Daniel terus menatap Naura tanpa berkedip.
Saat tatapan keduanya beradu, Naura buru-buru memalingkan pandangannya ke arah lain. Hal yang terjadi antara Naura dan Daniel tak luput dari tatapan tajam Sania, saat dia senang berbicara dengan rektor. Naura memilih menunduk. Setelah 10 menit terlibat dalam perbincangan serius, Sania berjabat tangan dengan rektor. Sania sendiri memeprkenapkan dirinya sebagai asisten pribadi ibu kandung Naura, setelah berdiskusi panjang dengan Helena. Akhirnya sudah diputuskan. Awalnya Helena berniat untuk menjadi wali Naura, tapi takutnya hal itu akan menjadi hal yang mengguncang negeri ini. Para wartawan tentu senang karena mendapatkan banyak bahan, bahkan hidup Naura tidak akan tentram karena terlibat hubungan dengan keluarga Liam Arnold. Lalu dia berjabat tangan dengan Daniel tapi tatapannya berubah dingin. Melihat itu, Daniel malah salah paham. Ia mengira respon Sania karena Naura banyak sekali mengatakan hal buruk pada ibunya, jadi ibu kandung Naura menyuruh asistennya untuk bersikap dingin padanya. Awalnya Daniel yang terpesona dengan kecantikan Naura merasa tidak asing dengan wajahnya. Tapi, setelah mendengar nama lengkapnya yaitu Naura Serene. Daniel yakin, jika gadis ini memanglah Naura pacarnya. "Pak Anton, saya harap bapak bisa menjaga putri atasan saya dengan baik." "Nyonya Karina memindahkan putrinya ke kelas terbaik agar putrinya bisa fokus kuliah." "Bahkan beliau berpesan agar Pak Rektor mengawasi putrinya dan sebisa mungkin Nona Naura tidak boleh berpacaran dengan siapa-pun di universitas ini!" saat mengatakan hal itu, ekspresi Sania terlihat jauh lebih dingin, bahkan ia terlihat melirik ke arah Daniel. Rektor itu tentu saja tahu, hubungan Naura dan Daniel. Ia hanya bisa mengelap keringatnya, karena takut akan membuat calon investor marah. Semua orang tahu, hubungan Daniel tiga tahun lalu dengan Naura, tapi memang setelah satu tahun kebelakang ini Naura memang sangat jauh dengan Daniel. Anton melirik ke arah Daniel, Daniel menjawab dengan anggukan. "Baik ibu Sania, saya akan menjaga Naura dengan baik." Anton menghela napas sbentar, lalu dia melanjutkan ucapannya. "Untuk modal yang ingin di tanamkan atasan Anda, rencananya akan di berikan kapan?" Tanya Anton. "Besok, saya akan kesini lagi dengan pengacara pribadi Nyonya Karina," sahut Sania. Anton mengangguk. Lalu Sania pamit. Anton bersikap jauh lebih lembut kepada Naura dan mengantarnya untuk masuk kedalam kelas tipe A 1. Sementara Laura berada dikelas tipe A 2. Sebelum Naura memperkenalkan dirinya didepan kelas, semua murid memandangnya dengan tatapan penuh kekaguman. Bahkan mereka semua tersenyum hangat ke arahnya. Sampai pada, "Perkenalkan, nama saya Naura Serene pindahan dari kelas tipe D 5." Ekspresi kekecewaan langsung terlihat jelas dari semua orang, tapi Naura yang sudah mendapatkan wejangan dari Sania agar jangan terus bersikap rendah hati dan berubah sombong. Akhirnya ia tersenyum miring. "Pak Anton, semua bangku dikelas ini sepertinya kosong. Saya harus meminta ibu saya untuk pindah kampus saja dari sini dan menarik investasinya." Ucapan Naura langsung membuat semua murid tercengang. Sementara Anton nampak ketakutan langsung menyenggol tubuh Roni (guru kesenian) yang berdiri membeku. Roni adalah guru lukis yang sering mematahkan perasaan Naura. "Naura kamu mau duduk dibangku mana, biar bapak bantu!" ucap Roni, suaranya terdengar sedikit lembut. Awalnya Naura masih merasa takut, untuk menindas orang yang dulu menindasnya. Tapi ... Akhirnya dia menyadari, ada benarnya ucapan dari Sania. Akhirnya Naura memilih bangku Arina, murid paling kaya dikelas. Anton menyipitkan matanya, tapi mengingat Sania yang akan berinvestasi banyak. Anton memilih menyuruh Roni untuk menyerahkan bangku Arina pada Naura. "Apa yang terjadi?" Beberapa pertanyaan sama yang keluar dari mulut para murid. Naura duduk dengan rasa puas. Baru kali ini, Naura benar-benar merasakan hal yang dinamakan kampus. Kelas sunyi dan tidak berisik, ditambah dengan teknologi canggih yang sudah tersedia dikelas. Penjelasan para dosen yang mengajar pun semakin jelas. Selang 4 jam, akhirnya kelas pun selesai. Dan para murid diperbolehkan untuk pulang, karena hari ini ada rapat dadakan yang diadakan oleh para dosen. Naura memilih menghubungi Sania untuk menjemputnya, lewat ponsel baru yang tadi pagi diberikan. Tiba-tiba ada sebuah pesan dari seseorang dengan nama "Suamiku". Naura bingung, tapi dia membuka pesan itu. "Bagaimana dengan kampus hari ini?" "Kalau ada orang yang menyakitimu jangan ragu katakan padaku malam ini, karena kita akan bertemu lagi." "Naura Serene, aku merindukanmu." Naura mengedip-ngedipkan bola matanya berkali-kali, bahkan jantungnya terasa seperti berhenti berdetak seketika. "Bertemu lagi ..." gumam Naura, dia nampak berpikir keras. "Jangan ... Jangan setiap malam orang yang menemuiku adalah Liam dan dia berubah jadi hantu ... " gumaman Naura terhenti kala Daniel menemuinya dikelas. Naura malah teringat akan wejangan Helena dan Sania tentang lawan jenis, dia ingin menghindar dan kabur. Tapi Daniel malah memegang pergelangan tangannya. Tiba-tiba ....Naura melangkah cepat meninggalkan keramaian pesta jamuan bisnis yang penuh dengan suara tawa dan percakapan berbisik. Apalagi di tambah dengan pertengkaran yang dilakukan oleh Liam dan Steven, ia merasa seperti tidak mempunyai ruang Nafasnya terasa sesak, seolah udara di dalam ruangan itu berubah menjadi beku yang mengekang pikirannya. Ia mencari udara segar di teras, berharap bisa meredakan kegelisahan yang merayap di dadanya. Mengingat jika sekarang dirinya sedang hamil, seringkali merasa moodnya sering berubah. Tiba-tiba, sebuah dorongan keras membuat tubuh Naura kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung dan terjatuh ke arah kolam renang yang ada di samping taman belakang. Mata Naura melebar, jantungnya berdegup kencang saat ia menoleh dan melihat Laura berdiri dengan senyum sinis di bibirnya. Seketika Daniel muncul dari balik kerumunan dengan langkah tegap dan mata yang menyala penuh tekad. Ia melangkah cepat ke arah Naura yang hampir terjerembab ke air. Tanpa
"Kamu mengenal istri Liam?" celetuk Victor dengen nada sedikit terkejut, tapi ntah kenapa ia merasa jika hubungan Steven dengan Naura tidak sesederhana itu. Steven diam, ia berharap Naura menanggapi ucapannya. Saat ingin menanggapi ucapan Steven, Victor sudah menyela ucapannya. "Kalau kalian mengenalnya, Tapi kenapa kalian berdua tidak memperkenalkannya padaku?" tegur Victor dengen suara pura-pura kesal. Walaupun ia sudah pernah mendengar rumor pernikahan Liam, tapi itu hanya rumor, tentu saja ia ingin tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Liam dan Steven sama-sama diam, tdiak menangapi ucapan Victor. Lalu tatapan Liam menatap tajam ke arah Steven, "Bagaimana pun juga Naura istriku, bahkan dia juga sedang hamil anakku. Aku nggak akan pernah berniat untuk menceraikannya." Victor memegang dadanya terkejut, ia menatap Liam dengan tatapan bingung penuh tanda tanya. "Naura sudah hamil empat bulan sekarang, dan selama kehamilannya kamu selalu bersama dengan Kanaya." sah
"Rencana?" tanya Laura pura-pura. Daniel sontak Laura dengan tatapan tajam, wajahnya bahkan berubah merah padam. Ia sudah tidak bersikap sungkan lagi pada gadis jahat itu. "Sekarang simpan saja aktingmu itu untuk orang lain, kesedihanmu sama sekali tidak berpengaruh padaku." "Sekarang aku memberikan waktu padamu selama sebulan, Naura harus sudah bisa berada di sisiku. Kalau tidak jangan harap kamu masih bisa jadi mahasiswa di kampusku, dan keluarga Alfa mu bisa keluar dari krisis kebangkrutan." ancam Daniel. Laura menatap Daniel, matanya yang biasanya tenang kini menyimpan bara amarah yang sulit disembunyikan. Apalagi saat melihat Daniel memalingkan pandangannya dari dirinya dan menatap ke arah Naura dengan penuh kelembutan. Dalam hatinya, suara kecil itu mengumpat tajam, "Bukankah dulu kak Daniel begitu perhatian padaku? Kenapa sekarang dia malah mengejar Naura? Apa istimewanya Naura sampai-sampai harus dilirik lagi, padahal dia sudah punya suami?" Tatapan Laura ta
Steven tidak memperdulikan ucapan sahabatnya, wajahnya sekarang ini nampak masam. Ibunya sekarang khawatir, "Steven, ibu nggak bisa membantumu. Bagaimana pun juga, kita nggak bisa menyinggung keluarga Arnold." Solar Alan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia juga tidak bisa memaksa putranya menikah dengan wanita lain. Mengingat orang yang patah hati, bisa melakukan hal yang sangat kejam tanpa berpikir dulu. Bagaimana pun juga, Steven adalah putra tunggalnya. Mengingat selama ini juga putranya tidak pernah suka atau pun jatuh cinta pada siapapun. Steven tetap diam, tidak pernah menanggapi ucapan ibunya. "Steven ... " Solar memegang lembut pergelangan tangan anaknya. Tapi, Steven malah menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. "Kenapa sekarang ini cerewet sekali? Kalau ibu menyuruhku menyerah, itu nggak akan pernah mungkin terjadi." ujar Steven. Ibunya hanya bisa menggelengkan kepalanya, menatap putranya dengan sedih. "Apakah ibu lupa? Kalau gadis itu a
Naura membuka matanya perlahan saat sebuah sentuhan lembut menyapu pipinya. Kedua tangannya seketika berhenti, matanya melebar penuh kebingungan saat menyadari ada dua wanita perias duduk di sisi ranjangnya, sibuk merapikan riasan wajahnya dengan gerakan cekatan dan penuh perhatian. Tatapan Naura melayang mencari-cari sesuatu, lalu bertemu dengan sosok Liam di sudut ruangan yang tampak serius, sibuk berganti-ganti layar ponselnya tanpa menoleh. Perasaan bingung bercampur canggung merayapi hati Naura, hingga Liam akhirnya menoleh dan tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Jamuan bisnis akan dimulai dua jam lagi," ucapnya lembut, menenangkan kebingungan istrinya. Seorang perias dengan suara halus mendekat, "Bisa bangun, nyonya? Kami ingin mulai membuat sanggul agar penampilan anda semakin anggun." Naura mengangguk pelan, tubuhnya bergerak dengan hati-hati saat bangkit dari ranjang. Liam yang menyaksikan itu tertegun, matanya membelalak kagum. Selama ini, ia belum pe
Sore harinya, Helena masuk ke dalam kamar putranya. Disana ia melihat Liam yang sedang memandangi istrinya yang tertidur pulas. "Sekarang apakah kamu menyesal? Karena nggak dengerin ucapanku," celetuk Helena, hal itu sungguh membuat Liam terkejut. Karena ia tidak melihat siluet ibunya saat masuk ke dalam kamarnya. Liam segera mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar kembali, sebenarnya ingin mengakuinya, tapi ia terlalu gengsi. "Nggak ada penyesalan, lagian Naura itu istriku. Dia pasti akan kembali padaku, diperutnya juga ada darah dagingku." Ia terlihat sangat percaya diri. Helena hanya bisa menghembuskan napas kasar, setelah mendengar ucapan putranya. Ia hanya bisa berharap semoga Naura tidak mendengar ucapan Liam. "Terserah kamu-lah. Yang penting ibu sudah mengingatkan mu," sahut Helena tanpa daya, ia ingin keluar tapi malah teringat sesuatu. "Oh ya, ibu sudah memesankan gaun untuk Naura. Ibu mengatakannya karena ingin meminta ijin padamu, untuk mengajak Naura pergi