Arsen mengajak Lily pulang karena istrinya itu terus menangis. Arsen tahu tangisan yang paling sakit adalah menangis tanpa suara. Dia hanya berpamitan dengan orang yang satu meja, lalu menggandeng Lily keluar. Arsen berjalan tegap penuh wibawa, tanpa menunduk dan menoleh sedikitpun. Berbeda dari Lily yang menunduk menyembunyikan tangis. Arsen menelepon sopirnya dan meminta untuk segera menjemput di lobi. Tak lama mobil Arsen datang dan mereka pun pergi. Lily meledakkan tangisannya sesaat setelah mobil keluar dari area hotel. Dia tak peduli meski sadar sopir menatapnya dari kaca spion tengah. Arsen mencoba menenangkan dengan memeluk Lily, hingga wanita itu menangis dalam dekapannya. "Sudah, aku tidak apa-apa," bisik Arsen yang tahu Lily seperti ini karena kasihan padanya. "Kalau kamu menangis terus malah membuatku sedih." Lily masih menangis, tapi tak lama tangisannya berangsur mereda. Dia menjauhkan badannya dari Arsen lalu mengusap pipinya yang basah. "Aku benar-
Lily marah di belakang panggung dan meneriaki semua orang yang ada di sana. "Kalian pikir sedang bermain-main dengan siapa?" teriaknya frustrasi. Lily lantas pergi, berjalan cepat sambil mengangkat gaunnya. Dia menghampiri Arsen yang hendak duduk lalu berkata," Ayo pergi dari sini." Air mata Lily sudah menggenang di pelupuk mata. "Tidak! Untuk apa pergi? Aku akan mengikuti acara ini sampai selesai." Arsen meraih tangan Lily mengajak istrinya itu duduk. Melihat tatapan Arsen, Air mata Lily pun jatuh membasahi pipi. Lily akhirnya mau duduk meski hatinya sangat hancur. Papanya, kenapa bisa bicara hal jahat seperti itu tentang Arsen. Lily menatap pada Arsen, pria itu memandang ke arah depan, wajahnya sangat tenang, lalu mengambil gelas air minumnya dan menenggak dengan elegan seolah tidak terjadi apa-apa. Arsen menoleh pada Lily, meraih tangan wanita itu yang terkepal erat di atas paha, lalu tersenyum tipis. "Untuk apa menangis?" Nada bicara Arsen begitu lembut. Lil
Arsen tak langsung menjawab pertanyaan Lily, dia malah menatap pria panitia itu lantas bertanya," Apa tidak ada orang lain?" "Kami belum mencoba menanyakan ke yang lain, karena kami pikir Nona Lily yang paling muda dan cocok untuk membacakan nominasi," jawab pria itu. Arsen menoleh Lily yang menunggu jawaban darinya. "Terserah, lakukan saja kalau kamu mau," kata Arsen. Lily menggeleng, dia tidak mau jika Arsen tidak mengizinkan dengan ikhlas. "Lakukan saja, nanti aku akan ambil fotomu." Pria panitia itu lega mendengar persetujuan dari Arsen. Dia berkata pada Lily akan menjemput ke meja Lily saat sudah hampir tiba waktunya membawakan nominasi. Lily tersenyum, dia dan Arsen lantas menuju ke meja mereka menunggu acara itu dimulai. Sementara itu di sisi lain ruangan, Arya dan Monica sejak tadi menatap dari kejauhan apa yang Lily juga Arsen lakukan. Arya memulas seringai, fokusnya ke Arsen dan Lily terpecah saat Monica menanyakan keberadaan Bryan. "Apa dia tidak datang?
Lily tersenyum mematut dirinya di depan cermin. Dari pantulannya dia melihat Arsen yang sedang memakai sepatu. Suaminya itu tampak sangat menawan. Lily merasa sangat beruntung, dia terpukau sampai tak sadar Arsen sudah selesai dan balas memandangnya. "Ada yang salah?" Suara Arsen menarik kesadaran Lily. Lily salah tingkah sampai tak bisa langsung menjawab pertanyaan Arsen. Dia memilih menggeleng kemudian berjalan mendekat ke meja pajangan mengambil ponselnya yang sedang diisi daya. "Kita berangkat sekarang?" Tanya Lily. Arsen mengangguk seraya menghampiri Lily. Dia berdiri di dekat wanita itu dan menatap wajah sang istri yang berpoles riasan flawless. Arsen tiba-tiba membuang napas, dia meraih tangan Lily untuk menggenggamnya. "Aku harap tidak ada pria yang menatapmu lebih dari tiga detik, jika sampai terjadi, entahlah. Mungkin aku bisa memukulnya." Lily tertawa kecil, ucapan Arsen membuatnya merasa sangat dicintai dan dilindungi. Perasaan seperti ini tidak pernah Li
Hari itu Lily tidak pergi ke kantor. Dia memanggil terapis kecantikan ke rumah untuk melakukan perawatan. Meski begitu pagi-pagi sekali Lily sudah mandi, dia menyiapkan setelan Arsen dan kini membantu suaminya itu mengenakan dasi. Arsen tetap pergi ke kantor meski malam nanti menghadiri acara. Lily mengusap dada Arsen setelah selesai membuat simpul dasi, pria itu tersenyum lalu mengecup lembut bibirnya. "Jangan pulang terlalu sore, kamu juga butuh istirahat untuk acara nanti malam," kata Lily. "Hm ... aku usahakan jam dua siang sudah sampai rumah, hari ini nikmati perawatanmu." Arsen mencium kening Lily lalu memeluk dan mengusap punggung wanita itu. Lily mengantar Arsen sampai ke depan. Dia mengingatkan lagi suaminya itu untuk segera meminta bagian HRD memindahkan Hendra ke divisi pemasaran. "Tidak gratis, kamu harus membayarku," kata Arsen sambil membetulkan ujung lengan jasnya. Lily tersenyum, dia tahu Arsen sedang menggoda. "Tenang saja," kata Lily. Dia menoleh
Lily menelan ludah. Kali ini bukan karena tergiur hot pot yang asapnya menggugah indera penciuman, tapi karena menyadari Arsen ternyata sudah tahu segalanya."Apa saja yang sudah Thomas katakan?" Lily memberanikan diri bertanya."Kamu sangat penasaran tentang ibuku, juga bagaimana aku dulu." Arsen bicara santai, berbeda dengan Lily yang sudah ketakutan setengah mati.Lily menggertakkan gigi, satu tangannya mengepal di atas paha. Dia berniat menghajar Thomas setelah ini."Kamu tidak mau bercerita tentang dirimu, lalu apa lagi yang bisa aku lakukan, sedangkan Bryan, dia .... " Lily menjeda lisan. "Dia bicara buruk tentangmu," imbuhnya. Pundak Lily longsor, dia tak berani menatap Arsen."Aku tidak mau terpengaruh, aku tidak mau hasutan orang membuat perasaanku berubah padamu. Tapi aku juga butuh tahu yang sebenarnya. Aku takut bertanya padamu, jadi apa yang bisa aku lakukan selain menekan Thomas untuk memberitahu." Lily bicara dengan nada suara sedikit tinggi sebagai bentuk pembelaan
Lily dan Thomas menoleh secara bersamaan. Lily lantas tersenyum, dia bersikap biasa dan mendekat ke Arsen. "Thomas sedang pusing membalas pesan dari stasiun TV," kata Lily. Dia agak takut Arsen curiga saat pria itu hanya menatap datar padanya. "Aku datang untuk memastikan kamu sudah makan siang atau belum." "Biasanya kamu tanyakan lewat pesan," balas Arsen. Dia menatap mata Lily kemudian beralih ke Thomas. Sekretarisnya itu menghindari kontak mata dengannya dengan melihat layar ponsel, lalu sibuk mengetikkan sesuatu di sana. "Ketahuan, ya." Lily sengaja memasang muka imut ke Arsen. "Aku sebenarnya ke sini mau minta tolong padamu, tolong pindahkan Hendra dari bagian gudang ke divisi pemasaran," ucap Lily. Arsen mengerutkan kening, dia memasukkan tangan kirinya ke kantong celana dan masih menatap bergantian Thomas dan Lily. "Aku belum makan siang, ikut denganku!" Arsen bicara sambil berlalu pergi. Thomas dan Lily kembali saling pandang, kebingungan. "Siapa yang dia
Lily kaget, bahkan sejak tadi dia belum sempat menyuapkan makanan ke dalam mulut. "Aku akan mencoba bicara pada sekretaris suamiku soal dugaanmu, tapi sebaiknya jangan katakan ini ke orang lain, aku takut sesuatu terjadi padamu," kata Lily. Dia melihat wajah Hendra berubah pucat. "A ... aku..." Hendra terbata-bata. "Bersikaplah biasa," ucap Lily. "Jika ada yang bertanya untuk apa aku duduk bersamamu, bilang saja kalau aku sedang menawarimu posisi staf di divisi pemasaran," imbuhnya. Lily mengambil sendoknya lalu mulai menyantap makan siangnya. "Makanlah! Dan bersikap biasa," titah Lily ke Hendra. Lily memulas senyum tipis saat Hendra mengikuti perintahnya. Dia kemudian mengajak Hendra membahas hal lain. "Aku akan menemui suamiku setelah ini untuk langsung meminta izin padanya. Staf kompeten sepertimu sayang sekali jika harus terlalu lama berada di bagian gudang. Lagi pula divisi pemasaran butuh satu staf lagi," terang Lily. Hendra tampak senang, bahkan sampai menguca
Pagi itu Arsen kaget setelah keluar dari kamar mandi. Dia melihat Lily sudah berdandan rapi memakai setelan kerja.Arsen diam saja saat Lily mendekat padanya. “Bolehkan aku pergi ke kantor? Aku sudah baik-baik saja dan tidak efisien jika aku terus bekerja dari rumah?” tanya Lily membujuk Arsen.Lily memasang wajah memelas agar Arsen memberinya izin. Dia memegang lengan Arsen bahkan menggoyang-goyangkannya. “Baiklah, tapi tidak boleh pulang malam, apalagi lembur,” balas Arsen memberi izin. Lily melebarkan senyum sambil mengangguk-angguk cepat. Mereka berangkat bersama ke kantor, saat akan masuk ke halaman perusahaan, banyak wartawan yang duduk-duduk di area depan. “Kenapa banyak wartawan menunggu di sini?” tanya Lily sambil menegakkan badan untuk melihat berapa banyak wartawan yang ada di sana. Arsen kesal melihat para wartawan berkerumun. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi Thomas. “Minta petugas keamanan untuk mengusir wartawan yang ada di depan gedung!” perintah Arsen keti