Luisa sudah di rumah sejak pukul tujuh malam. Gaji Bik Noni sudah ia berikan dan Bik Noni ijin pulang kampung untuk dua hari. Memang sudah menjadi kebiasaannya, setelah menerima gaji, makan akan ijin selama dua hari untuk melihat anaknya di kampung yang masih berusia enam tahun.
Sekarang hanya dirinya saja yang berada di rumah besar, duduk di ranjang sambil menyalakan TV. Ia sama sekali tidak berani keluar kamar jika tidak ada Bik Noni di rumah ataupun suaminya. Acara yang ia lihat juga acara discovery Channel tentang hewan. Jika menonton drama Korea, ia akan mudah baper, kalau nonton horor, ia akan semakin mati ketakutan di rumah, jika nonton kartun, maka rasa pesimis nya kembali datang. Kenapa? Karena sekian tahun menikah, ia belum juga mendapatkan keturunan dari Edmun. Suara motor berhenti di depan rumahnya. Luisa turun dari tempat tidur, kemudian berjalan ke arah jendela untuk melihat apakah benar motor itu berhenti di depan rumahnya. Rasa was-was itu pasti ada, apalagi ia sendirian saja di rumah. "Huft, akhirnya pulang juga." Luisa menghela napas. Ia keluar kamar dan menuruni anak tangga satu per satu dengan hati-hati. Pintu pagar memang tadi tidak ia kunci, sehingga suaminya bisa masuk, tetapi ia mengunci pintu utama rumah. Tok! Tok! "Iya, Mas, sebentar!" Seru Luisa dengan langkah lebarnya. Anak kunci itu ia putar dua kali. Edmun tersenyum sangat manis pada istrinya, tentu saja sambil membawakan bungkusan makanan. "Darimana saja, Mas? Udah malam banget baru pulang," tanya Luisa sembari memberikan kunci pagar pada Edmun. Pria itu hanya tersenyum, lalu pergi ke depan untuk mengunci pagar. Luisa membaui aroma bungkusan yang dibawa suaminya. "Makanan kesukaan kamu." Edmun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur. "Terima kasih, Mas." Luisa tersenyum senang. Ia menyusul suaminya ke dapur untuk mengambil air dan menyalin martabak ke dalam piring. Namun, Edmun sudah lebih dulu meneguk dua gelas air putih dingin sambil berdiri. "Sayang, aku lelah sekali hari ini. Habis mandi, pijat ya. Nanti gantian, aku yang pijat kamu. Jangan lupa bawakan teko air ke atas biar kita gak bolak-balik turun. Bik Noni pulang kampungkan?" Edmun sudah membuka bajunya, lalu ia masukkan ke dalam keranjang cucian. "Iya, Mas, naik duluan deh. Biar saya matikan lampu.""Naik sama-sama saja. Nanti kalau kamu bawa air naik ke atas dalam keadaan gelap-gelapan, malah kesandung. Sini, biar aku yang bawa tekonya deh, kamu bawa gelas dan martabaknya, sekalian matikan lampu." Luisa mengangguk paham. Ia tersenyum melihat suaminya yang hari ini sudah baik-baik saja. Apakah urusannya di luaran sana sudah selesai? Luisa menunggu suaminya sampai selesai mandi, barulah ia menyantap martabak yang sudah sangat menggoda lidahnya itu. "Urusan kamu sudah beres, Mas?" tanya Luisa begitu suaminya duduk di depannya sambil mengambil sepotong martabak keju coklat itu. "Belum, tetapi ada orang yang bisa bantu suamimu ini, jadi sedikit lebih tenang." Edmun tersenyum tipis. "Papa ya? Papa pinjamkan uang seratus lima puluh sama kamu. Kamu bilangnya untuk urusan bisnis dan uang belanja aku. Sekarang mana uangnya? Aku gak punya uang nih. Paling gak, gantiin uang gajian Bik Noni." Luisa merengek sambil memperlihatkan wajah memelasnya. "Ada, uang dari dompet kamu nanti Mas gantiin. Doakan saja perlahan urusan kita beres, sehingga mobil, brangkas dan isinya bisa kembali pada kita. Ah, ya ampun, tolong ambilkan dulu ponselku yang tertinggal di kamar mandi!" Pinta Edmun. Luisa mengangguk, menuruti perintah suaminya dan disaat itulah Edmun membuka dua kapsul obat tidur dan langsung ia masukkan ke dalam gelas Luisa. Tepat di saat yang bersamaan, Luisa keluar dari kamar mandi sambil menenteng ponsel suaminya yang setengah basah. "Ponsel kamu nanti rusak loh, Mas. Kebiasaan banget ke kamar mandi bawa HP." Luisa kembali mengambil potongan demi potongan martabak tadi hingga ia merasa perutnya kenyang. Tanpa rasa curiga sama sekali, ia minum air putih dari gelasnya. Tentu saja Edmun menghela napas lega, tinggal menunggu beberapa menit lagi agar efek obat itu bekerja. Luisa menguap. "Mas, kayaknya saya gak bisa pijitin kamu, Mas, udah ngantuk banget." Luisa bangun dari duduknya untuk berjalan ke tempat tidur. Wanita itu menghempaskan tubuhnya karena matanya sudah sangat mengantuk. Edmun membiarkan Luisa benar-benar pulas terlebih dahulu, baru ia ambil foto naked sang Istri. Luisa sudah tidak memakai pakaian apapun. Pose telentang dan pose miring di atas ranjang sudah dipotret oleh Edmun. Bagian dada dan juga area intim sempat di-zoom oleh Edmun, barulah ia menekan tombol kamera. Lekas ia mengirimkan empat foto tersebut pada bosnya. Kerja bagus, Edmun. Bunga utang kamu lunas. Tersisa utang pokok saja. Kamu harus bisa bikin Luisa tidur denganku, kalau tidak, foto ini akan tersebar ke penjuru negeri.Kring! Kring! Edmun terkejut saat sering ponselnya begitu nyaring, karena saat ini ia baru selesai memakaikan celana piyama istrinya, sedangkan bagian atas masih polos. Segera ia lompat dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang berdering itu. Nama mamanya muncul di layar. "Ma, lima menit lagi teleponnya. Saya sibuk."Edmun memutus telepon, menggantikan pengaturan sering dengan pengaturan senyap. Lalu ia kembali naik ke ranjang untuk memasangkan piyama sang Istri bagian atas. Jangan ditanya bagaimana detak jantungnya saat ini? AC yang dipasang 18° saja masih bisa membuatnya berkeringat. Ia benar-benar gugup, khawatir istrinya bangun dalam keadaan polos. Gelas di atas meja ia raih dengan asal, lalu ia habiskan isinya untuk membasahi tenggorokannya. "Halo, Ma, kenapa?""Edmun, Luisa bilang tidak kalau Mama butuh uang lima puluh?""Bilang, Ma, tapi saya lagi gak ada uang. Coba Mama tanyakan Mba Ratih, kali aja Mbak Ratih atau suaminya punya.""Kamu itu lucu, Ratih itu makan uang s
"Sayang, mm... aku punya sesuatu untuk kamu. Waktu itu, aku ketemu teman SMA yang udah lama banget gak jumpa. Dia kuliah di luar negeri dan sudah jadi dokter. Aku cerita masalah kita yang belum dikasih keturunan. Nah, sama dia, aku dikasih vitamin ini dan katanya harus diminum suami istri. Ini, coba minum! Kita harus usaha lebih giat lagi agar segera punya anak. Nambah anak nambah rejeki kalau kata orang tua dulu, makanya rejeki kita seret, bisa jadi karena kita belum punya anak. Ini, minum!" Luisa hendak menghindar, tetapi tidak bisa. Suaminya sudah memasukkan obat tablet itu ke dalam mulutnya. Bahkan Edmun juga mengambilkan air untuk Luisa agar obat itu segera larut di dalam tubuhnya. "Kamu jadinya maksa, Mas! Awas loh, jangan sampai kita salah minum obat!" Luisa mengambil air putih lebih banyak, lalu meneguk nya sampai habis. "Gak mungkin salah, Sayang, ini tuh vitamin herbal yang dijadikan tablet biar lebih mudah minumnya. Ya sudah, saya pergi dulu ya. Mau janjian sama teman bis
"Luisa, kamu di mana?""Aku di rumah, Mas. Mau ke mana lagi kalau bokek gini?""Aku mau minta tolong pendapat kamu, Sayang. Aku ceritanya mau bantu jualin apartemen temen. Nah, si pembeli ini mau nikah dan apartemen ini mau dikasih ke calon istrinya. Aku butuh kamu untuk cek ricek apartemen ini karena kamu kan perempuan, istri, jadi tahu kurangnya di mana. Nanti malam aja gak papa, habis magrib aku pesanan taksi online, kamu ke sini ya.""Serius hanya itu?""Iya, hanya minta pendapat saja. Kalau deal, lumayan fee-nya, Sayang. Mau ya?"Luisa menghela napas. "Ya sudah, habis magrib aku siap-siap.""Baik, Sayang, terima kasih. Aku kerja lagi ya."Luisa menutup panggilan telepon dari Edmun. Ia sangat prihatin dengan suaminya yang saat ini bekerja apa saja demi bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dengan menjadi makelar. Apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya dan bagaimana bisa utang begitu banyak diluaran sana? Batin Luisa terus bertanya. Nanti malam, saat ia bertemu suaminya,
"Nyonya, saya dengar, pria itu sedang terbelit utang milyaran," ujar seorang pria muda pada majikannya. Wanita yang tengah fokus di depan laptop itu, langsung menoleh dengan alis terangkat. "Kamu yakin?" tanyanya lagi. Pemuda di depannya mengangguk. "Showroom mobil di Pondok Indah sudah tutup dan mobil yang ada di rumahnya pun tidak ada. Beberapa kali saya mengintai, suami istri keluar dengan ojek online dan juga taksi online. Hanya pembantunya saja yang keluar dengan sepeda." Wanita itu berdiri dari duduknya, lalu berjalan hingga sampai di depan meja. Bokongnya yang seksi ia sandarkan di pinggir meja dengan tangan melipat di dada. "Cari informasi apa yang terjadi sebenarnya dengan Edmun. Saya akan berikan bonus kalau kabarnya baik untuk saya. Pantas saja ibunya meminjam uang pada saya, padahal waktu dulu, ibunya tidak begitu suka dengan saya. Sepertinya keadaan berbalik." Wanita itu tertawa. Lalu dengan gerakan tangannya meminta asisten yang ia beri tugas mengikuti Edmun dan istri
Luisa merasa aneh dengan dirinya. Rasanya ia seperti baru saja tidur yang sangat lama. Perasannya sama persis dengan waktu itu ia tertidur dari malam sampai malam lagi bersama suaminya. Wanita itu membuka mata perlahan dan mendapati dirinya hanya memakai selimut saja. Tubuh di balik selimut itu tidak memakai apapun. Mata mendelik kaget karena merasakan keanehan pada dirinya. Bagaimana bisa ia tanpa busana di atas ranjang utama? Di mana suaminya? Kenapa hanya ia sendiri saja di kamar sebesar ini? Batin Luisa berkecamuk. "Sayang😌, Edmun!" Teriak Luisa ketakutan. Ia ingin bergerak, tetapi tenaganya masih lemas dan bagian kewanitaannya juga terasa kebas. "Mas! Halo!" Teriak Luisa lagi semakin ketakutan. Kepalanya mencoba mengingat kejadian apa yang ia lalui sebelum ia ada di ranjang. Terakhir suaminya pergi sebentar untuk membeli obat, lalu dirinya ditinggal bersama pemilik apartemen bernama Levi. CklekLuisa menoleh kaget saat pintu terbuka. Namun, saat itu juga napasnya yang sempat
Tidak seperti biasanya, malam ini Edmun tidak bisa menelan nasi yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Semua itu karena ancaman Levi. Seharusnya ia tidak perlu khawatir tentang hal itu, karena tidak mungkin juga Levi mengecek setiap hari apakah ia bercumbu dengan istrinya atau tidak, tetapi jika berurusan dengan Levi. Apa yang ia katakan, pasti akan ia buktikan. Tidak pernah main-main untuk urusan bisnis, apalagi menyangkut utang milyaran. "Makanan ini enak banget. Kamu katany gak punya duit, Mas, kenapa bisa memesan makanan mahal dan enak seperti ini?" tanya Luisa sambil tersenyum, meskipun di hatinya begitu penuh dengan tanda tanya. "Ini dikasih tetangga sebelah kiri, dia ulang tahun pernikahan. Mungkin ia mengira kita adalah pemilik tempat ini. Namanya rejeki, tidak mungkin aku tolak kan? Apalagi kamu memang sedang lapar. Ya sudah, makan yang banyak, setelah ini kita pulang!" Edmun berusaha keras men langsung nasinya, sampai seperti orang tercekik. Luisa yang terlalu asik makan mak
"Langsung saja, Cris, apa maksud kamu mengundangku ke sini?" tanya Edmun tanpa berbasa-basi. Wanita yang baru saja menaruh dua cangkir teh di atas meja itu tertawa pendek. Ia duduk dengan kaki kanan naik ke paha kiri, sehingga kain kimono yang barbahan satin itu melayang jatuh menggantung di paha kanan dan terpampanglah kulit pahanya yang putih menggoda. Edmun menahan napas, mengatur detak jantungnya yang tidak karuan. Di saat ia tidak boleh menyentuh sang Istri, disaat itu pula Cristy seperti sedang memancingnya. "Aku minum dulu." Edmun mengambil cangkir teh yang ada di depannya sebagai bentuk pengalihan rasa gugup. Teh hangat itu ia cicipi perlahan karena masih sedikit panas. Namun, karena Cristy terus saja menatapnya, meskipun teh itu panas, ia tetap menyesapnya hingga setengah. Cristy bersorak dalam hati. Ia bangun dari duduknya, berjalan menuju lemari nakas yang ada di ruang tamu. Dengan kunci yang menggantung di dinding, ia buka lemari untuk mengeluarkan satu buah map. Wanita
Luisa tentu saja merasa tersinggung dengan perkataan mertuanya. Ia dan Edmun menikah bukan baru sebentar, tetapi sudah dua tahun lebih tiga bulan. Banyak suka yang mereka lewati bersama, bahkan saat mereka banjir rejeki dan memutuskan untuk liburan ke Turki, mertuanya pun diajak. Baru bulan inilah suaminya mengalami kesulitan ekonomi dan mertuanya sudah ingin mencarikan madu untuknya? Luisa mengepalkan tangan dengan kuat. Ia tidak terima jika sampai Edmun benar-benar melakukan apa yang barusan mamanya katakan. Suaminya juga belum pulang dan tidak tahu ke mana. Ponsel tidak aktif dan pesan WA sejak kemarin hanya ceklis satu saja. Di satu sisi ia khawatir akan keadaan suaminya yang belum pernah seperti ini. Paling tidak, jika pulang larut atau pulang pagi, Edmun selalu memberi kabar. "Bik, saya keluar dulu ya." Luisa sudah rapi dengan rok pendek, meskipun tidak terlalu tinggi hingga hampir semua kulit pahanya terlihat. "Mau ke mana, Non?" tanya Bik Noni yang sedang menyapu halaman r