Share

Bab 4 Kukira Mangsa Ternyata Malaikat Maut!

"Thara lo waras?" keluh Moza melihat wajahnya yang tiba-tiba di make up begitu tebal.

"Hush! Jangan berisik ah. Nanti juga lo bakal pangling lihat wajah lo sendiri," tampik Thara fokus mendandani Moza di apartemen miliknya.

"Harus banget ya gue didandani kek gini?" Moza kembali protes.

"Iyalah lo kan mau mencampakkan cowok masa lo kaya pulu-pulu, kan gak lucu. Kali ini gue mau lo nunjukin diri jadi wanita badas yang hobinya mainin cowok. Keren, kan skenario gue," kekeh Thara menyapukan kuas make up ke pipi Moza.

"Mending si jadi cewek jelek terus bego sekalian," timpal Moza.

"Udah pernah gue pake cara itu. Eh, malah gue disukai sama om-om yang dateng ke kencan buta. Untung gue pake rencana cadangan," sangah Thara mengingat kejadian kencan buta dua minggu yang lalu.

"Rencana Cadangan? Om-om? Ha!" Moza sedikit terkejut mendengar jika Thara kencan buta bersama om-om.

"Iya, selama kencan buta kebanyakan yang dateng udah om-om umur tiga puluh tahun ke atas. Yang tiga puluh tahun ke bawah pernah ada juga si," jelas Thara dengan kedua tangan masih menyapu make up di wajah Moza.

"Nah, waktu itu yang dateng udah om-om sekitar umur tiga lima tahunan. Waktu itu gue dandan jadi cewek jelek sama bertingkah bego. Eh, si Om itu malah bilang gue imut. Sialan, kan! Karena rencana awal bikin pasangan kencan buta ilfeel ke gue gagal. Ya udah, gue pake rencana cadangan. Gue taburin obat pencahar di makanannya. Terus si Om yang nahan beol akhirnya kelepasan di depan gue. Sejak saat itu gue gak temuin dia. Si Om juga kayanya malu karena kejadian itu. Jadi kencan buta gue gagal deh," ungkap Thara panjang lebar. Hingga, akhirnya selesai mendandani Moza.

"Gila lo, Ra. Bisa-bisanya kepikiran pake cara begituan," puji Moza geleng-geleng dengan kekejaman sahabatnya itu.

"Yaelah, dia bukan tipe gue. Kalo gue yang nolak, kartu ATM gue nanti dicabut. " Dengan enteng Thara membela diri. Tidak ada rasa bersalah terlintas di wajahnya. Memang keterlaluan.

"Fyuh! Udah selesai ini make upnya. Tinggal pake baju yang udah gue siapin di kamar. Lo ganti baju sana," desak Thara kemudian merapikan make up ke kotak make uyang tergeletak di meja.

Menunggu sekitar lima menit, Moza akhirnya keluar menggunakan dress ketat berwarna hitam dengan potongan leher mengekspos belahan dada.

"Ini bener gue harus pake baju ginian?"

Moza tampak menarik-narik ujung dress seatas lutut yang ia kenakan karena hanya menutupi sebagian pahanya.

"Iyaa lo kelihatan seksi abis!" Thara mengacungkan satu jempolnya.

"Tapi kaya ada yang kurang deh. Bentar!" Thara bergegas ke ruang kerja.

Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah wig berwarna burgundy dalam genggaman.

"Nih, lo pake. Pasti penampilan lo tambah wah," serah Thara antusias.

"Lah, harus pakai ini juga?" tanya Moza dengan wajah cengo.

"Iya udah pake aja," desak Thara memaksa.

Tak sampai lima menit wig berhasil dipakai Moza. Seketika penampilannya terlihat berubah begitu drastis. Rambut sepinggang berwarna burgundy menambah kesan sensual serta karismatik di diri Moza yang jarang berpenampilan seksi seperti ini.

"Dah, sana lo boleh ngaca." Thara membuka kain penutup kaca di kamarnya.

Sontak Moza ternganga menatap pantulan dirinya.

"Gile, Ra. Gue kaya idol," puji Moza tak percaya.

"Lo bener-bener jago make up. Btw lo belajar dari mana make upin gue kaya gini?" tanya Moza bolak-balik melihat sisi wajahnya yang tampak mengesankan.

"Di Channel Youtube orang China," jawab Thara menunjukan postingan video yang sering ia lihat.

"Wih, keren. Kalo penampilan gue kaya gini jadi makin pede gue buat akting nanti!" tukas Moza sok bergaya.

"Udah sekarang sana lo berangkat! Jangan lupa campakan tuh cowok. Eh, buat dia ilfeel ke lo aja udah cukup sih nanti gue tambahin bonus," desak Thara mengusir Moza yang sudah bersiap dengan blazer serta tas dalam genggaman tangan.

***

Di sebuah restoran ternama di kalangan anak muda kelas atas, Moza duduk sendirian terbalut dengan blezer yang ia sampirkan di pundak membiarkan bagian depan dress terekspos.

Restoran dengan furniture modern itu tampak diisi banyak pengunjung di lantai satu tempat Moza berada sekarang. Apalagi hari ini weekend, banyak anak muda bersama teman atau pun kekasih bertemu dan berbincang seraya menikmati makanan yang sudah terhidang dengan begitu cantiknya.

Moza berkali-kali merapikan wig yang terpasang menjuntai ke belakang telinga. Ia memutuskan untuk memesan ice americano seraya menunggu pasangan kencannya yang tak kunjung datang.

"Aku harap yang datang bukan om-om botak. Asal banyak duit sih gak papa." Moza mendesah pelan, hingga suara deep seseorang mengalihkan atensi.

"Nona Thara dari InterPress Group?" ucap seseorang, Moza pun menoleh.

Melihat perawakan tubuh tinggi kekar seorang pria dengan dada bidang serta tinggi sekitar 180 sentimeter. Matanya menelusuri hingga akhirnya melihat paras yang kini memandanginya dengan begitu jelas saat jarak di antara mereka semakin dekat.

'Wah, tampannya,' batin Moza terpesona dengan mulut menganga. Untung saja air liurnya tidak menetes.

"Iyaa," jawab Moza kemudian setelah tersadar.

Minuman pesanan Moza datang, segelas Ice Americano serta sebuah cangkir hot espresso yang sepertinya telah di pesan pria tampan yang kini duduk berhadapan dengan Moza. Wanita itu hampir tak berkedip begitu terpesona dengan paras tampan yang akan dijodohkan dengan sahabatnya itu.

Mata yang tajam, hidung mancung, kulit seputih susu. Jangan lupakan dengan rambut serta setelannya yang terlihat begitu rapi. Definisi ganteng maksimal versi nyata di hidup Moza karena bisa memandangi ciptaan Tuhan tepat di depan mata.

'Tampan banget ya Tuhan! Apa pria ini aja yang jadi suamiku?' Moza mulai terbuai dengan aura pria yang baru ditemuinya.

'Ih, kok aku malah jadi ngelantur! Inget tujuan awal. Di sini aku tuh cuma kerja,' moza kembali menyadarkan dirinya. Membuang jauh-jauh pikiran nakal dalam otaknya.

"Anda terlambat hingga membiarkan wanita secantik saya menunggu Anda," ucap Moza dengan tatapan menggoda. Meraih segelas ice americano di atas meja seraya menyilangkan kakinya yang putih nan mulus.

Setelah satu sedotan, Moza kembali berkata, "Saya suka menghabiskan waktu saya untuk bermain dengan banyak pria serta merawat tubuh saya yang seksi ini," jelas Moza menekankan pada kalimat tubuh seksinya untuk menarik perhatian pria karismatik di hadapan.

Namun, jangankah mendapat perhatian sebuah lirikan saja tidak ia dapat. Pria di hadapannya hanya fokus menyeruput hot espresso di cangkirnya. Apakah setidak menarik itu dirinya?

Moza meletakkan gelas ice americano dengan kasar. Hingga akhirnya berhasil mengalihkan atensi pria di hadapannya. Moza menyeringai, mengambil kesempatan tersebut.

"Apakah Anda tahu saya sangat bangga dengan milik saya setelah dua kali harus terbang ke Swiss serta Korea," cetus Moza mengambil alih topik sekali lagi.

"Milikmu?" ucap pria itu mengangkat alisnya.

"Yeah, Lucy and Ethel kebanggaan saya." Moza tampak membusungkan dada. Seraya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.

Pria itu hampir tersedak saat menyadari apa yang dimaksud Moza. Membuat wanita dengan dress ketat itu senang dengan respon pria di hadapannya. Kali ini ia akan menjadi wanita gila untuk bisa mencampakan pria yang terlalu wah untuk dihadapi hanya dengan godaan semata.

Tanpa disadari Moza, senyum justru tersungging di sudut bibir pria itu.

"Boleh saya meminjam ponsel, Nona," pinta pria itu tiba-tiba.

"Ha? Ponsel saya?" Moza mengintruksi apa yang baru didengarnya dan langsung mendapat sebuah anggukan.

Walau ragu, Moza akhirnya menyerahkan ponselnya. Semenit kemudian, ponsel itu dikembalikan.

"Saya sempat menghubungi keterlambatan saya lewat telepon, tapi ternyata salah sambung. Ternyata benar nomor Nona Thara berbeda dengan nomor yang saya simpan," jelas pria itu kemudian menyunggingkan senyum kecil.

Moza sempat terpesona dengan senyum tiba-tiba itu. Hingga, akhirnya tersadar. Jika pria itu baru saja meminta nomor teleponnya.

"Oiya, sejak tadi Nona memanggil saya dengan sebutan Anda. Nama saya Malvin," imbuh pria itu menyilangkan kaki menatap Moza yang tampak cengo.

'Malvin? Seperti pernah dengar,' pikir Moza mengingat-ingat. Mengalihkan atensi ke ponselnya menyalakan data. Tiba-tiba ada notifikasi masuk.

'Ah, dari grup kantor mengirimkan foto.'

Kumpulan foto saat penyambutan CEO baru perusahaan dua hari lalu. Saat melihat foto pria yang berpidato di podium, Moza sontak terbelalak. Kemudian beralih menatap pria di hadapannya.

"CEO Batara Group!" seru Moza berdiri saking terkejutnya.

"Benar. Saya CEO Batara Group," ujar Malvin mengerutkan alis. Melihat tingkah aneh wanita di hadapan.

Moza terduduk dengan lemas. Dari seluruh pria tampan di dunia ini, ia justru harus berhadapan dengan pimpinan perusahaan tempat ia bekerja. Moza tidak akan ketahuan bukan jika ia adalah karyawan di perusahaannya?

'Aduh! Mati aku!' rutuk Moza untuk nasib sialnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status