Langit senja mulai memudar, berganti cahaya malam yang tenang dan penuh kehangatan. Di dalam mobil yang melaju pelan melewati jalanan kota, Alika duduk dengan tangan menggenggam erat jari Sadewa. Jantungnya masih berdegup kencang sejak sang suami muncul di depan pintu dengan tatapan tak berkedip dan senyum yang membuat tubuhnya terasa melayang. Tapi kini, saat mobil berhenti sejenak di sebuah persimpangan, Sadewa menoleh padanya."Boleh abang minta tolong satu hal?" tanyanya lembut, dengan senyum penuh makna.Alika mengangguk pelan, menatap wajah pria yang kini duduk di sisinya. "Apa itu, bang?"Sadewa mengangkat tangannya yang lain, menggenggam sehelai kain satin berwarna lembut dari dashboard mobil."Tutup matamu dulu sebentar ya. Abang mau bawa kamu ke tempat yang spesial."Alika tersenyum, sedikit gugup. "Tempat spesial? Kita bukan mau makan malam?""Makan malamnya tetap ada... tapi sebelumnya abang ingin kamu lihat sesuatu. Atau... lebih tepatnya, merasakannya lebih dulu sebelum
Sore itu, rumah kediaman keluarga Sadewa terasa lebih hidup dari biasanya. Bias cahaya matahari yang mulai condong ke barat menyinari setiap sudut ruangan dengan kehangatan keemasan yang lembut. Di dalam kamar, Alika tengah duduk di depan meja rias, tatapannya jatuh pada layar ponsel yang baru saja menyala karena sebuah pesan masuk. Jari-jarinya sempat gemetar kecil, dan matanya membelalak pelan saat membaca isi pesan itu."Aku kirim seseorang untuk menyulap kamu malam ini. Pukul 7 aku jemput, sayang."Alika mengulang membaca pesan itu dua kali, memastikan bahwa ia tidak salah baca. Dada perempuan muda itu sontak berdegup lebih cepat. Sebuah perasaan hangat, gugup, sekaligus antusias menyelimuti dirinya. Sadewa—suaminya, pria yang selama ini dikenal Alika sebagai pribadi tenang dan sedikit tertutup soal perasaan—tiba-tiba mengajaknya makan malam romantis di luar, dan bahkan sampai mengirim seseorang untuk mendandaninya.Sebuah ketukan pelan di pintu membuat lamunan Alika buyar. "Non,
Pagi itu, langit masih merona lembut, seperti baru saja menyentuh batas antara malam dan fajar. Sinarnya menyelinap pelan lewat celah tirai jendela, menguar cahaya keemasan yang jatuh tepat di atas wajah dua insan yang tengah tertidur dalam balutan kehangatan rumah tangga yang mulai terbentuk dengan sendirinya. Di antara cahaya itu, sepasang mata perlahan membuka, bening dan tajam, menatap ke arah satu wajah yang telah menjadi dunia barunya.Sadewa tidak langsung bangkit dari tempat tidur seperti kebiasaannya setiap pagi. Hari ini, entah kenapa, dia membiarkan tubuhnya tetap terbaring di sisi ranjang, nyaris tak bergerak, seolah takut mengganggu lukisan indah di hadapannya. Di sana, tepat di sampingnya, Alika masih tertidur dengan posisi menyamping, wajahnya menghadap ke arahnya. Wajah itu begitu tenang, damai, seakan tak tersentuh oleh keributan dunia luar. Ada kelembutan alami yang membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Lelaki itu tersenyum kecil. Bukan senyum yang dibuat-
Langit sore menyemburatkan rona keemasan yang hangat ke seluruh penjuru halaman belakang kediaman keluarga Baskoro. Angin semilir menerpa dedaunan yang menggantung manis di sisi pagar taman. Udara begitu tenang dan damai, seperti sedang merayakan kebahagiaan yang mulai tumbuh perlahan di rumah megah itu. Di salah satu sudut balkon lantai dua, dua sosok pria duduk berhadapan dalam diam. Hanya suara cangkir yang sesekali beradu dengan meja kayu jati, dan aroma kopi hitam pekat yang baru saja diseduh memenuhi ruang kecil itu."Untuk kambing aqiqah-nya, Papa akan minta Pak Agus yang carikan," ujar Tuan Baskoro membuka pembicaraan, suaranya tenang namun penuh wibawa. “Beliau orang yang sangat bisa diandalkan. Paman Alika itu pasti akan memilihkan yang terbaik untuk aqiqah cucu Papa.” Ia meneguk kopinya dengan tenang sebelum melanjutkan, "Sekalian saja, kan? Resepsi dan aqiqah langsung dirayakan bersamaan. Hemat waktu, tenaga, dan momen yang tepat pula."Nada bicaranya terdengar mantap, seo
Beberapa Bulan KemudianSenja turun perlahan, menyelimuti langit dengan semburat jingga yang hangat. Angin sore berhembus lembut, menyapu halaman belakang rumah keluarga Baskoro dengan semilir kesejukan yang menenangkan. Pepohonan bergoyang pelan, dan suara gemerisik dedaunan menjadi latar yang sempurna untuk sore itu.Di beranda lantai dua rumah besar itu, dua pria tengah duduk bersantai. Mereka menikmati secangkir kopi panas dan beberapa batang rokok yang masih mengepul perlahan. Aroma tembakau dan kopi menyatu, membentuk atmosfer maskulin yang penuh keakraban dan kehangatan. Tuan Baskoro duduk dengan tubuh sedikit bersandar ke kursi rotan besar, sementara Sadewa, putra sulungnya, duduk di seberangnya. Pandangan mata Sadewa menelusuri halaman di bawah, tertuju pada sosok perempuan yang sedang duduk bersila di atas rumput, menyodorkan mainan kecil ke tangan bayi mungil yang tertawa riang di pelukannya.Alika tampak begitu sabar, menatap bayi laki-laki mereka dengan penuh cinta. Langi
Dan Sadewa memencet ujung hidung Alika dengan lembut, sebuah tindakan kecil namun cukup untuk membuat Alika mengerutkan wajahnya, terkejut, lalu mengaduh pelan.“Sakit...” lirihnya, sambil mengangkat tangan kanannya, menyentuh hidung yang dipencet barusan. Jari-jarinya menyapu pelan, seolah ingin menghapus rasa geli dan perih kecil yang ditinggalkan oleh sentuhan iseng Sadewa.Sadewa hanya mengulum senyum. Tidak menjawab, tidak meminta maaf. Ia menatap wajah Alika yang tampak sedikit cemberut, namun justru dari sana muncul keteduhan. Wajah yang semula mungkin belum begitu dia kenal, kini sudah jadi bagian dari hidupnya. Wajah itu kini begitu akrab di hatinya—wajah seorang perempuan yang telah mempercayakan hidup dan tubuhnya padanya, perempuan yang kelak akan menjadi ibu dari anak mereka.Dia kemudian kembali ke aktivitasnya semula. Perlahan, dengan tangan hangat dan sabar, ia mulai membantu melepaskan pakaian Alika satu per satu. Tidak ada kata-kata yang terucap saat itu, hanya suara