Arsen duduk di kursi kerjanya setelah Anthony pergi. Dia diam memikirkan perbincangan mereka tadi. Hingga, saat Thomas masuk. Arsen mulai menceritakan apa yang dia pikirkan. "Aku curiga dengan bukti yang diberikan Anthony." "Curiga? Maksud Anda?" Thomas mengerutkan alis bingung. "Sosok pria dalam video dan suara rekaman itu bukan Arya. Sama seperti dia yang menjebak papa Lily menggunakan teknologi AI, sepertinya pelaku sebenarnya juga melakukan hal yang sama." Thomas terkejut, dia seketika berspekulasi. "Apa Pak Anthony yang melakukannya?" Arsen menggeleng, menunjukkan sikap yang sangat tenang. "Bukan. Kamu tahu jelas Anthony juga rugi banyak. Bukankah kamu sendiri yang menghitung harga per liter bahan baku pembuat produk skincare premium itu?" balas Arsen. Thomas mengangguk. "Benar, mustahil pak Anthony melakukan itu, dia tidak punya masalah dengan Anda, kecuali ibunya yang menyukai Nona Lily." Thomas mengatupkan rapat bibirnya setelah bicara. Arsen hanya diam
Bryan tertawa hambar seraya membuang muka. Dia geram, ingin meluapkan segala amarah yang bercokol di dada. “Apa bukan sebaliknya? Papa yang membuatku bodoh karena bisa terpengaruh ucapan Papa!” amuk Bryan sudah tak bisa lagi memercayai ayahnya itu. “Jaga ucapanmu!” hardik Arya. Bukannya takut dengan bentakan Arya, Bryan malah membusungkan dada dan mengangkat dagu, menantang. “Aku bicara fakta! Papa selama ini memang selalu menghalalkan segala cara agar mendapatkan apa yang Papa mau, termasuk merebut apa yang seharusnya aku miliki, anak Papa sendiri. Papa memang egois!” Arya menggertakkan gigi mendengar ucapan Bryan. Sementara itu, Monica tak bisa melakukan apa-apa, dia takut dan hanya diam memandang dari kasurnya. "Papa bukan contoh ayah yang baik," ucap Bryan. "Papa rakus melebihi babi." Sebuah tamparan langsung mendarat di pipi Bryan saat dia baru saja selesai mengatai papanya. Bryan diam dengan memalingkan wajah. Bukankah dia tak seharusnya terkejut jika ayahnya
Arsen menggeleng. "Tidak, biar saja Bryan berusaha mengurus masalah sendiri." Lily mengangguk paham. Dia kembali menyentuh perut sixpack Arsen sebelum bertanya lagi. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, kapan kamu mau jujur ke Bunda dan Papa?" Arsen diam sejenak, mencoba menyelam dalam ke pikiran Lily. Dia melihat ketakutan di sana. "Kamu cemas?" "Hah ... apa?" Lily kaget, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak, untuk apa cemas? Hanya saja .... " Lily tidak bisa berbohong, dia menunduk sampai Arsen menyentuh pipinya. "Kamu takut papamu kembali berpikir buruk tentangku?" tanya Arsen. Lily tak menjawab, karena dia yakin Arsen sudah tahu jelas jawabannya. "Cepatlah mandi, aku juga mau mandi," kata Lily. Dia memalingkan badan, tapi Arsen lebih dulu menangkap pergelangan tangan lalu memeluknya. "Kenapa tidak mandi berdua?" Arsen menggoda. Dia membuat Lily malu sampai mencubit pinggangnya *** Di Arya Group Arya tidak bisa fokus, pikirannya sedang kacau. Saat Br
Bryan pulang ke rumah orang tuanya setelah menemui Arsen. Dia menaiki anak tangga menuju kamarnya tanpa gairah sambil terus memikirkan omongan sang paman. Bryan baru saja menapaki anak tangga terakhir saat suara Monica terdengar menyapa. “Sudah pulang,” kata Monica. Bryan menoleh pada sang mama, lalu berpikir untuk menanyakan apa yang Arsen katakan padanya. “Ada yang mau aku bicarakan dengan Mama,” kata Bryan. Monica mengangguk pelan lalu pergi ke kamar Bryan untuk bicara berdua. “Apa Mama tahu soal saham yang seharusnya menjadi milikku, tapi malah dijual oleh Papa? Saham itu diberikan Kakek untukku?” tanya Bryan. Monica terkejut, matanya membola sambil menggeleng pelan. “Mama tidak tahu soal itu,” balas Monica. Bryan tak terkejut sama sekali. “Sudah kuduga Mama pasti tidak tahu.” “Sepertinya Mama memang tidak tahu apa pun soal Papa selama ini.” Kening Monica berkerut halus.“Apa maksudmu berkata seperti itu?” tanyanya bingung. “Apa Mama tahu, apa saja yang sudah
Arsen malah tertawa mendengar dugaan Lily. "Itu tidak mungkin. Bryan memanglah anak kandung Arya, tapi kita juga tidak tahu apakah Arya punya anak lain di luar sana," balas Arsen. Lily sesaat diam, sebelum matanya menyipit lalu menoleh pada Arsen. "Kamu, tidak berniat punya selingkuhan atau banyak istri 'kan?" Lily bertanya tiba-tiba. Dia memandang lekat wajah Arsen dari samping, dan melihat suaminya itu menolehnya sekilas. Lily menunggu jawaban Arsen, tapi malah usapan lembut di kepalanya yang didapat dari pria itu. "Lihat aku, menurutmu apa ada wanita yang berani mendekat padaku?" Lily hanya menekuk bibir, tak menjawab pertanyaan Arsen dan malah mendekat ke arah Arsen, lalu menghidu aroma tubuh pria itu. "Kenapa tidak berani? Aromamu uang," ucap Lily sedikit kesal. Arsen hampir saja tertawa mendengar omongan Lily, jika saja tidak memikirkan kalau istri kecilnya itu akan marah jika sampai dia tertawa. Arsen kembali mengusap-usap kepala Lily seraya berkata," Untuk s
Bryan duduk mengikuti perintah Arsen. Dia mengerutkan kening saat Arsen mendorong dengan jari sebuah ponsel yang tergeletak di atas meja. “Cek saja sendiri,” ucap Arsen meminta agar Bryan mengecek ponsel Doni. “Semua pesan dan panggilan di ponsel itu sebenarnya sudah dihapus, tapi berkat bantuan ahli IT, aku bisa mengembalikan semua itu,” ujar Arsen menjelaskan. Bryan terkejut, dan mulai mengecek satu persatu pesan antara Doni dan asisten papanya. Bryan bahkan sampai membulatkan mata lebar, giginya bergemerutuk menahan emosi membaca percakapan di aplikasi berbalas pesan ponsel itu. Di sana tertulis jelas, jika rencana yang Arya buat ketahuan, maka Doni ditugaskan untuk mengambinghitamkan Bryan. Bryan benar-benar dibuat tak percaya dengan kelakuan ayahnya sendiri. Bagaimana bisa Arya begitu jahat melakukan semua perbuatan itu, lalu mengorbankan dirinya. “Aku hanya memiliki masalah dengan papamu, bukan denganmu. Karena itu aku memberitahumu agar kamu tahu, betapa jahatnya p