"Astagfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu Mas, apa yang dikatakan anak-anak adalah murni pemikiran mereka yang masih kecil dan belum paham apa-apa.""Lihat dia sudah berani mengatakan ayahnya jahat, penilaian seperti itu adalah penilaian yang memperburuk keadaan.""Tapi a-aku ...."Belum selesai ucapanku tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seorang wanita mengucapkan salam dan terdengar suara langkah kaki dari hak sepatunya."Permisi, assalamualaikum ...." Suara itu terdengar lembut dan familiar. Benar saja, dari balik dinding seorang wanita dengan kaftan hijau tosca dan menggendong bayi laki laki datang dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga."Aku kebetulan lewat dan langsung mampir," ucap Filza sambil tersenyum padaku dan Mas Albi."Oh, benarkah."aku menjadi salah tingkah dan setengah tidak nyaman karena wanita itu harus melihat saat kami bertengkar dan aku sedang menangis. Kuhapus segera air mata dan membalikkan badan untuk mengambil tisu."Aku mendeng
"Astagfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu Mas, apa yang dikatakan anak-anak adalah murni pemikiran mereka yang masih kecil dan belum paham apa-apa.""Lihat dia sudah berani mengatakan ayahnya jahat, penilaian seperti itu adalah penilaian yang memperburuk keadaan.""Tapi a-aku ...."Belum selesai ucapanku tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seorang wanita mengucapkan salam dan terdengar suara langkah kaki dari hak sepatunya."Permisi, assalamualaikum ...." Suara itu terdengar lembut dan familiar. Benar saja, dari balik dinding seorang wanita dengan kaftan hijau tosca dan menggendong bayi laki laki datang dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga."Aku kebetulan lewat dan langsung mampir," ucap Filza sambil tersenyum padaku dan Mas Albi."Oh, benarkah."aku menjadi salah tingkah dan setengah tidak nyaman karena wanita itu harus melihat saat kami bertengkar dan aku sedang menangis. Kuhapus segera air mata dan membalikkan badan untuk mengambil tisu."Aku mendeng
Seperti kuduga, sehari setelah kepergian kami dari rumah Mas Aldi tiba-tiba menelepon. Agus tidak sengaja mengangkatnya melainkann kureject berkali-kali panggilannya."Biar saja Aku ingin sesekali membuatnya jera," gumamku.Tring.Tring.Ponsel berdering tanpa henti Aku yakin dia tidak akan berhenti menelepon sampai Aku menjawab teleponnya."Halo assalamualaikum.""Waalaikumsalam Aini di mana kamu sekarang kenapa kamu tidak jawab teleponku secepat mungkin"Aku sedang di rumah Ibuku, Ada apa Mas bukannya kamu sudah tahu kalau aku kemari?""Aku tidak tahu!""Bukannya aku mengatakan hal itu kepada filsaApakah dia tidak memberitahumu?!""Tidak, apulang ke rumah dan tidak menemukanmu di sana. Apa yang sedang kau lakukan lama-lama dan mengapa juga kau harus membawa pakaianmu?""Kau sungguh tidak peka Mas, tapi tak mengapa, aku berharap kau bisa menjemputku, itupun kalau kau mau," ujarku dengan nada malas dan kesal.""Apa kau sengaja melakukan ini agar aku dimarahi mertua?" Dia sedang meneba
"Ya ampun Aini, aku mohon, semakin lama kau di sini, aku akan semakin malu kepada ayah mertua. Aku mohon agar kau mengerti posisiku yang sedang sulit seperti ini, tolong jangan buat keadaan yang makin rumit," pintanya sambil menangkupkan kedua belah tangan."Apakah aku tidak berhak tinggal lebih lama di sini, aku juga ingin menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku?""Masalahnya kau sudah datang dengan air mata dan kesedihan. Jadi mereka akan berpikir bahwa aku adalah sumber kesedihanmu. karena itu, aku ingin mengajakmu pulang. Kau bisa kembali nanti kapan kau mau, setelah masalah ini berres."Dasar pecundang, ia ingin segera mengajakku pulang untuk menghindari bertemu ayah yang bisa saja sangat murka padanya. Dia memang takut sejak lama pada ayah. Tapi, entah mengapa, mungkin sudah takdir tuhan juga, entah kenapa kami tersihir untuk membiarkan dia berpoligami."Mengapa kau tidak pergi saja, ke rumah istrimu dan berbahagia di sana? Aku tidak akan melarangmu Mas," ucapku sambil meli
Begitu si wanita menangis telpon langsung berakhir. Mas Albi meletakkan kembali ponselnya di meja sambil menelan ludah dan sedikit pucat. Dia nampak cemas dan takut.Apakah dia sekarang menjelma jadi suami takut istri? Entahlah "Kenapa Mas, kenapa wanita itu menangis?""Ti-tidak usah dipikirkan, ma-mari kita makan," jawabnya sambil mengusap muka.Kuraih lengannya lalu mengelusnya lembut. Dia yang tadinya khawatir, terlihat menyunggingkan senyum, tapi tetap saja tak bisa menyembunyikan bahwa perasaannya sedang tidak fokus bersama kami."Sayang, sudah banyak sekali momen yang terlewat sejak kau menikah. Kita lupa untuk saling menyayangi dan menjunjung satu sama lain karena lepas pernikahanmu kita menjadi sibuk dengan urusan masing masing.""I-iya benar," balasnya dengan wajah tak nyaman."Aku ingin ... kita mengulang kembali bahagia. Bila perlu kita memulai semuanya dari awal. Aku akan perbaiki diri untukmu dan kau juga berusaha berubah jadi lebih peduli pada kami? Apa kau bisa Bi?""I
Melihatku berjalan ke arah meja makan wanita itu mendelik tidak senang, tapi dia juga tidak kuasa untuk mengusir kami sebab dia pasti tidak enak dengan Mas Albi.Bongkar kotak makanan lalu masukkannya ke dalam piring lantas memanggil anggota keluarga untuk makan sikapku saat itu seakan-akan rumah itu sudah berkali-kali ku datangi, buka kabinet dapur dan mengambil piring terbaik yang ada di dalam sana yang mungkin belum ingin dipakai Filza untuk makan sehari-hari, wanita itu terlihat ingin mencegah tapi dia tidak berdaya. Kutuang aku tuang sayuran ke dalam mangkuk lalu meletakkan nasi untuk Mas Albi, lantas aku duduk di kursi sambil menaikkan kaki seakan itu adalah kursi milikku.Menyaksikan Aku melakukan hal demikian Mas Aldi seakan tahu bahwa diri ini sedang mencari gara-gara dan perhatian tapi dia hanya diam saja dan tidak mengatakan apa-apa. Aku tahu dia sedang pusing karena kedua-dua istrinya sedang cari perhatiannya. Filza pura-pur sakit sementara aku pura-pura baik dengan datan
"Um, mari kita pulang saja," ucap Mas Albi padaku sambil menarik tangan ini."Mas ... Masa kau mau pulang dengannya meninggalkan aku sendirian? Akunkagi ga enak badan, Mas.""Aku cuma mau nganterin Ummu Fatimah pulang," jawab Mas Albi sambil menghela napas."Selalu Ummu Fatimah dan Ummu Fatimah lagi, dia selalu jad prioritas, kamu Mas.""Kalian sama saja!" "Tidak sama," ucap wanita dengan aksi mulai menangis dan mengumbar air mata buaya. Aku yang benci melihatnya hanya bisa berdecut dan menggumam 'dasar wanita lebay'."Dengar ... Aku akan mengantarnya pulang dan kembali lagi ke sini," ucap Mas Albi membujuk."Tidak bisa! Hari ini akan kau habiskan bersama kamu sampai tiga hari ke depan," ujarku menyela."Ya Allah, kau menyusahkan sekali, Mbak.""Aku tidak menyusahkan, tapi, ini sudah ketentuan. Sepertinya kau lupa, bahwa rumah tangga kita adalah rumah tangga poligami. Mas Aldi punya istri yang harus diperlakukan dengan sama dan waktunya juga harus dibagi dengan rata. Camkan kau!"Mel
Untuk beberapa saat kubiarkan dia memelukku. Kubiarkan dia sejenak memejamkan mata dan melepas pikiran tertekannya akan situasi rumah tangga yang kurang kondusif.Kubelai rambutnya tanpa mengatakan apa apa, hingga dia menarik tubuhku untuk ikut berbaring, menciumi diri ini dengan tatapan mata dan genggaman tangan yang saking bertautan. Napas kami perlahan mulai disesaki dengan hasrat dan kerinduan hingga satu persatu penutup tubuh ini jatuh ke lantai dan kami saling merangkul dalam lautan asmara.*Pukul tiga pagi, ponsel suamiku berdering di nakas yang ada di sebelahnya. Bunyi dering yang terus berulang-ulang memaksa diri ini untuk mengejar dan menggeliat lalu segera bergerak untuk mengambil benda itu dan mematikannya. Sayangnya setelah ku matikan ponsel itu berdering lagi."Halo, assalamualaikum," tanya aku dengan nada sedikit kesal karena diganggu tidur di pagi buta ini."Walaikum salam, mana Mas Albi?""Tidur.""Dia tidur denganmu?" "Bukan cuma tidur tapi habis bercinta," jawabku