Arsen tak menjawab Lily. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan Lily lalu merengkuh istrinya itu ke dalam dekapan. "Kita bahas hal lain saja," ucap Arsen. "Kamu selalu begini, menghindar jika itu tentang urusan pribadi." Lily protes. "Padahal aku ini istrimu, tapi sepertinya benar, kamu tidak mencintaiku." "Aku mencintaimu dan aku takut kehilanganmu." Lily terkesiap, dia merasakan dadanya berdenyut aneh. Lily hanya diam menatap wajah Arsen tanpa bisa berkata-kata. "Masa laluku mungkin akan membuatmu tidak nyaman, aku tidak suka membicarakannya karena itu menyakitkan." Lily menatap lekat wajah Arsen dan menyelam dalam ke mata pria itu. Terkadang ada perasaan sakit yang susah untuk dijelaskan. Bahkan hanya mengingatnya saja akan membuat seakan kesulitan bernapas. "Benar ibumu istri ke dua?" Lily memberanikan diri bertanya. "Hm ... awalnya aku tidak tahu bagaimana bisa ibuku mau menjalin hubungan dengan pria yang sudah memiliki istri dan anak. Tapi setelah
Di kantor polisi.Sonia masih menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Sonia ditemani pengacara yang Bryan tugaskan untuk mengawal kasus yang wanita itu hadapi saat ini. Setelah pemeriksaan selesai. Sonia mendapat izin untuk bicara dengan pengacaranya sebelum kembali dimasukkan ke sel tahanan sementara. “Apa Bryan tidak bilang padamu ingin datang kemari?” tanya Sonia. “Pak Bryan saat ini sangat sibuk, jadi kemungkinan belum bisa ke sini,” jawab Alvian–pengacara Sonia. Sonia kecewa. “Saya masih berusaha melobi pegacara Nona Lily untuk membahas kemungkinan damai. Saya benar-benar kesulitan bahkan tidak bisa mendapat akses langsung menghubungi Nona Lily , jadi sebaiknya Anda bisa sedikit bersabar,” ucap Alvian lagi. Setelah selesai bicara. Sonia dibawa masuk kembali ke ruang sel tahanan sementara bersama empat tahanan lainnya. Mereka juga baru saja menjalani pemeriksaan. Sonia berjalan di belakang keempat orang lainnya, saat masuk sel, Sonia terlihat angkuh bahkan menatap jijik
Lily memunggungi koper miliknya saat Arsen mendekat, dia berharap pria itu tak mencurigainya. Namun, Lily hanya bisa pasrah saat Arsen berdiri tepat di depannya, lalu menarik pelan lengan Lily agar bergeser. Lily menekuk bibir saat Arsen membuka koper itu. "Bibi Jess yang memasukkan baju itu, sumpah bukan aku," kata Lily. Dia buru-buru menutup kopernya lagi. Lily tak ingin mendengar komentar Arsen. Dia lantas menarik tangan pria itu dan mendorongnya pergi. "Cepat ganti baju!" Kata Lily. Arsen diam-diam memulas senyum tanpa Lily melihatnya. "Kamu ini, kenapa mengajakku pergi tanpa bilang-bilang," protes Lily. "Baru mau bilang," balas Arsen santai. Dia menoleh Lily yang cemberut lalu mencium bibir wanita itu tanpa permisi. Lily kaget. Pipinya merona merah. Lily langsung balik badan untuk kembali merapikan kopernya. *** Beberapa saat kemudian Arsen dan Lily sudah selesai bersiap. Beberapa pelayan tampak mengantar mereka sampai halaman termasuk bibi Jess. "
Bibi Jess menggeleng pelan karena tidak setuju dengan tuduhan Lily. "Saya sudah puluhan tahun menjadi pelayan, ada aturan rumah yang sudah diterapkan oleh Tuan Arsen. Saya hanya melakukan apa yang Tuan perintahkan," kata Bibi Jess. "Nona coba pikirkan lagi, ruang serbaguna ada di selatan taman, kamar mandi juga banyak di lantai satu, tapi kenapa lantai dua yang dia tuju." Lily memikirkan ucapan bibi Jess yang memang terdengar masuk akal. "Nona, Tuan Arsen punya banyak orang yang tidak menyukainya. Nona juga mungkin juga sama, saya mohon hati-hati." Bibi Jess membungkuk bicara pada Lily. Namun, Lily tidak ingin serta merta mencurigai Juna. Mungkin saja memang Juna ingin melihat-lihat mansion Arsen lalu bingung mencari jalan kembali. "Hm ... maaf kalau aku bersikap kurang sopan ke Bibi, terima kasih aku akan hati-hati," kata Lily. Bibi Jess menatap Lily, awalnya dia menyangka Lily akan murka padanya. Wanita paruh baya itu tersenyum. Kini dia tahu kenapa Arsen memilih Li
Lily melepas pelukannya dari Arsen, lalu menatap pada suaminya itu. “Apa mau kusiapkan air mandi?” tanya Lily. “Tidak usah,” jawab Arsen. “Mau makan malam?” tanya Lily lagi. Arsen menggeleng pelan. “Nanti kalau lapar aku bisa minta pelayan siapkan buah.” “Aku mau tidur lebih awal agar kamu bisa cepat istirahat,” ucap Arsen kemudian. Arsen berdiri hendak ke kamar mandi, tetapi Lily menahan tangannya. Arsen menoleh Lily tanpa kata, akhirnya Lily melepas tangannya lalu Arsen segera pergi ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian Arsen sudah selesai dari kamar mandi. Dia menatap pada Lily yang menunggunya di atas kasur.Dia berbaring memeluk istri kecilnya itu. Setelah memastikan Lily tidur, Arsen pergi meninggalkan kamar menuju ruang kerjanya. Arsen ternyata memanggil Bibi Jess. Dia menunggu di ruang kerja, sampai kepala pelayannya itu datang. “Apa ada yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya Bibi Jess. “Siapa pelayan yang kurang sopan pada teman Lily siang tadi?” tanya Arsen. Bibi Jess
Juna menoleh. Dia memasang mimik wajah kebingungan lalu mendekat ke bibi Jess. "Aku mencari kamar mandi," jawab Juna. Bibi Jess menatap curiga, tapi tak ingin memperpanjang perdebatan karena tahu Juna nerupakan staf Lily. Bibi Jess lantas memanggil pelayan yang kebetulan lewat dan menyuruhnya mengantarkan Juna ke kamar mandi. Dia masih berdiri di tempatnya sampai punggung Juna dan pelayan itu tak terlihat lagi. Bibi Jess memilih menghubungi bagian keamanan, meminta untuk dicekkan rekaman Cctv. Setelah itu Bibi Jess pergi mengerjakan tugasnya kembali. "Permisi, apa kamu akan menunggu?" Juna menghentikan langkah saat tiba di kamar mandi. "Apa Anda bisa kembali sendiri?" tanya si pelayan dengan sopan. Namun, pelayan itu kaget karena Juna malah membalasnya ketus. "Kamu pikir aku bocah? Aku tahu jalan ke tempat tadi." Juna memasang ekspresi kesal di wajah lantas masuk ke kamar mandi. Pelayan itu hanya diam dan menunduk kemudian pergi. Sementara itu di ruang serbagu
Di kamar tamu Risha memeluk Adhitama, mencoba membujuk pria itu untuk mengatakan ke Arsen bahwa suaminya itu tahu Arya memiliki rencana. "Pasti akan sangat menyakitkan kalau sampai Arsen harus dipermalukan di depan banyak orang," kata Risha. Adhitama mengusap lengan Risha. "Kenapa bisa dugaanmu mengarah ke sana? Aku lebih memikirkan jangan-jangan kita yang akan dipermalukan oleh Arya." Risha menegakkan badan dan menatap tak percaya pada suaminya. "Dua-duanya tetap tidak mengenakkan, bisakah kamu mencegahnya saja? Bicaralah pada Arya kalau kamu sudah tahu rencananya, kalau perlu ancam dia." Adhitama malah tersenyum tipis dan membuat Risha mengerutkan kening. "Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi aku ingin melihat sifat asli mereka, baik itu Arsen atau Arya." "Apa maksudmu?" Risha semakin bingung. "Jika dugaanku benar, aku ingin melihat bagaimana cara Arsen membelaku." Adhitama menatap dalam wajah Risha. "Jadi Mas Tama seperti bertaruh, lalu apa yang mas dapat dari
Adhitama memindai ruang tengah rumah Arsen. Dia lantas mengambil cangkir yang ada di meja lalu menyesap teh di dalamnya. Adhitama meletakkan cangkir kembali lantas berkata," Sebagai sesama pengusaha, aku merasa salut padamu. Kamu bisa mengembangkan ARS yang dulunya hanya perusahaan buangan kakekmu dan nyaris bangkrut." Arsen diam dan hanya mendengarkan Adhitama bicara. "Aku heran kenapa Arya tidak pernah menceritakan punya adik sukses sepertimu padaku." Adhitama menekuk bibir dan mengedikkan bahu setelah bicara. "Jujur saja, orangku tidak bisa menemukan informasi mendalam tentangmu. Informasi hanya seperti apa yang kamu perbolehkan orang lain tahu," ucap Adhitama. Arsen masih diam mendengarkan. "Aku bisa saja bertanya pada Arya, tapi bayarannya terlalu mahal, dia pasti menginginkan kontrak kerjasama lagi dengan Mahesa." Arsen tersenyum miring. Dia senang Adhitama tahu bagaimana liciknya Arya. "Untuk pria yang terlalu misterius sepertimu, bukankah wajar kalau aku tidak
Arsen panik saat Lily meneleponnya dengan suara bergetar. Dia langsung meninggalkan pekerjaannya untuk segera menemui Lily. Arsen pergi ke ruang divisi pemasaran dan membuat semua staf istrinya kaget. "Mana Lily?" Arsen menatap para staf yang hanya mematung memandang ke arahnya. Di saat itu, Dini yang berada di luar berlari ke arah Arsen sambil menunjuk ke arah kamar mandi. "Pak, Lily di kamar mandi, dia menangis. Aku tidak tahu dia kena .... pa." Arsen tak menjawab Dini karena lebih dulu berlari ke arah kamar mandi. Dia masuk lalu mambuka semua bilik yang ada untuk menemukan Lily. Di salah satu bilik akhirnya Arsen melihat Lily duduk menggenggam ponsel sambil gemetaran. Hingga Lily berdiri perlahan keluar dan berkata," aku takut." Arsen tanpa bicara meraup tubuh Lily dan mempopongnya. Dia membawa Lily keluar lalu berjalan cepat menuju lift. "Tidak usah takut, ada aku. Semuanya pasti baik-baik saja," kata Arsen. Arsen berjalan keluar lobi, mengabaikan tatap