Setelah menaruh tas ke dalam kamar, Amira segera menuju kamar mandi yang terletak di lantai satu. Matanya seketika membulat melihat pakaian yang bertumpu di atas ember, sungguh Amira tak menduga pakai yang akan ia cuci sebanyak itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Tiba-tiba terdengar suara Caterina.Amira memutar tubuh, "Tidak Nyonya," seiring bersama anggukan kepala."Kalau tidak keberatan! Ayo kerjakan," desak Caterina dengan wajah malas, "Satu lagi, jangan menggunakan mesin cuci," lanjutnya."Tapi Nyonya....""Tidak ada tapi-tapian," sela Caterina yang membuat Amira terdiam, "Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis. Kamu sadar gak, kalau kamu tidak pantas menjadi menantu keluarga Louis?" lanjutnya menghina Amira."Iya Nyonya, aku sadar," jawab Amira."Kalau begitu akhiri hubunganmu dengan Marc, kalau tidak! Kamu akan menjadi babu di rumah ini, selamanya akan dianggap sebagai babu," tegas Caterina dan langsung pergi.Amira hanya terdiam mematung, dipandangnya punggung Caterina ya
"Apaan sih?" Marc melepaskan tangan Amira dari tangannya."Tenang Om, aku gak akan melakukan yang macam-macam," canda Amira sambil tersenyum tipis."Aku tahu itu," timpal Marc dengan wajah kesal."Om, aku boleh ikut gak? Aku...." Amira belum selesai bicara tetapi Marc sudah menyelanya."Gak bisa, apa yang harus aku katakan jika mereka bertanya siapa kamu?" Marc langsung menolak tanpa mendengar ucapan Amira terlebih dahulu."Om, aku itu..." "Pokoknya gak bisa, kamu di rumah saja." Lagi-lagi Marc menyela ucapan Amira."Aku bukan ikut sama Om." Suara Amira sedikit meninggi, "Aku itu hanya menumpang di mobil Om," lanjutnya menjelaskan."Maksud kamu?" Marc sedikit bingung, ia tidak dapat mencerna maksud dari ucapan Amira."Aku mau nginap di kos temanku, tapi aku numpang di mobil Om. Maksudnya! Om antar aku ke kos temanku, begitu Om." Amira menjelaskannya."Huh, bilang dong dari tadi." Marc menyalahkan Amira, padahal ia yang tak memberi wanita cantik itu kesempatan untuk bicara."Aku siap
"Sebenarnya kamu siapa?" Pertanyaan itu membuat Amira refleks memutar kepala, ditatapnya Karra yang sedang menggenggam pergelangan tangannya dengan erat."Benarkah kamu istri Marc? Atau hanya wanita bayaran?" lanjut Karra dengan wajah penuh tanya.Tentu Karra merasa curiga, Marc datang ke sana hanya seorang diri. Sedangkan Amira datang ke sana bersama temannya, bukankah seharusnya Marc dan Amira datang bersama? "Saya istrinya," jawab singkat dengan wajah datar.Karra tersenyum sinis, "Dari wajahmu sudah menunjukkan kebohongan, Amira. Sebaiknya berhentilah ikut campur dalam urusan keluarga Louis, kamu tidak tahu seperti apa Tante Caterina." Karra mengingatkan Amira, namun wanita cantik itu tak sedikitpun gentar. Uang membuat Amira tidak merasa takut, apalagi perjanjiannya dengan Marc hanya beberapa bulan. Jika dihitung dari usia kandungannya, ia hanya perlu bersabar selama 7 bulan 2 Minggu."Nyonya Caterina tidak mungkin melakukan sesuatu, karena saat ini aku sedang mengandung cucu
"Maaf Nyonya." Hanya itu yang terucap dari mulut Amira.Caterina menekan tombol kursi rodanya, ia bergerak menuju Amira yang berdiri di dekat tangga."Apa aku bisa minta tolong?" ucap Caterina."Tolong apa Nyonya?" Tentu Amira bertanya!"Tolong ambil kursi rodaku di gudang, yang ini sudah tak enak lagi dipakai," jawab Caterina dengan santai."Oh baik Nyonya, tapi gudangnya di mana Nyonya?" Amira dengan tulus menanggapi permintaan Caterina."Kamu ke luar dari pintu samping, di dekat taman ada sebuah rumah, nah itu gudangnya." Caterina memberitahu tempatnya.Tanpa ragu Amira bergegas menuju pintu samping, ditatapnya sebuah rumah sederhana di dekat taman. Kaki mungilnya segera melangkah menuju gudang, kunci yang diberikan Caterina ia buat untuk membuka pintu.Amira baru saja masuk ke dalam gudang, tiba-tiba seseorang mengunci pintu dari luar. Seketika itu juga lampu mati yang membuat Amira berteriak ketakutan."Tolong buka pintunya, tolong," teriak Amira sambil mengetuk pintu dengan sek
"Apa Mamah mengusir kakak ipar dari rumah ini?" tanya Marcell saat Caterina dan Karra akan masuk, sedangkan Marc sudah terlebih dahulu meninggalkan teras.Caterina menghentikan kursi rodanya, "Apa Mamah seburuk itu?" Bukannya menjawab, Caterina justru balik bertanya. "Tidak, Mamah tidak seburuk itu," sahut Marcell, "Aku percaya Mamah tidak mungkin melakukannya," lanjutnya.Marcell terpaksa mengatakan hal itu agar ibunya tidak marah dan tersinggung. Marcell takut, Caterina berbuat nekat lagi dengan membahayakan dirinya sendiri. Seperti kejadian 10 tahun yang lalu, di mana saat itu Marc menuduh ibunya mengusir istrinya Adella dari kediaman Louis. Caterina yang kesal dituduh oleh putranya! Lantas melompat dari lantai dua, sehingga membuat kedua kakinya patah dan lumpuh hingga saat ini."Kalau begitu, jangan tanya Mamah lagi." Setelah mengatakan itu, Caterina masuk ke dalam rumah bersama Karra."Tapi aku tidak percaya, Mamah dan Karra menyembunyikan sesuatu," ucap dalam hati Marcell samb
Satu Minggu telah berlalu, pagi ini Marc sedang mengemas pakaian ke dalam koper. Pria tampan berusia 40 itu akan berangkat ke luar kota untuk urusan bisnis."Biar aku bantu Om," tawar Amira dengan tulus."Hum," sahut singkat Marc.Amira menyusun semua perlengkapan Marc ke dalam tas. Tak lupa ia memasukkan parfum kesukaan Marc yaitu Clive Christian, walupun Amira baru 2 Minggu hidup bersama Marc! Ia sudah hapal kebiasaan dan kesukaan pria tampan itu."Jangan lupa, kemas pakaianmu," ucap Marc tiba-tiba.Amira menghentikan gerakan tangannya, kepalanya berputar untuk melihat Marc yang sedang merapikan dasi di depan cermin meja rias."Untuk apa Om?" Tentu Amira bertanya!"Selama aku di luar kota, kamu akan tinggal di apartemen," jawab Marc tanpa melihat lawan bicaranya."Kenapa harus tinggal di sana Om?" Amira lagi-lagi bertanya.Marc menghela napas, "Lakukan saja apa yang aku perintahkan," ucapnya."Baik Om." Amira pun menutup mulut dan tak bertanya lagi.Ia segera mengemasi barang-barang
Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, saat ini Amira sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Ting-nong." Suara dering ponsel.Amira meraih ponselnya dari atas meja, bibirnya terangkat setelah melihat nama yang muncul di sana."Iya Rib," ucap Amira setelah mengusap layar ponselnya."Ra kamu di mana? Eh aku mau bicara sesuatu, pasti kamu terkejut," cerocos Eribka dari seberang sana."Bicara apa? Kenapa aku harus terkejut? Apa sesuatu yang mengerikan?" Amira balik menjajah sahabatnya dengan berbagai pertanyaan."Kamu tahu gak, sekarang aku di mana? Terus sama siapa?" Suara Eribka terdengar semangat."Mana aku tahu, memang kamu di mana? Sama siapa?" tanya Amira yang penasaran."Lagi di apartemen, sama adik ipar kamu.""Ha...." Amira terkejut, "Sama Marcell?" lanjutnya untuk memperjelas."Iya, sebentar lagi kita akan jadi kakak adik. Doain ya?" canda Eribka dari seberang sana."Tapi Rib...." "Udah dulu ya Ra, Marcell datang," sela Eribka yang langsung memu
"Marcell," ucap Amira dengan wajah bingung."Selamat malam Kakak ipar," balas Marcell menyapa Amira.Ia tersenyum yang membuat jantung Amira tak menentu di dalam sana. Ada rasa takut hingga membuatnya lupa mengajak Marcell untuk masuk."Malam," balas Amira dengan singkat."Apa saya boleh masuk?" tanya Marcell."Ha, si... silahkan." Amira membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan Marcell untuk masuk.Ia mengantar Marcell ke ruang tamu, lalu melangkah menuju dapur untuk membuatkan teh dan cemilan yang ada di dalam lemari pendingin."Silahkan diminum tehnya," ucap Amira sambil menaruhnya di atas meja."Terima kasih Kakak ipar," jawab Marcell.Ia meraih gelas dari atas meja, lalu menyesal teh buatan Amira. Namun matanya tidak berhenti menatap wajah cantik Amira."Oh iya, bukannya Kakak ipar ikut dengan kak Marc ke Prancis?" tanya Marcell setelah kembali menaruh tehnya di atas meja.Wajah Amira sedikit berubah, ia terdiam sambil memikirkan jawaban apa yang harus ia katakan."Aku tiba-tiba