"Ya Tuhan, Saka! Kenapa kamu malah ada di sini!" Suara Mami Chintya berteriak.
Ada apa dengan Saka?
Seketika aku ikut khawatir dengan keadaan suami yang tak mau menerimaku menjadi istrinya.
Semoga saja Saka baik-baik saja.
"Mam, ada yang memanggilku tadi. Dia bilang pa ...."
"Kamu pasti hanya berhalusinasi saja. Mana ada yang memanggilmu. Ada-ada saja," sela Mami membuat Saka langsung terdiam.
Suara mereka terdengar samar, hingga akhirnya lambat lain suara itu kian menghilang. Apa yang akan Saka katakan tadi. Mungkinkah dia akan bicara Papi?
Itu artinya aku benar-benar hamil dan Saka bisa merasakan ikatan batin dengan anak yang kukandung.
Seandainya kamu menerima aku jadi istrimu, Saka.
Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Berandai-andai jika Saka akan memb
Entah siapa yang menelpon, hanya tertera nomor saja saat kulihat tadi.Ketika Saka menerima telepon. Di situ aku memungut gelas yang terbelah menjadi 3 lalu dibuang ke tempat sampah. Untung saja tidak hancur tadi.Akan tetapi, setelah saka berucap kata halo, dia langsung menyentuh layar dan menggeser untuk mengakhiri. Karena terlalu lama, akhirnya aku membantu mengakhiri panggilan."Terima kasih," ucap Saka setelah telepon mati."Siapa kamu? Aditya, Salman, atau Mami Nafa? Kenapa hanya diam saja," tanya Saka sesaat setelah meletakkan benda pipih itu di tempat semula. Pasti ditaruh dibawah paha supaya mudah saat ada telepon masuk."Aku ...." Belum selesai berucap, pintu sudah bergerak. Seorang wanita muncul di sana.
"Janin siapa yang kamu kandung?" todongnya ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi. "Jangan bilang jika kamu tidak tahu siapa ayah dari anakmu itu!" Suaranya mulai meninggi. Aku terbelalak, hasil lab itu sudah ada di tangan Aditya. "Anak siapa yang kamu kandung, Nilam!" sentaknya lalu melempar kertas tersebut. "A-aku ...." Suaraku seketika tercekat. Hal itu membuat Aditya mendekat. Tangannya mencengkram kuat kedua bahuku. "Katakan siapa ayah dari anak itu?" tanyanya dengan suara lirih tetapi penuh amarah. "Aku hamil anak Saka," lirihku menatap sayu wajah Aditya. "Aku dijebak Bibi hingga akhirnya aku dan Saka ...." lanjutku membiarkan netra kami saling bertemu untuk sepersekian detik. Kemudian Aditya melepaskan cengkeramannya dan membuang kasar tangannya. "Hah!" Tangan Aditya memukul tembok. "Aku kecewa Nilam! Sangat kecewa!" Tangan kekar itu kembali memukul tembok dengan kuat hingga kini mengeluarkan darah. "Kenapa! Kenapa harus Saka yang menjadi penghalang cintaku pada
"Iya bener. Makanya segera hamil ya. Dan Opa juga punya kabar bahagia buat kalian," katanya membuat aku jadi deg-degan.Kabar bahagia apa yang akan Opa berikan?"Sebenarnya sih kabar ini khusus untuk untuk Saka, tetapi sepertinya Nilam juga akan ikut bahagia," imbuhnya.Memangnya kabar bahagia itu apa sih? Bikin makin penasaran aja. Mbok yo langsung pada intinya saja. Apa maksudnya. Nggak usah belibet terus."Begini loh Saka, Nilam. Sebenarnya pernikahan kalian itu memang Opa yang menginginkan. Sebab, Opa yakin jika Nilam bisa merubah hidupmu! Sejak pertama kali Opa bertemu dengan Nilam, Opa sudah tertarik dengannya. Anaknya humoris dan random. Itu bisa menjadikan hidup Saka yang monoton dan penuh dengan keangkuhan itu menjadi lebih berwarna."Loh, kabar bahagianya cuma itu. Kirain apa. Aku yang tadinya antusias menjadi malas."Kalau Opa yang tertarik k
"Lain kali kalau bangun jangan siang-siang," jawabnya kesal."Iya, terus sekarang kamu maunya apa?" tanyaku lagi."Mandi." jawabnya enteng."Mandi tinggal mandi, ngapain juga bangunin orang. Aku masih mengantuk ," balasku malas.Kemudian akan pergi, tetapi Saka melarang dan menyentak."Bisa hargai dan nurut sama suami nggak!""Kalau aku udah nurut sama kamu terus apa balasan yang aku dapatkan?" tanyaku angkuh, "nggak ada 'kan!" imbuhku.Dia pikir cuma dia saja yang bisa bersikap angkuh. Aku pun bisa kok."Aku akan ....""Akan apa?"Tangan Saka bergerak dan bisa-bisanya menyambar tanganku hingga dia menarikku sampai terjatuh."Aduh," pekikku kala terjatuh tepat di kaki Saka. Pria itu tak kalah berteriak sama sepertiku."Dasar istr
POV Arshaka"Aaaa ...!" teriakku kala rem yang aku pijak sama sekali tidak berfungsi. Pikiranku kalut dan aku tidak bisa berpikir jernih.Di depan, tepat di sebuah pertigaan. Sebuah truk dari arah kiri melaju dan hampir saja bertabrakan denganku.Gegas aku membanting setir ke arah lain untuk menghindarinya. Membelokkan ke arah kiri jalan dan menabrakkan pada pohon dipinggir jalan dan setelahnya aku tak sadarkan diri.Ketika membuka mata, tak ada cahaya sama sekali. Ada suara tetapi mereka tak nampak. Mungkinkah aku sudah mati? Dan sekarang aku ada di alam lain?Aku kembali menutup mata, dan membukanya lebar-lebar. Tetap saja hanya gelap, yang kembali aku dapati."Mam," lirihku."Saka, sudah sadar, Nak." Ada tangan yang mengusap kepalaku dan terasa nyata.Itu artinya aku masih hidup. Tetapi kenapa semuanya
Ketika aku sedang makan. Diluar ada yang memencet bel. Entah siapa yang datang sepagi ini. Aku malas untuk bangkit. Alhasil aku meminta pelayan yang membuka karena sedang nanggung."Di mana Saka? Aku ingin bicara padanya. Besok kita akan berangkat ke Jakarta." Suara itu hampir saja membuatku tersedak.Apa? Berangkat besok? Katanya seminggu lagi. Gimana sih."Ada di dalam, Tuan," jawab pelayan.Gegas aku bangkit dan akan menemui Aditya. Pria itu yang merencanakan atau memang dari pihak dokter yang meminta?"Baguslah. Lebih cepat lebih baik!" seru Saka yang duduk di sampingku."Nilam, kamu ada di sini? Aku pikir kamu ...." Kini pria itu sudah tiba di meja makan."Sejak aku pulang, istriku juga ikut pulang," jawab Saka tangannya meraba-raba mencari tanganku. Padahal saat ini aku berdiri di sampingnya, bukan duduk. Mau ketawa kok takut
Setelah kepergian Aditya, aku berjalan menuju kamar untuk meyiapkan barang-barang Saka. Namun, seketika kaki ini berhenti melangkah mendengar ucapan Saka. Jika cinta, kenapa tak percaya?Itu yang menjadi pertanyaan bagiku. Saka berkata dia mencintaiku sebagai wanita malam itu. Namun, dia tidak suka denganku yang menjadi istrinya karena uang.Bukankah aku sudah menjelaskan dan tidak hanya aku, tetapi Mami pun menjelaskan. Namun, Saka lebih percaya pada orang lain. Mengapa tidak tanya pada hatinya saja. Kemantapan tentang hati bukankah menjadi solusi terbaik?Perlahan aku melangkah. Antara berani dan tidak untuk mendekat dan mengajaknya berbicara. Akan tetapi, demi tekad dan cintaku pada Saka, serta hubungan rumah tangga yang harus dipertahankan demi hati masing-masing."Bagaimana dengan hatimu." Kata-kata itu yang muncul dalam otakku dan langsung direalisasikan saat ini.Menanyakan tentang hati Saka.Saka bergeming. Dia tidak menjawab ucapanku sama sekali. Apa dia tidak mendengar? A
Saat kami bertiga meninggalkan area parkiran. Seseorang berteriak, membuat langkah kami seketika terhenti."Mau apa dia datang ke sini? Mana pakai koper segala?" tanyaku setelah menoleh."Ngapelin Saka kali, kan dia kekasihnya." Aditya menyahut."Enak aja, aku udah putus sama dia," sahut Saka tak terima.Sedangkan wanita itu berjalan dengan santainya mendekati kami bertiga yang menghadap padanya."Berangkat sekarang bukan?" tanya Putri dengan pedenya."Nggak jadi," ketus Saka yang sepertinya tidak suka atas kehadiran sang kekasih.Kemajuan besar nih. Itu artinya aku tidak ada saingan untuk mendapatkan hati Saka sepenuhnya."Jangan bohong, kata papa jadi kok," balasnya dan Saka malah menyentak."Pulang sana! Aku tidak mau diganggu sama kamu!""Saka! Kamu lupa jika wanita yang menggandengmu itu adalah seorang ....""Seorang apa? Ha!" Aku meradang.Sepertinya putri adalah orang yang mempengaruhi Saka hingga ucapan Mami pun tidak dipercaya olehnya."Seorang ....""Penj*al diri begitu? Iya