Naura tertegun.
"Sudah selesai, kalau begitu kami permisi dulu!" titah Sania, lalu diikuti beberapa perias dan pelayan yang lain. Naura ingin mengucapkan sesuatu, tapi pintu sudah ditutup bahkan dikunci dari luar. Dia hanya bisa menghela napas berat dan melirik ke arah makanan yang berada tak jauh darinya. Sekarang Naura hanya bisa menurut, nyatanya dia tetap hidup sampai sekarang. Dia ingin sekali bisa bertemu ibunya, dan bertanya kenapa ibunya pergi tidak membawanya. Dan dia ingin bertanya, kenapa ayahnya pernah mengatakan jika dia bukan anak kandungnya. Apa maksud semua itu? Naura hanya ingin tahu, ucapan ayahnya itu nyata atau hanya kebohongan belaka. Naura yang kelaparan, mulai makan perlahan. Air mata lagi-lagi luruh dari kedua pelupuk matanya, baru kali ini dia memakan masakan seenak ini. Di rumah, dia biasanya diberikan makanan sisa pembantu di rumah. Dia yang kekurangan gizi memiliki badan yang. kurus. Bukan hanya itu saja, selama ini Naura tidur di loteng bersama dengan tikus. Baru kali ini, dia merasakan kehangatan rumah yang sebenarnya walaupun ditempat asing. Setelah makan dengan kenyang, Naura menepuk perutnya yang membuncit. Setelah itu, rasa kantuk mulai menyergap dalam dirinya. Naura menguap beberapa kali, saat ingin tidur diatas ranjang yang disediakan. Lonceng jam tiba-tiba berbunyi. Tapi dia yang sudah mengantuk parah, memilih abai dan memejamkan matanya. Tiba-tiba hawa dingin memenuhi ruangan, bahkan pintu kamarnya dibuka sangat keras. Naura tetap memilih abai, dan tetap ingin memejamkan mata. Karena matanya sangat berat sekali untuk terbuka. Sebenarnya Naura merasa takut, tapi rumah mewah nan asing ini jauh lebih baik dibandingkan dengan rumah yang selama ini dia tempati. Saat Naura benar-benar ingin menutup kedua bola matanya, dia merasa ada orang yang menindihnya. Naura yang tidak mengenakan kaca mata tentu tidak bisa melihat dengan jelas, orang yang menindihnya sekarang ini. Orang yang menindihnya mulai membuka bajunya perlahan, bahkan dia mulai menciumi seluruh tubuh Naura. Naura berusaha menjauhkan wajah pria yang sekarang ini mengendus-endus tubuhnya yang sudah tanpa sehelai benang. "Si - siapa kamu? Tolong jangan lakukan ini!" ucap Naura dengan nada terbata. Namun dia merasa sedikit aneh, kulit wajah pria itu terasa sangat dingin saat dia menyentuhnya. Tapi, pria yang sekarang ini berada diatas tubuhnya tidak merespon. Bahkan pria itu terus melanjutkan aksinya tanpa menggubris ucapannya. Naura menjambak pria itu, "Jangan berani macam-macam denganku!" "Kenapa?" tanya pria itu dengan suara berat yang menakutkan. Bulu kuduk Naura merinding, setelah mendengar suara pria itu. Dari suaranya, dia bisa menggambarkan jika pria itu memiliki wajah yang menakutkan seperti seorang psikopat atau dewa kematian. Naura yang memang seorang ahli bela diri ingin memukul wajah pria itu, tapi dengan sigap pria itu malah berhasil menangkap tangannya. "Masih mau melawan?" tanya pria asing itu. Naura akhirnya teringat, kalau sekarang dia sudah menikah dengan anak orang paling kaya dinegeri ini. Tentu saja dia tidak mau, kalau sampai reputasinya menjadi buruk karena berhubungan badan dengan orang selain suaminya. Dengan wajah percaya diri, Naura berkata, "Iya. Karena aku sudah menikah, bahkan suamiku sangat menakutkan dan kejam. Dia akan menghancurkan siapa pun orang yang menggangu miliknya!" Kedua sudut bibir pria itu terangkat penuh minat. Tiba-tiba Naura merasa aneh, dia merasa panas. Bahkan dia juga merasa tubuhnya seperti terangsang keenakan saat bergesekan dengan pria itu. Pria itu yang tahu, jika gadis yang berada dibawahnya baru saja meminum obat perangsang yang dicampur dalam minumannya. Ia nampak memasang senyuman licik, lalu bangkit dari tubuh Naura. Naura bingung, dia yang sebelumnya mengusir pria itu. Tapi sekarang, malah ingin disentuh. Pria itu bangkit, jubah berwarna merah darah sedikit terangkat dan menambah ketampanannya. Walaupun Naura tidak bisa melihat dengan jelas, tapi pria didepannya memiliki aura yang sangat kuat dan memiliki paras yang sangat tampan. Naura merasa tubuhnya semakin aneh, gatal dan haus akan sentuhan. Dia berusaha mencari kaca matanya, tapi saat meraba diatas meja samping ranjang, kaca matanya malah jatuh. Dia yang sudah tanpa sehelai benang, berjongkok untuk mengambil kaca matanya. Tapi dia bingung, dia tidak bisa menemukan kaca matanya. Hal itu terjadi, karena pria itu sudah lebih dulu mengambil kaca matanya dan membuangnya ke tempat sampah tanpa Naura sadari. "Kamu nggak akan menemukannya!" Ucap pria itu dengan suara dingin dan nada acuh tak acuh. . "Tolong bantu aku mencarinya," jawab Naura. "Oke, aku akan membantumu? Tapi tidak ada yang gratis." Deg. Jantung Naura langsung berhenti berdetak seketika. "Aku nggak bisa melihat kalau tanpa kaca mata. Itu hanya sebuah kaca mata, tolong kembalikan padaku!" Naura menolak transaksi itu. Bagaimana pun, dia tidak mau, jika harus membayar untuk kaca mata miliknya sendiri. "Aku nggak bakalan mengembalikan kaca matamu, tapi aku akan mengembalikan penglihatanmu. Kecantikanmu berkurang banyak karena memakai kaca mata jelek itu." Naura tentu tidak bisa percaya, mengingat minus dimatanya memiliki angka yang lumayan tinggi. Karena saat belajar malam hari, setiap harinya dia hanya bisa menggunakan lilin. Di kamarnya sama sekali tidak tersambung listrik, kata ayahnya itu pemborosan. Padahal dibandingkan dengan Laura yang full AC dan segala fasilitas yang ada, di loteng yang Naura gunakan sebagai kamar. Hanya ada lampu neon kecil 3 Watt dan kipas angin mungil. Tapi menghidupkan lampu dan kipas angin mungil, bagi ayahnya tetap pemborosan. Sementara pria itu yang sudah tidak sabar menunggu jawaban Naura, langsung menggendongnya dan menindihnya di atas ranjang. Naura membalas lumatan pria itu, bahkan dia merasakan keenakan yang sangat sulit untuk dijabarkan. Setalah satu ronde selesai. Dengan mata yang mulai berubah menjadi merah darah, bahkan kedua taringnya yang mulai memanjang pria itu memeluk Naura lalu menancapkan kedua gigi taringnya ke leher Naura.Naura melangkah cepat meninggalkan keramaian pesta jamuan bisnis yang penuh dengan suara tawa dan percakapan berbisik. Apalagi di tambah dengan pertengkaran yang dilakukan oleh Liam dan Steven, ia merasa seperti tidak mempunyai ruang Nafasnya terasa sesak, seolah udara di dalam ruangan itu berubah menjadi beku yang mengekang pikirannya. Ia mencari udara segar di teras, berharap bisa meredakan kegelisahan yang merayap di dadanya. Mengingat jika sekarang dirinya sedang hamil, seringkali merasa moodnya sering berubah. Tiba-tiba, sebuah dorongan keras membuat tubuh Naura kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung dan terjatuh ke arah kolam renang yang ada di samping taman belakang. Mata Naura melebar, jantungnya berdegup kencang saat ia menoleh dan melihat Laura berdiri dengan senyum sinis di bibirnya. Seketika Daniel muncul dari balik kerumunan dengan langkah tegap dan mata yang menyala penuh tekad. Ia melangkah cepat ke arah Naura yang hampir terjerembab ke air. Tanpa
"Kamu mengenal istri Liam?" celetuk Victor dengen nada sedikit terkejut, tapi ntah kenapa ia merasa jika hubungan Steven dengan Naura tidak sesederhana itu. Steven diam, ia berharap Naura menanggapi ucapannya. Saat ingin menanggapi ucapan Steven, Victor sudah menyela ucapannya. "Kalau kalian mengenalnya, Tapi kenapa kalian berdua tidak memperkenalkannya padaku?" tegur Victor dengen suara pura-pura kesal. Walaupun ia sudah pernah mendengar rumor pernikahan Liam, tapi itu hanya rumor, tentu saja ia ingin tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Liam dan Steven sama-sama diam, tdiak menangapi ucapan Victor. Lalu tatapan Liam menatap tajam ke arah Steven, "Bagaimana pun juga Naura istriku, bahkan dia juga sedang hamil anakku. Aku nggak akan pernah berniat untuk menceraikannya." Victor memegang dadanya terkejut, ia menatap Liam dengan tatapan bingung penuh tanda tanya. "Naura sudah hamil empat bulan sekarang, dan selama kehamilannya kamu selalu bersama dengan Kanaya." sah
"Rencana?" tanya Laura pura-pura. Daniel sontak Laura dengan tatapan tajam, wajahnya bahkan berubah merah padam. Ia sudah tidak bersikap sungkan lagi pada gadis jahat itu. "Sekarang simpan saja aktingmu itu untuk orang lain, kesedihanmu sama sekali tidak berpengaruh padaku." "Sekarang aku memberikan waktu padamu selama sebulan, Naura harus sudah bisa berada di sisiku. Kalau tidak jangan harap kamu masih bisa jadi mahasiswa di kampusku, dan keluarga Alfa mu bisa keluar dari krisis kebangkrutan." ancam Daniel. Laura menatap Daniel, matanya yang biasanya tenang kini menyimpan bara amarah yang sulit disembunyikan. Apalagi saat melihat Daniel memalingkan pandangannya dari dirinya dan menatap ke arah Naura dengan penuh kelembutan. Dalam hatinya, suara kecil itu mengumpat tajam, "Bukankah dulu kak Daniel begitu perhatian padaku? Kenapa sekarang dia malah mengejar Naura? Apa istimewanya Naura sampai-sampai harus dilirik lagi, padahal dia sudah punya suami?" Tatapan Laura ta
Steven tidak memperdulikan ucapan sahabatnya, wajahnya sekarang ini nampak masam. Ibunya sekarang khawatir, "Steven, ibu nggak bisa membantumu. Bagaimana pun juga, kita nggak bisa menyinggung keluarga Arnold." Solar Alan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia juga tidak bisa memaksa putranya menikah dengan wanita lain. Mengingat orang yang patah hati, bisa melakukan hal yang sangat kejam tanpa berpikir dulu. Bagaimana pun juga, Steven adalah putra tunggalnya. Mengingat selama ini juga putranya tidak pernah suka atau pun jatuh cinta pada siapapun. Steven tetap diam, tidak pernah menanggapi ucapan ibunya. "Steven ... " Solar memegang lembut pergelangan tangan anaknya. Tapi, Steven malah menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. "Kenapa sekarang ini cerewet sekali? Kalau ibu menyuruhku menyerah, itu nggak akan pernah mungkin terjadi." ujar Steven. Ibunya hanya bisa menggelengkan kepalanya, menatap putranya dengan sedih. "Apakah ibu lupa? Kalau gadis itu a
Naura membuka matanya perlahan saat sebuah sentuhan lembut menyapu pipinya. Kedua tangannya seketika berhenti, matanya melebar penuh kebingungan saat menyadari ada dua wanita perias duduk di sisi ranjangnya, sibuk merapikan riasan wajahnya dengan gerakan cekatan dan penuh perhatian. Tatapan Naura melayang mencari-cari sesuatu, lalu bertemu dengan sosok Liam di sudut ruangan yang tampak serius, sibuk berganti-ganti layar ponselnya tanpa menoleh. Perasaan bingung bercampur canggung merayapi hati Naura, hingga Liam akhirnya menoleh dan tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Jamuan bisnis akan dimulai dua jam lagi," ucapnya lembut, menenangkan kebingungan istrinya. Seorang perias dengan suara halus mendekat, "Bisa bangun, nyonya? Kami ingin mulai membuat sanggul agar penampilan anda semakin anggun." Naura mengangguk pelan, tubuhnya bergerak dengan hati-hati saat bangkit dari ranjang. Liam yang menyaksikan itu tertegun, matanya membelalak kagum. Selama ini, ia belum pe
Sore harinya, Helena masuk ke dalam kamar putranya. Disana ia melihat Liam yang sedang memandangi istrinya yang tertidur pulas. "Sekarang apakah kamu menyesal? Karena nggak dengerin ucapanku," celetuk Helena, hal itu sungguh membuat Liam terkejut. Karena ia tidak melihat siluet ibunya saat masuk ke dalam kamarnya. Liam segera mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar kembali, sebenarnya ingin mengakuinya, tapi ia terlalu gengsi. "Nggak ada penyesalan, lagian Naura itu istriku. Dia pasti akan kembali padaku, diperutnya juga ada darah dagingku." Ia terlihat sangat percaya diri. Helena hanya bisa menghembuskan napas kasar, setelah mendengar ucapan putranya. Ia hanya bisa berharap semoga Naura tidak mendengar ucapan Liam. "Terserah kamu-lah. Yang penting ibu sudah mengingatkan mu," sahut Helena tanpa daya, ia ingin keluar tapi malah teringat sesuatu. "Oh ya, ibu sudah memesankan gaun untuk Naura. Ibu mengatakannya karena ingin meminta ijin padamu, untuk mengajak Naura pergi