, Ella,” ucap Teddy. Dia menaruh nampan itu di meja kecil dekat ranjang. “Aku bawakan sarapan untukmu, agar tidak perlu turun.” Ella hanya melirik sekilas. Wajahnya tetap dingin. “Aku bisa makan di bawah,” ujarnya ketus. Teddy menarik kursi dan duduk, tak menyerah. “Aku tahu. Tapi aku ingin membawakanmu agar kamu tidak perlu repot turun ke bawah. Anggap saja permintaan maafku atas kejadian kemarin.” Ella terdiam, memalingkan wajah. “Permintaan maafmu tidak ada gunanya kalau Ibumu masih tetap bersikap seperti itu.” Teddy tersenyum tipis, nadanya serius. “Aku berjanji akan meminta Mama untuk meminta maaf secara langsung padamu.” Ella senang mendengar kata-kata Teddy, meski bibirnya masih tidak menanggapi. "Kamu kelur dari sini, aku mau mandi." Ella bangkit
Suasana kamar Audrey begitu tenang. Gadis kecil itu sudah terlelap di pelukan Arsen setelah selesai mendengarkan dongeng singkat dari ayahnya. Arsen perlahan merebahkan Audrey di ranjang mungilnya, lalu menutup tubuh putrinya dengan selimut. Lily ikut menunduk, menepuk-nepuk lembut lengan putrinya, memastikan tidurnya nyenyak. “Dia cepat sekali terlelap,” bisik Lily. Arsen tersenyum, menaruh telunjuk di depan bibir. “Pasti karena kenyang makan malam tadi.” Mereka saling pandang sebentar, kemudian berjalan pelan meninggalkan kamar. Baru saja langkah mereka sampai ke koridor, salah seorang pelayan datang dengan wajah agak ragu. “Maaf, Tuan, Nona...” ucapnya pelan. Lily berhenti, menoleh. “Kenapa?” “Bibi Jess baru saja pulang, Nona. Dan Oddy sudah tertidur di gendongannya.” Lily langsung menegakkan tubuh, sorot matanya berubah khawatir. “Benarkah? Di mana mereka sekarang?” “Di kamar Bibi Jess, Nona. Sepertinya Bibi Jess agak lelah.” Tanpa menunggu lama, Lily menoleh p