Dijual keluarganya demi utang, Araya dipaksa menjadi pembantu di rumah Adrien Valmer—pria kaya raya yang kejam dan gemar menguasai segalanya. Adrien menatapnya seperti mainan baru. Kata-katanya menusuk, sentuhannya membakar, hingga Araya tak lagi tahu apakah ia harus membenci… atau merindukan pria yang menjadikannya milik. “Kau tak pernah punya pilihan, Sayang,” bisik Adrien di telinganya. “Tapi kau bisa memilih… bagaimana cara membuatku puas.” Dalam jerat antara kebencian dan gairah, Araya harus menemukan kekuatannya—atau tenggelam dalam permainan cinta yang berbahaya.
View MoreUdara malam itu menusuk tulang. Araya menggenggam erat ujung kain tipis yang menutupi tubuhnya, berusaha menahan getaran yang bukan hanya berasal dari dingin, tapi juga dari ketakutan.
Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir di sini—duduk di kursi belakang sebuah mobil mewah, diapit dua pria asing berjas hitam. Ayahnya hanya sempat berkata singkat sebelum menyerahkannya, “Maafkan kami, Nak. Hanya ini cara untuk menyelamatkan keluarga.”
Seluruh dunia Araya runtuh dalam sekejap.
---
Mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi yang tampak seperti mulut monster siap menelan siapa pun yang berani masuk. Di baliknya, sebuah mansion berdiri megah dengan cahaya lampu yang berkilau, namun dingin. Tidak ada kehangatan dalam cahaya itu. Hanya kemewahan yang mengintimidasi.
“Turun,” perintah salah satu pria berjas. Suaranya berat, tak memberi ruang untuk penolakan.
Araya menelan ludah. Kakinya gemetar ketika menapaki kerikil putih di halaman yang begitu luas. Aroma bunga mahal bercampur dengan kesunyian malam membuat jantungnya berdegup semakin keras.
Pintu utama terbuka.
Dan di sana, berdiri seorang pria dengan aura yang membuat napas Araya tercekat.
Adrien Valmer.
Tinggi, berwajah tegas dengan sorot mata abu-abu dingin yang tajam bak belati. Jas hitamnya terpotong sempurna, memeluk tubuhnya yang penuh kuasa. Sekilas, ia tampak seperti pangeran gelap dari mimpi buruk.
Araya ingin menunduk, tapi tatapan pria itu menarik wajahnya tanpa ampun.
“Jadi ini… barangnya?” Adrien bertanya pada pria berjas yang membawanya. Suaranya rendah, berat, seakan memenuhi seluruh ruang.
Araya tersentak. Barang? Hatinya menjerit, tapi bibirnya terkunci.
“Ya, Tuan. Keluarganya sudah menandatangani perjanjian. Mulai malam ini, dia milik Anda.”
Adrien berjalan mendekat. Setiap langkahnya terdengar begitu pasti, menindas. Ia berhenti tepat di depan Araya, jaraknya hanya sejengkal. Jantung gadis itu berdebar tak karuan, campuran takut dan rasa aneh yang ia sendiri tak mengerti.
“Angkat wajahmu,” perintahnya pelan, tapi tegas.
Araya menurut, meski tubuhnya bergetar. Tatapan pria itu menyapu wajahnya, turun perlahan hingga berhenti di bibirnya. Ia menahan napas, merasa seakan seluruh tubuhnya dipreteli hanya dengan sepasang mata dingin itu.
“Rapuh… tapi cantik,” gumam Adrien, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Lalu ia menoleh pada pengawalnya. “Keluarganya tidak akan bisa menyentuhnya lagi?”
“Benar, Tuan. Semua selesai.”
Adrien tersenyum tipis. Senyum itu lebih menakutkan daripada ancaman. “Bagus. Aku tidak suka berbagi mainan.”
Araya ingin berteriak, ingin melawan. Tapi suaranya tertelan bulat oleh dominasi pria itu.
---
Kamar yang diberikan padanya besar, terlalu mewah untuk disebut kamar pembantu. Namun justru itu yang membuatnya curiga. Tirai sutra, ranjang raksasa, lampu kristal… semua terasa seperti sangkar emas.
Ia berdiri di tengah, bingung harus bagaimana.
Pintu terbuka tanpa ketukan. Adrien masuk dengan segelas wine di tangannya, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.
“Bersihkan dirimu. Mulai besok kau bekerja di rumah ini. Tapi ingat…” ia berjalan mendekat, menghentikan langkahnya begitu dekat hingga Araya bisa mencium aroma maskulin bercampur alkohol. “Kau bukan pembantu biasa. Kau… milikku.”
Araya mengepalkan tangan. “Saya bukan barang—”
Kalimat itu terhenti ketika Adrien menempelkan jarinya di bibirnya, membuat napasnya terhenti.
“Diam,” katanya lembut, tapi penuh kuasa. “Di rumah ini, hanya ada satu kebenaran: kehendakku.”
Araya menatapnya dengan marah, tapi tatapan itu justru membuat senyum Adrien semakin tipis. Ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Araya saat berbisik, “Kau bisa membenciku sepuasmu, Sayang. Tapi setiap detik kau ada di sini, tubuhmu akan belajar sesuatu yang berbeda.”
Panas menjalari wajah Araya. Ia ingin menepis, tapi tubuhnya mematung. Adrien tertawa kecil, suara rendahnya membuat bulu kuduknya berdiri.
“Besok pagi, mulai pekerjaanmu. Malam ini…” Ia menaruh gelas wine di meja, lalu melangkah pergi. “…pikirkan baik-baik tentang tempatmu.”
Pintu menutup.
Araya jatuh terduduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam kain gaunnya erat-erat. Air mata menggenang, tapi ia menolak menjatuhkannya.
Aku bukan milik siapa pun. Hanya itu yang terus ia ulang dalam hati. Meski suara Adrien masih bergaung, merusak keyakinannya.
---
Namun malam itu, untuk pertama kalinya Araya mengerti—hidupnya tak lagi sama.
Dan Adrien Valmer bukan hanya tuannya. Ia adalah neraka yang bisa menelannya hidup-hidup… atau api yang diam-diam menghangatkan sesuatu yang ia benci untuk mengakui.
Araya terbangun dengan kepala berat. Lampu-lampu kristal di langit-langit kamarnya masih menyala redup, menebarkan kilau lembut di dinding marmer yang dingin. Ia menatap kosong ke arah jendela, di mana tirai tipis bergoyang diterpa angin malam. Udara terasa menyesakkan, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dada dan tak membiarkannya bernapas lega.Semalam, tubuhnya masih bergetar, pikirannya kacau. Sentuhan Adrien masih membekas, setiap bisikan pria itu terus bergema di telinganya. Ia benci. Ia ingin berteriak, ingin menghapus semua yang terjadi. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat—terlalu hangat hingga membakar malu dan logikanya.Araya menggenggam erat sprei, menahan getar di tangannya. Aku harus menjauh darinya. Aku harus… Namun setiap kali ia mencoba menguatkan hati, wajah Adrien kembali muncul dalam pikirannya. Senyumnya yang licin, tatapannya yang menundukkan, cara tangannya menahan dagunya seakan ia hanyalah milik yang bisa dipermainkan.Ketukan pelan
Araya tidak bisa tidur malam itu. Bayangan jamuan makan malam terus menghantam pikirannya seperti ombak yang tak kunjung reda. Tatapan Adrien yang tajam, genggaman tangannya di pinggang Araya, serta bisikan lembut yang lebih menyerupai ancaman—semuanya berputar seperti racun yang merembes ke dalam nadinya.Ia menggeliat di ranjang kecil yang diberikan untuknya, tapi udara seakan terlalu sesak. Tirai tipis jendela bergoyang perlahan, ditiup angin malam, seolah menertawakan kegelisahannya."Mengapa aku membiarkan dia menyentuhku seperti itu?" batinnya penuh amarah pada diri sendiri.Tapi, sejujurnya, yang lebih menakutkan adalah—mengapa hatinya bergetar ketika Adrien membisikkan kata-kata itu.Araya menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menyingkirkan rasa bersalah dan getir yang menyergap. Tubuhnya menolak, namun jiwanya berperang. Adrien baginya adalah musuh, sekaligus jurang yang perlahan-lahan menariknya jatuh.Ketukan pelan di pintu kamarnya membuatnya tersentak.“Masuklah,” uc
Hujan malam sebelumnya meninggalkan aroma tanah basah yang menyelinap masuk ke jendela kamar Araya. Pagi itu, ia menatap gaun hitam berpotongan elegan yang tergantung di depan cermin. Sutra halus itu tampak seperti jerat yang berkilau. Adrien memerintahkannya untuk mengenakan gaun tersebut malam ini, saat jamuan makan yang katanya hanya untuk kalangan tertentu.Araya menyentuh kain dingin itu dengan jemari gemetar.“Hadiah,” katanya semalam. “Karena aku satu-satunya yang berhak membuka balutanmu.”Kata-kata itu terus berdengung di telinga, mengikis perlawanannya.---Malam pun tiba.Gaun hitam itu membalut tubuh Araya dengan sempurna. Bahunya terbuka, belahan halus menghiasi sisi paha. Rambutnya digelung rapi, beberapa helai tergerai menggoda. Tatkala ia menatap bayangannya di cermin, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia tampak seperti wanita lain—bukan seorang budak, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Adrien masuk tanpa menunggu jawaban, seperti bi
Suasana rumah itu malam ini lebih sunyi dari biasanya. Koridor panjang dengan lampu temaram membuat Araya merasa seperti berjalan di dalam labirin yang siap menelannya hidup-hidup. Clarisse sudah lama pamit ke kamarnya, para pelayan lain juga lenyap entah ke mana.Araya membawa baki berisi minuman—perintah langsung dari Adrien. Ia bahkan tak berani menolak, meski tubuhnya masih gemetar karena kelelahan setelah seharian bekerja.Pintu ruang kerja terbuka setengah. Aroma alkohol bercampur wangi kayu mahal langsung menyergapnya. Adrien duduk di balik meja besar, kemejanya terbuka dua kancing, dasi longgar menggantung di lehernya. Lampu meja menyinari wajahnya yang teduh sekaligus mengancam.“Masuk,” suaranya rendah, nyaris seperti perintah militer.Araya menunduk, melangkah masuk, lalu meletakkan baki di atas meja. “Minuman Anda, Tuan.”Adrien mengangkat alis. “Tuan?”Araya membeku.“Ulangi,” katanya lagi, tatapannya tajam.“…Adrien,” jawab Araya akhirnya, pelan, hampir tak terdengar.Se
Matahari pagi menembus tirai sutra, memaksa Araya membuka mata dengan kepala berat. Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan wajah Adrien, tatapan dinginnya, serta bisikan yang menelusup begitu dekat di telinganya, masih terasa nyata.Araya duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Ia harus ingat—ini bukan rumah, ini penjara. Ia bukan tamu, ia tawanan. Dan pria itu… pria itu adalah algojonya.Ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Seorang wanita paruh baya masuk, mengenakan seragam pembantu rapi dengan senyum kaku.“Kau Araya, bukan?” tanyanya sambil menunduk sedikit.Araya hanya mengangguk.“Aku Clarisse. Kepala pelayan di sini. Mulai hari ini kau akan bekerja di bawah pengawasanku. Ada aturan yang harus kau ingat: jangan pernah menolak perintah Tuan Adrien. Dan jangan sekali pun melawan tatapannya. Itu… berbahaya.”Nada suaranya serius, membuat bulu kuduk Araya berdiri.“Aku hanya ingin… bekerja,” bisik Araya lirih.Clarisse tersenyum tipis. “Kalau itu saja yang kau inginkan, berta
Udara malam itu menusuk tulang. Araya menggenggam erat ujung kain tipis yang menutupi tubuhnya, berusaha menahan getaran yang bukan hanya berasal dari dingin, tapi juga dari ketakutan.Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir di sini—duduk di kursi belakang sebuah mobil mewah, diapit dua pria asing berjas hitam. Ayahnya hanya sempat berkata singkat sebelum menyerahkannya, “Maafkan kami, Nak. Hanya ini cara untuk menyelamatkan keluarga.”Seluruh dunia Araya runtuh dalam sekejap.---Mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi yang tampak seperti mulut monster siap menelan siapa pun yang berani masuk. Di baliknya, sebuah mansion berdiri megah dengan cahaya lampu yang berkilau, namun dingin. Tidak ada kehangatan dalam cahaya itu. Hanya kemewahan yang mengintimidasi.“Turun,” perintah salah satu pria berjas. Suaranya berat, tak memberi ruang untuk penolakan.Araya menelan ludah. Kakinya gemetar ketika menapaki kerikil putih di halaman yang begitu luas. Aroma bunga mahal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments