Saras merasa dunianya hancur karena dipaksa menikahi mas iparnya sendiri. Masih basah tanah kuburan mbak-nya, tapi pernikahan sederhana tanpa resepsi harus terlaksa. Kisah asmaranya terpaksa kandas, cita-citanya menjadi wanita karir setelah wisuda harus musnah begitu saja. Saras tidak siap menjadi istri, melayani orang lain, bahkan memprioritaskan orang lain selain dirinya. Saras tidak akan pernah sanggup. Bahkan, Saras selalu bergantung pada orang lain untuk menyenangkan dirinya. Untuk makan saja, Saras selalu membeli makanan diluar. Atau bahkan pakaian? Tentu Saras akan menggunakan jasa laundry, meski dirumahnya ada mesin cuci. Hingga Saras menyadari, mertua yang sebelumnya bersikap baik padanya justru berputar arah membenci Saras karena menikah dengan putra mereka menggantikan mendiang Mbak Laras. Lelah menjalani pernikahan turun ranjang, dimaki oleh ibu mertua, Saras berniat menggugat cerai suaminya. Tapi, apakah semudah itu? Karena ternyata test pack yang ia beli bergaris dua positif. ***
View More"Mas Rehan akan menikahi kamu sebagai pengganti mendiang Mbak Laras."
Kalimat dari Papa membuat tubuh Saras membeku. Tatapan terkejut tak bisa ia sembunyikan, dirinya sungguh terkejut mendengar ucapan dari Papa. Pasukan oksigen seolah menghilang, membuat dadanya sesak teramat sangat. "Maksud Papa apa? Menikah? Sama Mas Rehan?" Masih basah kuburan Mbak-nya, kini Papa memintanya menikah dengan Mas iparnya sendiri. Dimana pikiran sehat Papanya?! Saras benar-benar tak bisa menerima ucapan Papanya. "Nak..." Suara Mama memanggil, mendekati tubuh Saras yang mematung terkejut. Disentuhnya pundak Saras, "Semua ini demi kebaikan kita semua." Saras menoleh, "Maksud Mama? Mama setuju Saras dan Mas Rehan menikah?" Mama mengangguk mantap, "Mama yakin, Mas Rehan bisa menjaga kamu sama seperti mendiang Mbak Laras." Mendengar hal tersebut membuat Saras naik pitam, "Ma! Saras bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Jangan samakan kami, Ma!" "Nak, kamu salah paham." "Salah paham gimana maksud Mama?!" Saras berkata dengan nada tinggi membuat Mama terlonjak kaget. "Saras! Jaga nada bicaramu dengan orang tua!" Tegas Papa. Suasana rumah yang semula tenang berubah mencekam, hawa panas menyelimuti keluarga yang kini beradu mulut di tengah malam. Rumah yang sebelumnya selalu nyaman dan penuh canda tawa kini harus tergantikan dengan perdebatan antara anak dan orang tua. Saras, yang baru saja pulang selepas mengerjakan tugas kuliahnya mendadak terkejut mendengar titah Papa yang meminta Saras untuk menikah dengan mas iparnya sendiri. Bahkan, acara tujuh harian Mbak-nya yang sudah meninggal baru terlaksana kemarin. Sekarang dengan entengnya Papa meminta Saras menikah, apalagi dengan suami dari Mbak-nya. Alias mas iparnya sendiri?! "Papa sama Mama tau sendiri kan? Saras masih kuliah, sebentar lagi Saras akan lulus dan kejar impian Saras untuk lanjut S2. Tapi kenapa Papa minta Saras buat nikah?" Saras mencoba meredam amarahnya. "Papa sadar dengan apa yang Papa katakan? Pa, Mas Rehan itu mas ipar Saras, Pa. Suami Mbak Laras. Bagaimana bisa, Saras menikah dengan suami dari Mbak Laras, Pa?" Saras dengan lemas terduduk di lantai. Mama menghampiri putrinya, "Saras..." Menepuk pundak Saras, memeluknya perlahan. "Mbak mu sudah meninggal, Saras. Jadi, Rehan juga bukan mas ipar kamu." Papa berkata dengan nada tenang. Saras menatap Papanya dengan sorot tidak terbaca, "Papa..." Lantas, Papa kembali berkata, "Papa sudah memutuskan, jika kamu akan menikah dengan Rehan." Kemudian, Papa bangkit dari sofa. Hendak melangkah pergi, namun terhenti karena sepasang tangan lembut menyentuh kakinya. Tangannya bergetar hebat dengan keringat dingin tiada henti. Berusaha menguatkan hati, meski rasanya tercabik-cabik. "Papa..." Lirih Saras, bahkan perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu bersimpuh di bawah kaki Papanya. "Bagaimana dengan kuliah Saras, Pa? Saras masih ingin mengejar cita-cita Saras." Kali ini, suara Saras memelas. "Saras masih mau menikmati waktu main sama temen-temen kuliah Saras. Saras belum siap untuk menikah, Pa." Dengan tangis sesenggukan, Saras berusaha memohon. "Saras masih mau wisuda, Saras masih mau lanjutin kuliah S2, Saras masih mau berkarir, Saras juga masih mau main sama temen-temen Saras, Pa." "Tolong, Pa. Jangan giniin Saras. Saras masih mau bebas tanpa terikat pernikahan." Mama ikut menangis mendengar ucapan putrinya. Semuanya berubah total semenjak kematian putri pertama mereka, waktu memang tidak bisa ditebak. Masa depan tidak ada yang tau. Saras, perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang masih mengejar wisuda akhir tahun ini sangat terpukul mendengar kalimat Papanya. Kepergian Mbak-nya tak cukup membuat Saras syok, kini titah Papa dimana Saras harus menikah dengan suami dari mendiang Mbak Laras semakin membuatnya terpuruk. Masih membara semangat Saras mengerjakan skripsi, musibah datang saat Mbak Laras dinyatakan meninggal saat melahirkan, lalu Saras harus menikah dengan suami Mbak Laras. Sungguh, semua polemik ini membuat pikiran Saras kacau. Kenapa? Kenapa harus Saras? Saras tidak sanggup. "Saras ingin menikmati waktu muda Saras dulu Pa, banyak hal yang ingin Saras lakukan. Saras gak mau." "Pa, Saras mohon... Saras mohon sama Papa, tolong... Jangan minta Saras untuk menikah dengan Mas Rehan. Mas Rehan suami Mbak Laras, Pa. Saras enggak bisa..." Mama yang sejak tadi diam menyaksikan pertengkaran ini mulai angkat suara. Mama tidak tega mendengar putrinya memohon pada suaminya. Sakit sekali rasanya. "Bangun, Nak. Jangan begini, Mama mohon. Bangun Sayang." Mama mengajak Saras bangkit. "Pa... Apa ini tidak keterlaluan? Saras masih memiliki banyak impian, Pa." Mama mendekati suaminya. "Mama merasa ragu, tidak seharusnya Saras berada dalam keadaan seperti ini. Biarkan Saras mencapai apa yang Saras impikan." Dengan tatapan datar, Papa berkata, "Saras bukan anak kecil Ma, sampai kapan kita harus memanjakannya seperti ini?" "Tapi, Pa, Saras--..." Papa memotong pembicaraan Mama, "Rehan sudah berjanji pada Papa, bahwa dia akan menjaga Saras. Lagi pula, sejak awal Mama yang memaksa Papa untuk menyetujuinya kan? Lalu sekarang harus bagaimana, Ma?" "Papa juga tidak tega melihat cucu Papa menderita. Apa Mama tega? Bahkan cucu Papa tidak bisa bertemu Mamanya untuk pertama kali." Kali ini Mama terdiam mendengar kalimat Papa. Saras masih pilu dengan tangisannya. Tidak terima dengan keputusan Papa yang membuat Saras harus menikahi Mas Rehan. Rasanya, kebebasan Saras direnggut paksa. "Apa semua ini karena anaknya Mbak Laras?" Tebak Saras mendengar perdebatan Papa dan Mamanya. "Jika Papa bilang iya, apa kamu akan membencinya?" Saras tentu saja terkejut, "Tapi, kenapa harus Saras Pa? Apa salah Saras? Saras bukan Mbak Laras. Bahkan, Saras gak bisa ngurus bayi. Papa minta Saras buat nikah?" "Keputusan Papa sudah bulat, Papa juga sudah membicarakan ini dengan Rehan." Balas Papa. Sontak, Saras langsung bangkit. Mendekati Papa, "Lalu, Mas Rehan bilang apa? Gak mungkin Mas Rehan setuju kan, Pa? Istrinya baru meninggal, gak mungkin Mas Rehan nikah lagi dalam waktu dekat." "Rehan sudah setuju." Jawab Papa. "Apa?" Saras sungguh terkejut, tidak menyangka jika mas iparnya itu menuruti apa yang Papa katakan. "Papa dan Rehan sudah sepakat, jika kamu masih bisa kuliah dan kejar cita-cita kamu, karir kamu, semua apa yang kamu mau kejar nantinya. Rehan juga tidak akan melarang mu, Papa jamin itu." Saras menggeleng lemas, "Pa, Saras mohon. Saras memiliki kekasih, nggak mungkin Saras menikah dengan orang yang nggak Saras cintai." Saras berusaha menghentikan rencana pernikahan dari Papanya. Apalagi, Mamanya tidak bisa berbuat banyak. Saras harus memperjuangkan haknya dirumah ini sebagai anak. "Atau, Saras akan belajar merawat bayinya Mbak Laras. Saras berjanji, akan menjaga dengan sungguh-sungguh keponakan Saras... Tapi, jangan nikahkan Saras dengan Mas Rehan, Pa." "Saras mohon..." "Jika ingin mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan, memang banyak yang harus di korbankan, Saras." Tiba-tiba, Papa berkata demikian. "Maksud Papa? Papa mengorbankan Saras?" Papa menatap Saras cukup dalam, "Kamu masih memiliki orang tua yang lengkap, kasih sayang berlimpah. Tapi cucu Papa? Bahkan tidak memiliki ibu sejak lahir." "Menikahlah dengan Rehan, dan jadilah ibu pengganti untuk keponakan mu sendiri." Setelah mengatakan hal tersebut, Papa pergi masuk kamar. Disusul Mama yang mungkin saja masih ingin membujuk Papa. Lalu bagaimana dengan Saras? Perempuan itu terduduk lemas tak berdaya, seolah impiannya hancur berkeping-keping tak bersisa. Kenapa? Kenapa harus Saras? Sejak dulu, memang Saras yang selalu mengalah. Lantas, untuk kali ini apakah Saras akan mengalah? Untuk kesekian kalinya? ***Saras terisak di atas ranjangnya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam bantal agar suaranya teredam. Meski Saras sudah setuju untuk bercerai dari Mas Rehan, namun mengapa hatinya terasa sakit. Seolah, Saras tidak ingin berpisah dari Mas Rehan. Padahal Saras baru tinggal bersama, Saras pun merasa belum begitu mengenal Mas Rehan. Tapi kenapa, rasanya sesakit ini? Saras mengangkat wajahnya yang berantakan. Matanya memerah berlinang air mata, nyaris bengkak. Ia menoleh pada ponsel yang bergetar di sampingnya. [Mama] Ternyata Mamanya yang menelepon, tentu Saras mengabaikan panggilan dari orang tuanya. Keadaannya setelah terlibat pertengkaran tadi belum membaik. Saras masih perlu waktu. Tok Tok Tok Suara ketukan terdengar, Saras menoleh sekilas. Tak berniat membukanya. "Saras." Suara itu, "Mas Rehan?" Gumam Saras dari tempat tidurnya. "Saras, buka pintunya. Kita harus bicara." Ucap Mas Rehan dari balik pintu. "Tolong Saras, ada hal yang harus kita selesaikan. Tanyaka
"Bi Minah pulang saja. Sudah sore, kasihan suami Bi Minah pasti menunggu dirumah." Ucap Saras setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Raut gelisah Bi Minah membuat Saras tidak tega jika harus menahan Bi Minah hingga malam. Apalagi, Mas Rehan belum ada tanda-tanda kedatangannya. Ingin menghubungi Mas Rehan, tapi Saras sadar jika ia tidak memiliki nomor suaminya. Menghela napas panjang, sebenarnya mereka menikah atau bagaimana sih? Sepasang suami istri tapi tidak memiliki nomor satu sama lain. "Jangan Bu Saras. Bi Minah menunggu Pak Rehan pulang saja. Tadi Bi Minah sudah janji sama Pak Rehan." Balas Bi Minah. Keduanya kini berada di dapur. Saras yang akan menyantap sop ayam buatan Bi Minah meletakkan kembali sendoknya ke dalam mangkok. Menatap Bi Minah yang menemaninya dengan gelisah. "Saras sudah lebih baik kok Bi. Jadi, Bi Minah tidak perlu khawatir. Nanti Saras akan bilang ke Mas Rehan kalau Saras yang suruh Bi Minah pulang." Ucap Sara
"Jasmine adalah anak saya." Itu adalah kalimat Mas Rehan setelah beberapa saat terdiam. Menjawab dengan tatapan yang tidak bisa Saras artikan. Raut ekspresinya tenang, seolah tidak ada masalah dengan pertanyaan Saras. Padahal, pria itu sempat mematung mendengarnya. "Mas Rehan jangan bohong." Ucap Saras. "Sepertinya pingsan membuat isi kepalamu terbentur, hingga melupakan sebagian memori sebelum ini." Kata Mas Rehan menarik napas panjang. "Satu tahun lalu, saya menikah dengan kakak kamu. Kami memiliki anak, dan anak itu adalah Jasmine. Tambahan lagi, setelah kematian kakak mu, saya menikah dengan kamu. Otomatis sekarang kamu adalah istri saya." "Saras inget kok Mas, kalo Saras sudah menikah dengan Mas Rehan." "Baguslah, saya takut memori kamu tentang pernikahan kita hilang." Suara kursi berdecit, Mas Rehan bangkit dari duduknya. "Infusnya sudah mulai habis, saya panggilkan suster jaga." "Mas Rehan!" Belum sempat Mas Rehan melangkah keluar, Saras memanggilnya. Me
"Bi Minah, apa Mas Rehan sudah pulang?" Tanya Saras pada Bi Minah yang sedang membereskan peralatan dapur. Saras baru tiba dirumah saat sore menjelang. Setelah Saras mendesak Mamanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Saras masih tidak habis pikir dengan pemikiran Papanya yang sangat egois. "Belum Bu Saras. Mungkin sebentar lagi." Jawab Bu Minah. "Oh iya Bu Saras. Semua pekerjaan sudah selesai, saya pamit pulang." Kata Bi Minah lagi. Saras mengangguk, "Iya Bi, terima kasih ya." "Sama-sama Bu Saras." "Bi Minah!" Baru saja berbalik, Saras kembali memanggil Bi Minah. Bi Minah mengurungkan niatnya, "Iya Bu?" Dengan senyum manis, Saras berkata, "Hati-hati di jalan ya, Bi." Bi Minah tertawa kecil, "Saya pikir kenapa. Iya Bu Saras, siap." Selepas kepergian Bi Minah, Saras menuju kamar Jasmine. Mas Rehan memang melarang pintu kamar Baby Jasmine di tutup rapat. Hal itu memudahkan Saras mengintip dari luar. Ternyata Jasmine baru selesai mandi. "Halo J
"Mama!" "Mama dimana?!" "Mama!" Saras menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan Mama dan Papanya. Suasana dirumah sangat sepi, entah kemana Mamanya. Merasa Mamanya berada di kebun belakang, Saras bergegas menuju belakang rumah. Napasnya tersengal dengan tatapan berkeliaran mencari Mama. Melihat Mamanya tengah memindahkan bunga dari pot kecil ke tanah. Mengusap peluh yang turun dari pelipisnya. Tak kuasa Saras memanggil Mamanya. "Mama!" Teriak Saras membuat sang Mama menghentikan pekerjaannya. Mama terbelalak melihat keberadaan putrinya, "Saras? Kamu datang bersama siapa?" "Saras mau bicara sama Mama." Mendengar nada Saras yang tidak biasanya, Mama bergegas menyusul Saras yang masuk ke rumah. Ditinggalkannya peralatan berkebun begitu saja. "Saras, ada a--" "Jawab pertanyaan Saras dengan jujur." Saras memotong kalimat Mama. "Saras..." "Mama,..." Saras menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. "Mama cukup jawab iya atau tidak." Tambah S
"Bu Saras," Suara Bi Minah memanggil Saras yang tengah asyik bersantai di halaman belakang bersama Jasmine. Bayi mungil itu nampak anteng dalam gendongan Saras, sesekali senyum manis terpatri di wajahnya. "Nyonya ada di ruang tamu, Bu." "Tante Erna disini?" tanya Saras pada dirinya sendiri. Bi Minah yang mendengar pertanyaan lirih itu menjawab, "Iya Bu Saras, nyariin Bu Saras." Saras mengangguk, memberikan Jasmine pada pengasuhnya. "Titip Jasmine ya, Sus." "Aman Bu Saras." Kemudian, Saras bersama Bi Minah berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, dari yang Saras ketahui, Tante Erna menentang pernikahan turun ranjang ini. Bahkan, kemarin saat akad pun Tante Erna tidak datang. Pak Bagas hanya ditemani oleh Om Ardi saja. "Tolong bawakan camilan ya, Bi. Berikan jamuan terbaik untuk Mamanya Pak Bagas." kata Saras. "Baik Bu." Dengan langkah tegas, Saras berjalan sendirian menemui Tante Erna. Siluet perempuan paruh baya itu nampak dari kejauhan. Tengah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments