Kring! Kring!
Edmun terkejut saat sering ponselnya begitu nyaring, karena saat ini ia baru selesai memakaikan celana piyama istrinya, sedangkan bagian atas masih polos. Segera ia lompat dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang berdering itu. Nama mamanya muncul di layar. "Ma, lima menit lagi teleponnya. Saya sibuk."Edmun memutus telepon, menggantikan pengaturan sering dengan pengaturan senyap. Lalu ia kembali naik ke ranjang untuk memasangkan piyama sang Istri bagian atas. Jangan ditanya bagaimana detak jantungnya saat ini? AC yang dipasang 18° saja masih bisa membuatnya berkeringat. Ia benar-benar gugup, khawatir istrinya bangun dalam keadaan polos. Gelas di atas meja ia raih dengan asal, lalu ia habiskan isinya untuk membasahi tenggorokannya. "Halo, Ma, kenapa?""Edmun, Luisa bilang tidak kalau Mama butuh uang lima puluh?""Bilang, Ma, tapi saya lagi gak ada uang. Coba Mama tanyakan Mba Ratih, kali aja Mbak Ratih atau suaminya punya.""Kamu itu lucu, Ratih itu makan uang suaminya, mana berani Mama minta selain jatah bulanan empat juta. Pasti Mama minta sama anak lelaki Mama yang sudah jelas kepala keluarga yang mencari nafkah. Udah, sekarang pinjamkan Mama dulu lima puluh, kalau gak ada, empat puluh juga gak papa deh. Mama ada urusan, Ed.""Ma, saya lagi gak ada, bayar pembantu saja pakai uang Luisa tadi. Beneran saya lagi sepi bisnis nih, Ma.""Duh, kamu pinjam siapa kek! Papa Luisa mungkin, Ed. Pak Darmono uangnya banyak dan gak punya istri pula, uangnya buat siapa lagi kalau bukan untuk Luisa dan kakaknya." Edmun tidak langsung menjawab karena kepalanya mendadak berputar mendengar sang Mama mau meminjam uang dalam jumlah besar. "Nanti Edmun tanya deh. Udah dulu ya, Ma."Edmun menutup panggilannya karena rasa kantuk tiba-tiba saja menyerang. Kedua kalinya teramat lemas karena rasa kantuk membuat semua persendian nya seperti ingin segera istirahat. Sial! Edmun pun baru sadar, kalau ia meminum sisa air sedikit di gelas milik Luisa. Suami istri itu pun tertidur hingga esok hari. Bukan lagi terbangun pada pagi hari, tetapi malam hari. Luisa yang lebih dulu bangun dalam keadaan super lemas ditambah perutnya yang keroncongan. Ia menoleh ke samping dan mendapati suaminya pun masih terlelap. Ia berusaha bangun untuk mengisi perut yang kosong. Matanya tentu saja mendelik saat melihat jam dinding berada pada angka tujuh tiga puluh malam. Bukanya ia tidur jam sebelas? Apa jam dindingnya rusak? Luisa mencari di mana letak ponselnya. Ternyata ada di atas meja dekat martabak. Aroma martabak pun terciun tidak enak. Bukannya martabak ini tadinya enak, kenapa jadi bau basi? Luisa meletakkan lagi potongan martabak ke atas piring. Saat Luisa mengecek ponselnya dan melihat tanggal yang tertera di bagian depan layar, barulah ia sadar sudah tidur hampir satu kali dua puluh empat jam. "Mas, bangun! Kita tidur seharian ni! Mas, bangun!" Luisa mengguncang tubuh Edmun hingga pria itu pun terkejut dan langsung bangun duduk. "Eh, kenapa, Luisa?" Edmun menggosok matanya dengan kuat. "Mas, ini kita tidur seharian, hampir dua puluh empat jam. Memangnya Mas gak tahu? Ya ampun!" Luisa berjalan cepat untuk melihat keadaan di luar melalui jendela dan sudah gelap."Bangun, Mas, saya lihat ada apa di dapur yang bisa saya masak. Udah lapar banget." Luisa berjalan cepat keluar dari kamar tanpa mencuci muka. Lalu Edmun hanya bisa menghela napas, gara-gara berbuat curang pada istrinya, ia pun terkena sial. Luisa membuka rice cooker yang ternyata isinya nasi yang basah karena terlalu lama di sana. Kalau harus memasak nasi dulu, maka ia takkan sanggup menunggu. Luisa memutuskan untuk memasak mi rebus dengan telur. Terpaksa karena ini dalam keadaan darurat. Jika mau pesan online pun pasti sama, akan lama sampai di rumah. Edmun menuruni anak tangga dengan tubuh yang segar. Pria itu baru saja mandi. Aroma mi rebus rasa kare membuat perutnya kerocongan, sehingga langkahnya begitu lebar agar segera sampai di meja makan. "Hanya ada ini, Mas. Nasinya basah. Kita kelamaan tidur. Ayo, makan dulu!" "Gak papa, Luisa, sekali-kali tidur lebih dari yang biasanya," ujar Edmun sambil tertawa pendek. "Tapi aneh, Mas. Ini tuh aneh. Tidurku rasanya nyenyak banget." Luisa menyantap mi rebus dengan antusias. Bahkan lidahnya mampu merasai panas mi dengan biasa saja. "Hei, pelan-pelan makannya! Lidah kamu nanti luka, Sayang. Kalau luka, kita gak bisa kissing," goda Edmun sambil menggesekkan kaki kanannya pada kaki Luisa dari bawah meja. Luisa melotot manja dengan wajah merona. Wanita itu tidak tahu, bahwa suaminya harus menjaganya agar tidak lecet atau cacat sedikit pun sebelum tidur dengan bos yang menginginkan istrinya. ***Dua hari berlalu, Bik Noni sudah kembali dan hal itu sangat disyukuri oleh Luisa. Mulutnya yang sariawan membuat tubuhnya sedikit meriang dan tidak semangat mau melakukan apapun. Termasuk bercumbu dengan suaminya. "Saya ingin kamu membawa Luisa malam ini ke apartemen yang sudah saya berikan alamatnya.""Bos, mohon maaf, Luisa sedang sariawan. Apa tidak bisa menunggu sampai Luisa sembuh?"Send"Kemarin ketiduran, sekarang sariawan, besok apa lagi? Saya tidak mau tahu, malam ini kamu harus bawa Luisa ke apartemen saya. Kuncinya bisa kamu ambil di resepsionis."Edmun berbalik saat tubuhnya dipeluk dari belakang oleh sang Istri. Wajahnya mendadak pucat, dengan air liur yang susah payah ia telan. Apa Luisa mendengar percakapannya tadi? "Kamu bicara dengan siapa, Mas?" tanya Luisa tanpa melepas pelukannya. "Kenapa tadi aku seperti mendengar ada namaku disebut?""Sayang, mm... aku punya sesuatu untuk kamu. Waktu itu, aku ketemu teman SMA yang udah lama banget gak jumpa. Dia kuliah di luar negeri dan sudah jadi dokter. Aku cerita masalah kita yang belum dikasih keturunan. Nah, sama dia, aku dikasih vitamin ini dan katanya harus diminum suami istri. Ini, coba minum! Kita harus usaha lebih giat lagi agar segera punya anak. Nambah anak nambah rejeki kalau kata orang tua dulu, makanya rejeki kita seret, bisa jadi karena kita belum punya anak. Ini, minum!" Luisa hendak menghindar, tetapi tidak bisa. Suaminya sudah memasukkan obat tablet itu ke dalam mulutnya. Bahkan Edmun juga mengambilkan air untuk Luisa agar obat itu segera larut di dalam tubuhnya. "Kamu jadinya maksa, Mas! Awas loh, jangan sampai kita salah minum obat!" Luisa mengambil air putih lebih banyak, lalu meneguk nya sampai habis. "Gak mungkin salah, Sayang, ini tuh vitamin herbal yang dijadikan tablet biar lebih mudah minumnya. Ya sudah, saya pergi dulu ya. Mau janjian sama teman bis
"Luisa, kamu di mana?""Aku di rumah, Mas. Mau ke mana lagi kalau bokek gini?""Aku mau minta tolong pendapat kamu, Sayang. Aku ceritanya mau bantu jualin apartemen temen. Nah, si pembeli ini mau nikah dan apartemen ini mau dikasih ke calon istrinya. Aku butuh kamu untuk cek ricek apartemen ini karena kamu kan perempuan, istri, jadi tahu kurangnya di mana. Nanti malam aja gak papa, habis magrib aku pesanan taksi online, kamu ke sini ya.""Serius hanya itu?""Iya, hanya minta pendapat saja. Kalau deal, lumayan fee-nya, Sayang. Mau ya?"Luisa menghela napas. "Ya sudah, habis magrib aku siap-siap.""Baik, Sayang, terima kasih. Aku kerja lagi ya."Luisa menutup panggilan telepon dari Edmun. Ia sangat prihatin dengan suaminya yang saat ini bekerja apa saja demi bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dengan menjadi makelar. Apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya dan bagaimana bisa utang begitu banyak diluaran sana? Batin Luisa terus bertanya. Nanti malam, saat ia bertemu suaminya,
"Nyonya, saya dengar, pria itu sedang terbelit utang milyaran," ujar seorang pria muda pada majikannya. Wanita yang tengah fokus di depan laptop itu, langsung menoleh dengan alis terangkat. "Kamu yakin?" tanyanya lagi. Pemuda di depannya mengangguk. "Showroom mobil di Pondok Indah sudah tutup dan mobil yang ada di rumahnya pun tidak ada. Beberapa kali saya mengintai, suami istri keluar dengan ojek online dan juga taksi online. Hanya pembantunya saja yang keluar dengan sepeda." Wanita itu berdiri dari duduknya, lalu berjalan hingga sampai di depan meja. Bokongnya yang seksi ia sandarkan di pinggir meja dengan tangan melipat di dada. "Cari informasi apa yang terjadi sebenarnya dengan Edmun. Saya akan berikan bonus kalau kabarnya baik untuk saya. Pantas saja ibunya meminjam uang pada saya, padahal waktu dulu, ibunya tidak begitu suka dengan saya. Sepertinya keadaan berbalik." Wanita itu tertawa. Lalu dengan gerakan tangannya meminta asisten yang ia beri tugas mengikuti Edmun dan istri
Luisa merasa aneh dengan dirinya. Rasanya ia seperti baru saja tidur yang sangat lama. Perasannya sama persis dengan waktu itu ia tertidur dari malam sampai malam lagi bersama suaminya. Wanita itu membuka mata perlahan dan mendapati dirinya hanya memakai selimut saja. Tubuh di balik selimut itu tidak memakai apapun. Mata mendelik kaget karena merasakan keanehan pada dirinya. Bagaimana bisa ia tanpa busana di atas ranjang utama? Di mana suaminya? Kenapa hanya ia sendiri saja di kamar sebesar ini? Batin Luisa berkecamuk. "Sayang😌, Edmun!" Teriak Luisa ketakutan. Ia ingin bergerak, tetapi tenaganya masih lemas dan bagian kewanitaannya juga terasa kebas. "Mas! Halo!" Teriak Luisa lagi semakin ketakutan. Kepalanya mencoba mengingat kejadian apa yang ia lalui sebelum ia ada di ranjang. Terakhir suaminya pergi sebentar untuk membeli obat, lalu dirinya ditinggal bersama pemilik apartemen bernama Levi. CklekLuisa menoleh kaget saat pintu terbuka. Namun, saat itu juga napasnya yang sempat
Tidak seperti biasanya, malam ini Edmun tidak bisa menelan nasi yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Semua itu karena ancaman Levi. Seharusnya ia tidak perlu khawatir tentang hal itu, karena tidak mungkin juga Levi mengecek setiap hari apakah ia bercumbu dengan istrinya atau tidak, tetapi jika berurusan dengan Levi. Apa yang ia katakan, pasti akan ia buktikan. Tidak pernah main-main untuk urusan bisnis, apalagi menyangkut utang milyaran. "Makanan ini enak banget. Kamu katany gak punya duit, Mas, kenapa bisa memesan makanan mahal dan enak seperti ini?" tanya Luisa sambil tersenyum, meskipun di hatinya begitu penuh dengan tanda tanya. "Ini dikasih tetangga sebelah kiri, dia ulang tahun pernikahan. Mungkin ia mengira kita adalah pemilik tempat ini. Namanya rejeki, tidak mungkin aku tolak kan? Apalagi kamu memang sedang lapar. Ya sudah, makan yang banyak, setelah ini kita pulang!" Edmun berusaha keras men langsung nasinya, sampai seperti orang tercekik. Luisa yang terlalu asik makan mak
"Langsung saja, Cris, apa maksud kamu mengundangku ke sini?" tanya Edmun tanpa berbasa-basi. Wanita yang baru saja menaruh dua cangkir teh di atas meja itu tertawa pendek. Ia duduk dengan kaki kanan naik ke paha kiri, sehingga kain kimono yang barbahan satin itu melayang jatuh menggantung di paha kanan dan terpampanglah kulit pahanya yang putih menggoda. Edmun menahan napas, mengatur detak jantungnya yang tidak karuan. Di saat ia tidak boleh menyentuh sang Istri, disaat itu pula Cristy seperti sedang memancingnya. "Aku minum dulu." Edmun mengambil cangkir teh yang ada di depannya sebagai bentuk pengalihan rasa gugup. Teh hangat itu ia cicipi perlahan karena masih sedikit panas. Namun, karena Cristy terus saja menatapnya, meskipun teh itu panas, ia tetap menyesapnya hingga setengah. Cristy bersorak dalam hati. Ia bangun dari duduknya, berjalan menuju lemari nakas yang ada di ruang tamu. Dengan kunci yang menggantung di dinding, ia buka lemari untuk mengeluarkan satu buah map. Wanita
Luisa tentu saja merasa tersinggung dengan perkataan mertuanya. Ia dan Edmun menikah bukan baru sebentar, tetapi sudah dua tahun lebih tiga bulan. Banyak suka yang mereka lewati bersama, bahkan saat mereka banjir rejeki dan memutuskan untuk liburan ke Turki, mertuanya pun diajak. Baru bulan inilah suaminya mengalami kesulitan ekonomi dan mertuanya sudah ingin mencarikan madu untuknya? Luisa mengepalkan tangan dengan kuat. Ia tidak terima jika sampai Edmun benar-benar melakukan apa yang barusan mamanya katakan. Suaminya juga belum pulang dan tidak tahu ke mana. Ponsel tidak aktif dan pesan WA sejak kemarin hanya ceklis satu saja. Di satu sisi ia khawatir akan keadaan suaminya yang belum pernah seperti ini. Paling tidak, jika pulang larut atau pulang pagi, Edmun selalu memberi kabar. "Bik, saya keluar dulu ya." Luisa sudah rapi dengan rok pendek, meskipun tidak terlalu tinggi hingga hampir semua kulit pahanya terlihat. "Mau ke mana, Non?" tanya Bik Noni yang sedang menyapu halaman r
Luisa menangis sambil memeluk tubuhnya dengan selimut. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya sehingga ia seperti orang gila yang membutuhkan sentuhan. Jika tidak segera mendapatkan apa yang diteriakkan oleh sel darah dalam badannya, pastilah ia benar-benar menggelepar. Apa yang terjadi padanya pun ia tidak mengerti? Lalu, setelah semuanya terjadi, apa yang harus ia lakukan? Ia sudah tidak ada harga dirinya sebagai istri dan juga wanita. Ia sudah menodai cinta dan janji suci pernikahannya. Pintu terbuka, Luisa mendapati Levi; pria dewasa yang membantunya membebaskan rasa panas dalam badan. Pria itu bertelanjang dada, hanya menggunakan handuk yang melilit pinggang hingga betisnya. Luisa baru sadar, mereka ada di apartemen pria itu. Levi membawakan nampan berisi teh dan juga seperti piring kecil berisi potongan kue. "Pak Levi, s-saya." Luisa tergagap. "Sudah, jangan menyalahkan dirimu. Ini, minum dulu." Levi mengulurkan cangkir teh pada Luisa, tetapi wanita itu enggan. Ia mengg