"Thara lo waras?" keluh Moza melihat wajahnya yang tiba-tiba di make up begitu tebal.
"Hush! Jangan berisik ah. Nanti juga lo bakal pangling lihat wajah lo sendiri," tampik Thara fokus mendandani Moza di apartemen miliknya."Harus banget ya gue didandani kek gini?" Moza kembali protes."Iyalah lo kan mau mencampakkan cowok masa lo kaya pulu-pulu, kan gak lucu. Kali ini gue mau lo nunjukin diri jadi wanita badas yang hobinya mainin cowok. Keren, kan skenario gue," kekeh Thara menyapukan kuas make up ke pipi Moza."Mending si jadi cewek jelek terus bego sekalian," timpal Moza."Udah pernah gue pake cara itu. Eh, malah gue disukai sama om-om yang dateng ke kencan buta. Untung gue pake rencana cadangan," sangah Thara mengingat kejadian kencan buta dua minggu yang lalu."Rencana Cadangan? Om-om? Ha!" Moza sedikit terkejut mendengar jika Thara kencan buta bersama om-om."Iya, selama kencan buta kebanyakan yang dateng udah om-om umur tiga puluh tahun ke atas. Yang tiga puluh tahun ke bawah pernah ada juga si," jelas Thara dengan kedua tangan masih menyapu make up di wajah Moza."Nah, waktu itu yang dateng udah om-om sekitar umur tiga lima tahunan. Waktu itu gue dandan jadi cewek jelek sama bertingkah bego. Eh, si Om itu malah bilang gue imut. Sialan, kan! Karena rencana awal bikin pasangan kencan buta ilfeel ke gue gagal. Ya udah, gue pake rencana cadangan. Gue taburin obat pencahar di makanannya. Terus si Om yang nahan beol akhirnya kelepasan di depan gue. Sejak saat itu gue gak temuin dia. Si Om juga kayanya malu karena kejadian itu. Jadi kencan buta gue gagal deh," ungkap Thara panjang lebar. Hingga, akhirnya selesai mendandani Moza."Gila lo, Ra. Bisa-bisanya kepikiran pake cara begituan," puji Moza geleng-geleng dengan kekejaman sahabatnya itu."Yaelah, dia bukan tipe gue. Kalo gue yang nolak, kartu ATM gue nanti dicabut. " Dengan enteng Thara membela diri. Tidak ada rasa bersalah terlintas di wajahnya. Memang keterlaluan."Fyuh! Udah selesai ini make upnya. Tinggal pake baju yang udah gue siapin di kamar. Lo ganti baju sana," desak Thara kemudian merapikan make up ke kotak make uyang tergeletak di meja.Menunggu sekitar lima menit, Moza akhirnya keluar menggunakan dress ketat berwarna hitam dengan potongan leher mengekspos belahan dada."Ini bener gue harus pake baju ginian?"Moza tampak menarik-narik ujung dress seatas lutut yang ia kenakan karena hanya menutupi sebagian pahanya."Iyaa lo kelihatan seksi abis!" Thara mengacungkan satu jempolnya."Tapi kaya ada yang kurang deh. Bentar!" Thara bergegas ke ruang kerja.Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah wig berwarna burgundy dalam genggaman."Nih, lo pake. Pasti penampilan lo tambah wah," serah Thara antusias."Lah, harus pakai ini juga?" tanya Moza dengan wajah cengo."Iya udah pake aja," desak Thara memaksa.Tak sampai lima menit wig berhasil dipakai Moza. Seketika penampilannya terlihat berubah begitu drastis. Rambut sepinggang berwarna burgundy menambah kesan sensual serta karismatik di diri Moza yang jarang berpenampilan seksi seperti ini."Dah, sana lo boleh ngaca." Thara membuka kain penutup kaca di kamarnya.Sontak Moza ternganga menatap pantulan dirinya."Gile, Ra. Gue kaya idol," puji Moza tak percaya."Lo bener-bener jago make up. Btw lo belajar dari mana make upin gue kaya gini?" tanya Moza bolak-balik melihat sisi wajahnya yang tampak mengesankan."Di Channel Youtube orang China," jawab Thara menunjukan postingan video yang sering ia lihat."Wih, keren. Kalo penampilan gue kaya gini jadi makin pede gue buat akting nanti!" tukas Moza sok bergaya."Udah sekarang sana lo berangkat! Jangan lupa campakan tuh cowok. Eh, buat dia ilfeel ke lo aja udah cukup sih nanti gue tambahin bonus," desak Thara mengusir Moza yang sudah bersiap dengan blazer serta tas dalam genggaman tangan.***Di sebuah restoran ternama di kalangan anak muda kelas atas, Moza duduk sendirian terbalut dengan blezer yang ia sampirkan di pundak membiarkan bagian depan dress terekspos.Restoran dengan furniture modern itu tampak diisi banyak pengunjung di lantai satu tempat Moza berada sekarang. Apalagi hari ini weekend, banyak anak muda bersama teman atau pun kekasih bertemu dan berbincang seraya menikmati makanan yang sudah terhidang dengan begitu cantiknya.Moza berkali-kali merapikan wig yang terpasang menjuntai ke belakang telinga. Ia memutuskan untuk memesan ice americano seraya menunggu pasangan kencannya yang tak kunjung datang."Aku harap yang datang bukan om-om botak. Asal banyak duit sih gak papa." Moza mendesah pelan, hingga suara deep seseorang mengalihkan atensi."Nona Thara dari InterPress Group?" ucap seseorang, Moza pun menoleh.Melihat perawakan tubuh tinggi kekar seorang pria dengan dada bidang serta tinggi sekitar 180 sentimeter. Matanya menelusuri hingga akhirnya melihat paras yang kini memandanginya dengan begitu jelas saat jarak di antara mereka semakin dekat.'Wah, tampannya,' batin Moza terpesona dengan mulut menganga. Untung saja air liurnya tidak menetes."Iyaa," jawab Moza kemudian setelah tersadar.Minuman pesanan Moza datang, segelas Ice Americano serta sebuah cangkir hot espresso yang sepertinya telah di pesan pria tampan yang kini duduk berhadapan dengan Moza. Wanita itu hampir tak berkedip begitu terpesona dengan paras tampan yang akan dijodohkan dengan sahabatnya itu.Mata yang tajam, hidung mancung, kulit seputih susu. Jangan lupakan dengan rambut serta setelannya yang terlihat begitu rapi. Definisi ganteng maksimal versi nyata di hidup Moza karena bisa memandangi ciptaan Tuhan tepat di depan mata.'Tampan banget ya Tuhan! Apa pria ini aja yang jadi suamiku?' Moza mulai terbuai dengan aura pria yang baru ditemuinya.'Ih, kok aku malah jadi ngelantur! Inget tujuan awal. Di sini aku tuh cuma kerja,' moza kembali menyadarkan dirinya. Membuang jauh-jauh pikiran nakal dalam otaknya."Anda terlambat hingga membiarkan wanita secantik saya menunggu Anda," ucap Moza dengan tatapan menggoda. Meraih segelas ice americano di atas meja seraya menyilangkan kakinya yang putih nan mulus.Setelah satu sedotan, Moza kembali berkata, "Saya suka menghabiskan waktu saya untuk bermain dengan banyak pria serta merawat tubuh saya yang seksi ini," jelas Moza menekankan pada kalimat tubuh seksinya untuk menarik perhatian pria karismatik di hadapan.Namun, jangankah mendapat perhatian sebuah lirikan saja tidak ia dapat. Pria di hadapannya hanya fokus menyeruput hot espresso di cangkirnya. Apakah setidak menarik itu dirinya? Moza meletakkan gelas ice americano dengan kasar. Hingga akhirnya berhasil mengalihkan atensi pria di hadapannya. Moza menyeringai, mengambil kesempatan tersebut."Apakah Anda tahu saya sangat bangga dengan milik saya setelah dua kali harus terbang ke Swiss serta Korea," cetus Moza mengambil alih topik sekali lagi."Milikmu?" ucap pria itu mengangkat alisnya."Yeah, Lucy and Ethel kebanggaan saya." Moza tampak membusungkan dada. Seraya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.Pria itu hampir tersedak saat menyadari apa yang dimaksud Moza. Membuat wanita dengan dress ketat itu senang dengan respon pria di hadapannya. Kali ini ia akan menjadi wanita gila untuk bisa mencampakan pria yang terlalu wah untuk dihadapi hanya dengan godaan semata.Tanpa disadari Moza, senyum justru tersungging di sudut bibir pria itu."Boleh saya meminjam ponsel, Nona," pinta pria itu tiba-tiba."Ha? Ponsel saya?" Moza mengintruksi apa yang baru didengarnya dan langsung mendapat sebuah anggukan.Walau ragu, Moza akhirnya menyerahkan ponselnya. Semenit kemudian, ponsel itu dikembalikan."Saya sempat menghubungi keterlambatan saya lewat telepon, tapi ternyata salah sambung. Ternyata benar nomor Nona Thara berbeda dengan nomor yang saya simpan," jelas pria itu kemudian menyunggingkan senyum kecil.Moza sempat terpesona dengan senyum tiba-tiba itu. Hingga, akhirnya tersadar. Jika pria itu baru saja meminta nomor teleponnya."Oiya, sejak tadi Nona memanggil saya dengan sebutan Anda. Nama saya Malvin," imbuh pria itu menyilangkan kaki menatap Moza yang tampak cengo.'Malvin? Seperti pernah dengar,' pikir Moza mengingat-ingat. Mengalihkan atensi ke ponselnya menyalakan data. Tiba-tiba ada notifikasi masuk.'Ah, dari grup kantor mengirimkan foto.'Kumpulan foto saat penyambutan CEO baru perusahaan dua hari lalu. Saat melihat foto pria yang berpidato di podium, Moza sontak terbelalak. Kemudian beralih menatap pria di hadapannya."CEO Batara Group!" seru Moza berdiri saking terkejutnya."Benar. Saya CEO Batara Group," ujar Malvin mengerutkan alis. Melihat tingkah aneh wanita di hadapan.Moza terduduk dengan lemas. Dari seluruh pria tampan di dunia ini, ia justru harus berhadapan dengan pimpinan perusahaan tempat ia bekerja. Moza tidak akan ketahuan bukan jika ia adalah karyawan di perusahaannya?'Aduh! Mati aku!' rutuk Moza untuk nasib sialnya.Satu Minggu yang lalu.Lantai delapan Batara Group Gedung Pusat."Za, lo tahu gak rumor tentang CEO baru kita?" cetus Tiara memepetkan kursi kerja. Seperti biasa pasti akan ada sesi menyebarkan rumor atau gosip di sela kerja harian dengan rutinitas yang sama. "Apa emang?" timpal Moza penasaran. Mendekatkan telinga. "Katanya CEO baru kita itu pasien sakit jiwa," bisik Tiara dengan mata jelalatan mengantisipasi atensi karyawan lain yang tiba-tiba memperhatikan mereka."Ha? Masa sih kok bisa?" tanya Moza penasaran dengan mata terbelalak karena info ini baru didengarnya."Hush! Jangan kenceng-kenceng, bisik-bisik aja. Jangan lupa pura-pura kerja!" bisik Tiara benar-benar waspada level tinggi. "Iya iya terus kenapa kok bisa disebut pasien sakit jiwa?" bisik Moza mengulangi pertanyaannya."Katanya Pak CEO terkenal banget di kantor New York dan kantor ini sebelumnya. Sebagai pasien gangguan kecemasan yang akan melakukan semua yang dia katakan. Seorang pendukung fanatik dari larangan berpa
"Nona Thara masih di sana?" tanya Malvin berhasil menyadarkan Moza yang tengah kemelut dengan pikirannya."Ah, iya. Saya tahu! Kenapa saya tidak mau menikah dengan Tuan!" sahut Moza kembali tersadar. Ia harus mendeklarasikan penolakannya. Jika tidak bisa-bisa ia habis oleh Thara nanti."Kenapa, Nona?" Malvin mengkonfirmasi alasan dirinya ditolak."Karena Tuan bukan tipe saya!" tandas Moza memberitahu."Tipe seperti apa yang Nona Thara sukai?" Malvin balik bertanya, dengan tenang menanggapi. "Yang jelas yang tidak mengajak menikah lewat telepon," sahut Moza asal. "Baik, jadi kapan kita bisa bertemu?" "Apa! Tidak! Saya tidak mau bertemu Tuan lagi. Kencan buta kemarin adalah pertemuan terakhir kita," tandas Moza mencak-mencak.Tut!Moza mematikan panggilan, merasa frustasi."Aduh! Kenapa setelah kencan buta hidupku jadi banyak kejutan gini. Kuharap kejutan ini sudah berakhir. Kasihan jantungku." Moza menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan seraya mengusap dada. Tanpa sadar ia t
"Saya tidak menyangka Nona Thara mengajak saya bertemu secara mendadak," ucap Malvin setelah duduk tegap di hadapan Moza. Moza kembali tersadar, ia harus fokus. "Maafkan saya Tuan karena mendadak mengajak bertemu," balas Moza menyunggingkan senyum."Tidak, justru saya senang karena saya juga ingin bertemu Nona," timpal Malvin melepas setelan jasnya. Moza kembali menelan saliva."Maafkan saya Nona karena saya datang dengan penampilan berantakan. Kali ini saya mengalami hal yang tidak mengenakan di jalan," aku Malvin menyugar rambutnya. 'Heh! Malah minta maaf. Eh, gak! Pak CEO emang harus minta maaf. Bisa-bisanya rambutnya yang disugar, hatiku malah yang bergetar. Sialan!' rutuk Moza hatinya menangis haru dengan pemandangan indah yang baru saja ia lihat. "Jadi Nona berkaitan dengan pernyataan saya ditelepon kemarin. Saya ingin mengajak Nona—" Moza membola, ia tahu apa yang akan pria di hadapannya ucapkan. "Tuan Malvin mau pesan apa?" potong Moza dengan cepat. Hatinya belum siap denga
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Malvin menyeringai menatap paras wanita yang tengah terlelap dalam tidurnya. "Tidak kusangka kau akan menungguku. Apakah ini yang dinamakan takdir? Sekarang kau jelas ditakdirkan menjadi jodohku," gumam Malvin menyunggingkan senyum. Kini ia sudah berada di hadapan Moza yang ketiduran dalam penantiannya. Wanita di hadapan Malvin tampak sangat cantik, Moza begitu anteng dalam tidurnya. Membuat Malvin refleks kembali tersenyum memperhatikan Moza yang bisa tertidur dalam posisi duduk. Sembari menunggu Moza terbangun, Malvin memeriksa beberapa berkas penting melalui gawai miliknya. Hingga, pelayan restoran membawa minuman pesanan Malvin. Sekitar satu jam kemudian, wanita yang telah Malvin tandai sebagai jodohnya itu tampak menggerakan tubuh.Moza mengerjap, hingga akhirnya membuka mata. Wanita itu tampak melihat Malvin di hadapannya."Nona sudah bangun?" sambut Malvin tersenyum kecil. S
Savian kembali terpokus pada lawan bicaranya. Dengan intens ia memperhatikan penampilan wanita yang dikenal sebagai anak tunggal InterPress Gruop tersebut yang telah ditandai Malvin sebagai istrinya. Nona Thara yang ia lihat sekilas saat pertemuan dengan atasannya beberapa hari yang lalu terlihat begitu berpenampilan seksi dengan make up tebal menghiasi wajah. Savian menelisik, memperhatikan penampilan wanita di hadapan. Penampilan anak tunggal InterPress Group kali ini justru terlihat berbeda dengan make up tipis serta setelan baju yang lumayan sopan.'Apakah wajah aslinya tanpa make up tebal memang seperti ini?' Savian menerka. "Maaf saya sedikit terkejut," cetus Thara mengendalikan diri dari keterkejutannya."Ada urusan apa ya Tuan mencari saya? Bukankah masalah perjodohan sudah terselesaikan kemarin?" tukas Thara menyesalinya. Hatinya menangis karena meminta Moza menolak lamaran pria setampan nan memesona di hadapannya."Ah, jika b
Di kamarnya yang hanya berukuran 3×4 meter itu Moza tengah sibuk mengecat kuku kakinya dengan kutek berwarna nude. Kamar yang dipenuhi dengan kenangan semasa bersekolah dulu tak berubah. Hanya bertambah beberapa dekorasi yang ikut menenuhi ruang kamar. Sejak SMA Moza sangat hobi membeli poster idol Kpop kesukaannya, bahkan poster tersebut masih awet memenuhi dinding kamar. Belum lagi pernak-pernik Kpop lainnya. Karena menjadi fangirl membuatnya betah menjomlo selama ini. Lebih tepatnya betah menunggu Rendy menyadari kehadirannya. Masa-masa SMA yang membuatnya memiliki sahabat seperti Thara sampai saat ini. Saat Moza tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Wanita itu meraih ponsel di atas nakas. Melihat nama kontak yang meneleponnya malam-malam. Tebakannya adalah Thara dan ternyata tepat sasaran."Ada apa, Ra?" tanya Moza langsung ke inti. "Gue baru ketemu Malvin," aku Thara membuat Moza langsung membola.
Di tengah situasi canggung penuh kesalahpahaman. Thara teralihkan dengan seorang pria yang baru saja masuk ke dalam restoran. Sontak wanita itu membola menatap pria tampan tersebut. Ia tampak melangkah menuju meja Thara."Tuan Malvin," panggil Thara terpana ke arah pria tersebut. Malvin ikut mengalihkan atensi menatap sekretarisnya yang baru saja datang dengan senyuman yang tampak menyilaukan karena masuk ke restoran bertepatan dengan lampu pintu yang tiba-tiba dinyalakan."Dia adalah sekretaris saya," jelas Malvin memberitahu. Savian tampak duduk di meja yang lain. Menunggu atasannya selama pertemuan karena kunci mobil milik Malvin dipegang olehnya. "Apa?" Thara tak percaya dengan kebenaran yang ia peroleh."Sepertinya Nona salah paham dengan mengira sekretaris saya sebagai saya," ucap Malvin setelah menyimpulkan apa yang mungkin terjadi. "Jadi siapa wanita yang saya temui di kencan buta itu?" tanya Malvin langsung ke inti ka
Savian tampak membuka pintu ruang CEO setelah dipersilakan masuk. Dengan langkah kakinya yang panjang membuat ia bisa cepat tiba di hadapan Malvin kurang dari tiga puluh detik dari pintu masuk ke depan meja kerja atasannya itu. Malvin tampak mengalihkan atensi menatap Savian lekat-lekat. Orang yang dipandangi merasa tidak nyaman. "Ada hal mendesak apa Pak CEO memanggil saya?" tanya Savian menghadap. Malvin tampak memangku wajahnya, dengan tatapan datar ia berucap, "Temuilah Nona Thara dan bujuk dia untuk mengatur pertemuanku dengan wanita yang mengantikannya di kencan buta." Nada perintah itu terdengar mendikte. Savian tidak bisa menolak perintah tersebut. Walaupun hal tersebut tidak menyangkut pekerjaannya. Namun, sudah bertahun-tahun Savian hidup dengan arahan Malvin yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sejak ia pertama kali menginjakan kaki di rumah besar tempat Malvin tinggal."Baik, Pak. Saya akan segera menemui Nona Thara," ja