Lily mengecek panggilan itu, tapi Arsen lebih dulu menjawab dengan cepat. “David." Lily menatap Arsen yang tak senang, sampai dia mendengar suaminya itu kembali bicara. “Lebih baik kamu blokir saja nomornya. Lagi pula, mau apa lagi dia menghubungimu di luar jam kerja?” Lily melihat Arsen yang benar-benar kesal. “Aku tidak enak kalau memblokirnya,” balas Lily lalu mendudukkan tubuhnya di samping Arsen, kemudian kembali bicara. “Bagaimanapun kami ini rekan bisnis. Jika tiba-tiba aku memutus kontak darinya, itu sama dengan aku menolak kerjasama dengannya.” Arsen menoleh pada Lily, ekspresi wajahnya begitu datar saat dia berkata, “Tapi aku tidak senang dia terus menghubungimu.” Lily melebarkan senyumnya, lalu membalas, “Ya, aku hanya membalas panggilannya kalau dia mau membahas soal pekerjaan saja, kok.” Arsen melirik Lily lagi, dengkusan kasar meluncur dari bibirnya. “Tidak usah marah, aku juga janji tidak akan menjawab panggilan darinya di luar jam kerja, oke,” kata L
Malam hari Lily memasang wajah tanpa dosa saat sampai di mansion. Dia yang pulang bersamaan dengan Arsen, mencegah suaminya itu lebih dulu masuk ke dalam rumah. Bukannya meminta bantuan untuk menggendong Audrey yang tertidur di kursi depan. Melainkan untuk memerlihatkan hadiah dari David yang ada di kursi belakang. "Apa tujuannya memberi semua ini ke Audrey?" Arsen menatap tidak suka hadiah-hadiah itu. "Ada kartu ucapannya, dia bilang sebagai permintaan maaf," balas Lily. Dia mamandang Arsen yang diam, kemudian mengalihkan tatapan pada hadiah-hadiah di dalam mobil lagi. Lily mengerutkan kening saat Arsen tanpa bicara membuka kursi penumpang depan. Arsen mengambil boneka beruang kecil yang masih berada di pelukan Audrey dan menyerahkannya ke Lily. Setelah itu dia menggendong Audrey lalu menutup pintu mobil. Seraya berlalu pergi, Arsen berkata pada Lily— "Minta pelayan mengatur pengembalian semua hadiah itu ke David malam ini juga." Lily mengatupkan bibir. Dia m
Ditemani pengacaranya ke kantor polisi. Lily melengkapi berita acara perkara atas kasus pemalsuan produk Mahesa. Setelah beberapa waktu menjawab pertanyaan polisi, akhirnya Lily selesai dengan BAP-nya. “Apa saya bisa bertemu dengan Ella?” tanya Lily pada petugas. “Tentu,” balas petugas, “Anda bisa menunggu di ruang kunjungan,” imbuh petugas dengan gestur tangan mempersilakan. Lily mengangguk. Dia bangun dari kursi, lalu melangkah mengikuti petugas yang mengantarnya ke ruang kunjungan. Duduk di sana menunggu, beberapa saat kemudian petugas masuk mengantar Ella untuk bertemu dengan Lily. Lily menatap Ella yang tampak masih begitu dingin padanya, bahkan tak terlihat sama sekali penyesalan dalam raut wajah Ella. Begitu Ella duduk berhadapan dengan Lily, Lily langsung bicara, “Kamu tahu? Kamu bukanlah orang pertama yang aku temui dalam kondisi seperti ini di penjara karena berkasus denganku.” Mendengar apa yang dikatakan Lily, Ella memasang wajah semakin kesal. “Dan kam
Arsen menoleh, dia menatap David dengan tatapan remeh. “Cemburu?” ulang Arsen, nada suaranya begitu dingin. “Aku tidak cemburu. Aku hanya memastikan kamu tahu diri." Tanpa memberi kesempatan David untuk membalas, Arsen berbalik sepenuhnya dan melangkah tegas memasuki gedung sekolah, menuju ruang tamu. David terdiam, wajahnya yang tadi penuh ironi kini mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuh. Arsen menunggu selama lima menit. Tak lama, seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi masuk, diikuti oleh guru Audrey. “Selamat pagi, Pak Arsen. Saya Bu Siska, Kepala Sekolah,” sapanya ramah seraya menyodorkan tangan. Arsen menyambut jabatan tangan itu singkat. “Terima kasih sudah mau menemui saya, Bu Siska.” Tepat saat Bu Siska hendak mempersilakan Arsen memulai pembicaraan, David datang tanpa permisi, wajah pria itu menunjukkan perpaduan antara kekhawatiran dan rasa kesal. “Maafkan saya, Bu Siska. Saya David, Ayah dari Axel,” kata David cepat, mengabaikan tatapan dingin A
Lily merasa kepalanya pusing karena tidak ada satu orangpun yang berpihak padanya. Dia menilai masalah Audrey jatuh sampai keningnya terluka tidak perlu dibesar-besarkan apalagi sampai datang ke sekolah. Lily menduga semua orang terdekatnya bersikap seperti ini, karena takut jika sampai Audrey menjadi korban bullying dan mengalami trauma seperti dirinya. Sepanjang malam Lily dan Arsen melakukan perdebatan yang cukup panjang soal terlukanya Audrey. Hingga, pagi itu Arsen benar-benar mengantar Audrey ke sekolah sendiri, tapi Lily tidak ikut. Bukannya tidak setuju dengan keputusan Arsen, melainkan Pak Wiyo baru saja menghubunginya. Lily harus pergi ke kantor polisi guna melengkapi Berita Acara Pemeriksaan kasus pemalsuan produk yang menimpa perusahaannya. Dia dan Arsen pun pagi itu berangkat terpisah. Lily hanya bisa berdoa semoga Arsen tidak lepas kendali. Dia khawatir Arsen kehilangan logika lalu memarahi orang secara membabi buta. “Bagaimana kalau dia minta dipertemukan
Di mobil David Beberapa saat yang lalu, David baru saja menjemput putranya dari sekolah. Dia hanya diam karena tahu Axel—putranya sedang marah. Hingga saat hampir sampai ke hotel tempatnya tinggal, David mulai bicara. “Kamu tahu salah ‘kan?” David bertanya tanpa menoleh Axel. “Seharusnya kamu hati-hati saat bermain, bagaimana kalau orangtua anak itu mendatangi Daddy?” Axel yang cemberut dan sejak tadi menatap keluar jendela berangsur menoleh ke David. “Tidak seharusnya kamu marah pada Daddy dan mendiamkan Daddy seperti ini, kamu yang salah,” kata David. Axel kembali membuang muka ke arah luar jendela. Dia malas menanggapi. "Axel, dengar Daddy!" David meninggikan suaranya, membiarkan nada ketidakpuasan terdengar jelas. Axel tetap diam. David mengembuskan napas panjang. Dia mengerti bahwa situasi ini serba salah. Sejak perpisahannya dengan mantan istrinya, dia merasa hubungannya dengan Axel semakin renggang. Memindahkan Axel ke sekolah baru juga bukan keputusan yan