"Naura apakah seperti ini dirimu tanpa topeng?" ucap Daniel dengan suara dingin.
"Kak Daniel, kamu salah paham ... Aku ... " Belum sempat Naura melanjutkan ucapannya, telepon sudah terputus. Dia limbung terduduk diatas lantai dengan wajah lesu. Air mata terus luruh dan mengalir dari kedua pelupuk matanya. Ntah berapa lama Naura menangis, tapi tiba-tiba ia merasa lapar. Saat matanya menatap ke arah jendela yang ada didalam kamar, hari sudah gelap. Tiba-tiba pintu kamar dibuka, menampilkan Helena yang datang bersama banyaknya pelayan. "Kamu lulus menjadi menantuku? Dan aku akan memberikan uang saku 200 juta perbulan." Ucapan Helena membuat kedua bola mata Naura membelalak, dia yang sulit mempercayai ucapan wanita cantik dihadapannya sampai mencubit pahanya beberapa kali. Helena tersenyum ramah padanya, "Sekarang kamu mandi, lalu makan malam. Karena nanti malam kamu harus menyerahkan tubuhmu lagi untuk penyempurnaan putraku." Walaupun Naura pintar, ucapan Helena terdengar sangat ambigu. Dia tidak mengerti, tapi karena sekarang ini dia sudah tidak memiliki tempat singgah. Penawaran 200 juta perbulan, sungguh sangat menggiurkan. Dia memilih untuk patuh, segera masuk ke dalam kamar mandi. Saat masuk ke dalam kamar mandi, Naura kembali takjub. Saat melihat kamar mandi sangat mewah, bahkan disana sudah disediakan handuk yang diberikan bordir atas namanya. Hati Naura menghangat, karena sejak kepergian ibunya. Tidak ada orang yang memperlakukan dirinya istimewa, termasuk juga Daniel. Daniel hanya memberikan kehangatan semu, nyatanya berpacaran dengannya lebih dari 3 tahun, Daniel sering melupakan janjinya bahkan mengabaikan dirinya. Seperti tiga hari lalu, saat dirinya berulang tahun ke 20 tahun. Daniel menjanjikan akan membawanya melihat matahari terbenam, tapi sampai malam tiba. Pacarnya itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya, bahkan yang lebih memilukan. Daniel malah lebih memilih datang ke pesta ulang tahun Laura yang diadakan disebuah hotel mewah. Daniel hanya mendekatinya saat membutuhkan sosoknya. Mengingat hal itu, hati Naura kembali merasa sakit hati. Tak berselang lama pintu diketuk. Naura yang sudah selesai mandi, buru-buru memakai jubah mandinya. Dia keluar, dan disana dia sudah disambut beberapa orang perias yang duduk didepan kursi make up. Helena tersenyum hangat saat menatapnya, "Tolong nanti malam puaskan putraku lagi!" Naura tecengang mendengar ucapan Helena. Dia memberanikan diri untuk bertanya, "Bukankah Tuan Liam sudah meninggal?" Ekspresi wajah Helena langsung berubah buruk, bahkan langsung menjambak Naura. "Putraku tidak pernah mati, beraninya kamu menanyakan hal itu padaku?" Jantung Naura seperti melompat dari tempatnya, bukankah dari tadi Helena terlihat ramah dan tersenyum padanya. Tapi kenapa bisa berubah tiba-tiba seperti ini, bahkan yang aneh. Naura melihat kedua bola mata Helena berubah menjadi merah darah. Seorang wanita paruh baya dengan baju pelayan mendekat dan menyuntikkan sesuatu ditubuh Helena. Tak berselang lama, Helena pingsan. Beberapa pelayan dengan sigap membopong tubuh Helena. Naura sedikit merasa ngeri. Lamunan Naura tiba-tiba buyar, saat pelayan paru baya yang sebelumnya menyuntikkan sesuatu ke tubuh Helena menghampiri dirinya. "Perkenalkan, nama saya Sania. Saya kepala pelayan di keluarga Arnold." Naura menatap Sania dengan tatapan dalam, dan Sania membalas tatapannya dengan penuh ketulusan. "Kamu nggak perlu takut. Kesehatan Nyonya Helena memang buruk setelah Tuan Liam meninggal dunia, dia hanya seorang ibu yang begitu kehilangan putranya ... " Sania menghentikan ucapannya setelah alaram jamnya berbunyi. Dia menarik pergelangan tangan Naura dengan lembut, menuntunnya untuk duduk dimeja rias. Naura memilih menurut. "Rias dengan cepat, kita sedang dikejar waktu. Karena seharian nona kita sudah berpuasa, dia harus ada waktu untuk makan!" titah Sania pada lima perias yang ada disana. Mereka dengan cekatan menyapukan make up ke wajah Naura yang sebenarnya sangat cantik setelah kaca matanya dilepas. Naura menjadi panik, setelah kaca matanya dilepas. "Tolong bantu pakaikan kaca mata saya lagi, takutnya saya nggak bisa melihat!" "Nona, kamu lebih cantik kalau tanpa kaca mata. Tuan tidak menyukai wanita berkaca mata," ucap Sania dengan nada lembut. "Bahkan selera Tuan Liam untuk seorang wanita sangatlah tinggi!" Naura malah semakin bingung, lantas dia bertanya. "Tuan yang Anda maksud, apakah Tuan Liam?" Sania menjawab wajah serius. "iya." Naura bingung lantas memijat pelipisnya. Karena semua orang dirumah ini mengatakan jika Liam sudah mati, dan sekarang ... Naura merasa bingung. Kalau memang Liam selamat, bukankah harusnya Liam sudah menampakkan batang hidungnya.Naura melangkah cepat meninggalkan keramaian pesta jamuan bisnis yang penuh dengan suara tawa dan percakapan berbisik. Apalagi di tambah dengan pertengkaran yang dilakukan oleh Liam dan Steven, ia merasa seperti tidak mempunyai ruang Nafasnya terasa sesak, seolah udara di dalam ruangan itu berubah menjadi beku yang mengekang pikirannya. Ia mencari udara segar di teras, berharap bisa meredakan kegelisahan yang merayap di dadanya. Mengingat jika sekarang dirinya sedang hamil, seringkali merasa moodnya sering berubah. Tiba-tiba, sebuah dorongan keras membuat tubuh Naura kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung dan terjatuh ke arah kolam renang yang ada di samping taman belakang. Mata Naura melebar, jantungnya berdegup kencang saat ia menoleh dan melihat Laura berdiri dengan senyum sinis di bibirnya. Seketika Daniel muncul dari balik kerumunan dengan langkah tegap dan mata yang menyala penuh tekad. Ia melangkah cepat ke arah Naura yang hampir terjerembab ke air. Tanpa
"Kamu mengenal istri Liam?" celetuk Victor dengen nada sedikit terkejut, tapi ntah kenapa ia merasa jika hubungan Steven dengan Naura tidak sesederhana itu. Steven diam, ia berharap Naura menanggapi ucapannya. Saat ingin menanggapi ucapan Steven, Victor sudah menyela ucapannya. "Kalau kalian mengenalnya, Tapi kenapa kalian berdua tidak memperkenalkannya padaku?" tegur Victor dengen suara pura-pura kesal. Walaupun ia sudah pernah mendengar rumor pernikahan Liam, tapi itu hanya rumor, tentu saja ia ingin tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Liam dan Steven sama-sama diam, tdiak menangapi ucapan Victor. Lalu tatapan Liam menatap tajam ke arah Steven, "Bagaimana pun juga Naura istriku, bahkan dia juga sedang hamil anakku. Aku nggak akan pernah berniat untuk menceraikannya." Victor memegang dadanya terkejut, ia menatap Liam dengan tatapan bingung penuh tanda tanya. "Naura sudah hamil empat bulan sekarang, dan selama kehamilannya kamu selalu bersama dengan Kanaya." sah
"Rencana?" tanya Laura pura-pura. Daniel sontak Laura dengan tatapan tajam, wajahnya bahkan berubah merah padam. Ia sudah tidak bersikap sungkan lagi pada gadis jahat itu. "Sekarang simpan saja aktingmu itu untuk orang lain, kesedihanmu sama sekali tidak berpengaruh padaku." "Sekarang aku memberikan waktu padamu selama sebulan, Naura harus sudah bisa berada di sisiku. Kalau tidak jangan harap kamu masih bisa jadi mahasiswa di kampusku, dan keluarga Alfa mu bisa keluar dari krisis kebangkrutan." ancam Daniel. Laura menatap Daniel, matanya yang biasanya tenang kini menyimpan bara amarah yang sulit disembunyikan. Apalagi saat melihat Daniel memalingkan pandangannya dari dirinya dan menatap ke arah Naura dengan penuh kelembutan. Dalam hatinya, suara kecil itu mengumpat tajam, "Bukankah dulu kak Daniel begitu perhatian padaku? Kenapa sekarang dia malah mengejar Naura? Apa istimewanya Naura sampai-sampai harus dilirik lagi, padahal dia sudah punya suami?" Tatapan Laura ta
Steven tidak memperdulikan ucapan sahabatnya, wajahnya sekarang ini nampak masam. Ibunya sekarang khawatir, "Steven, ibu nggak bisa membantumu. Bagaimana pun juga, kita nggak bisa menyinggung keluarga Arnold." Solar Alan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia juga tidak bisa memaksa putranya menikah dengan wanita lain. Mengingat orang yang patah hati, bisa melakukan hal yang sangat kejam tanpa berpikir dulu. Bagaimana pun juga, Steven adalah putra tunggalnya. Mengingat selama ini juga putranya tidak pernah suka atau pun jatuh cinta pada siapapun. Steven tetap diam, tidak pernah menanggapi ucapan ibunya. "Steven ... " Solar memegang lembut pergelangan tangan anaknya. Tapi, Steven malah menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. "Kenapa sekarang ini cerewet sekali? Kalau ibu menyuruhku menyerah, itu nggak akan pernah mungkin terjadi." ujar Steven. Ibunya hanya bisa menggelengkan kepalanya, menatap putranya dengan sedih. "Apakah ibu lupa? Kalau gadis itu a
Naura membuka matanya perlahan saat sebuah sentuhan lembut menyapu pipinya. Kedua tangannya seketika berhenti, matanya melebar penuh kebingungan saat menyadari ada dua wanita perias duduk di sisi ranjangnya, sibuk merapikan riasan wajahnya dengan gerakan cekatan dan penuh perhatian. Tatapan Naura melayang mencari-cari sesuatu, lalu bertemu dengan sosok Liam di sudut ruangan yang tampak serius, sibuk berganti-ganti layar ponselnya tanpa menoleh. Perasaan bingung bercampur canggung merayapi hati Naura, hingga Liam akhirnya menoleh dan tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Jamuan bisnis akan dimulai dua jam lagi," ucapnya lembut, menenangkan kebingungan istrinya. Seorang perias dengan suara halus mendekat, "Bisa bangun, nyonya? Kami ingin mulai membuat sanggul agar penampilan anda semakin anggun." Naura mengangguk pelan, tubuhnya bergerak dengan hati-hati saat bangkit dari ranjang. Liam yang menyaksikan itu tertegun, matanya membelalak kagum. Selama ini, ia belum pe
Sore harinya, Helena masuk ke dalam kamar putranya. Disana ia melihat Liam yang sedang memandangi istrinya yang tertidur pulas. "Sekarang apakah kamu menyesal? Karena nggak dengerin ucapanku," celetuk Helena, hal itu sungguh membuat Liam terkejut. Karena ia tidak melihat siluet ibunya saat masuk ke dalam kamarnya. Liam segera mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar kembali, sebenarnya ingin mengakuinya, tapi ia terlalu gengsi. "Nggak ada penyesalan, lagian Naura itu istriku. Dia pasti akan kembali padaku, diperutnya juga ada darah dagingku." Ia terlihat sangat percaya diri. Helena hanya bisa menghembuskan napas kasar, setelah mendengar ucapan putranya. Ia hanya bisa berharap semoga Naura tidak mendengar ucapan Liam. "Terserah kamu-lah. Yang penting ibu sudah mengingatkan mu," sahut Helena tanpa daya, ia ingin keluar tapi malah teringat sesuatu. "Oh ya, ibu sudah memesankan gaun untuk Naura. Ibu mengatakannya karena ingin meminta ijin padamu, untuk mengajak Naura pergi