Share

Bab 3 Dorongan Kencan Buta

Kamar dengan atap kubah berlangit-langit putih itu memiliki nuansa warna putih, marun dan perak yang memberikan kesan begitu mewah untuk sebuah ruang kamar berukuran 3×5 meter. Mulai dari tirai, hiasan kaca, hiasan dinding, karpet, pinggiran kursi sampai dipan dilapisi dengan warna yang dominan terlihat mewah.

Terdapat dua lampu gantung, masing-masing di atas tempat tidur beludru warna marun dan satu lagi di atas sofa untuk menjamu tamu. Tak lupa lantai marmernya yang berwarna gading semakin memperindah suasana kamar.

Kini Malvin duduk di sofa yang sengaja didekatkan di sisi ranjang king size tempat Nenek Puspa bersandar. Setelah landing sampai di Jakarta. Ia memutuskan untuk segera menemui Nenek Puspa serta Kakek Rama di mansion yang sudah berkali-kali melakukan renovasi ini.

Nenek Puspa tampak begitu pucat. Kali ini ia benar-benar terkejut dengan rumor yang menyebar mengenai cucu kesayangannya. Di tengah kondisi fisik serta mental yang terguncang, setidaknya ia senang akhirnya bisa melihat paras tampan cucunya kini tepat di hadapan.

"Bagaimana mungkin cucuku yang tampan ini adalah seorang ga—" Nenek Puspa tercekat. Mulutnya tak sanggup melanjutkan kalimat yang ingin diutarakan.

Wanita lanjut usia itu sontak menunduk, kembali terisak. Malvin mencengkeram telapak tangan, begitu kencang hingga membuat otot tangannya menyembul keluar membuat cetakan terlapis kulit pria itu.

"Nenek percaya dengan rumor tersebut?" tanya Malvin merasa kesal.

Bagaimana bisa dia justru dirumorkan menjadi seorang gay?!

Setelah membereskan Andreas serta penerbit majalah yang menulis berita bohong tentangnya. Masalah ini ternyata tetap belum terselesaikan. Terlihat dari Nenek Puspa yang masih terpengaruh dengan berita hoax tentangnya. Belum lagi tatapan Kakek Rama yang terus memelototinya, sampai-sampai bola matanya mungkin akan keluar.

"Nenek berusaha untuk tidak percaya, tetapi melihat dari sikapmu selama ini yang tidak mau dijodohkan atau pun menghadiri kencan buta. Nenek jadi yakin," cetus Nenek Puspa kembali terisak.

Membuat Malvin bertambah kesal, bagaimana bisa itu dijadikan alasan yang kuat. Padahal ia hanya tidak mau menghabiskan waktunya yang berharga hanya untuk kencan buta yang tiada habisnya.

Kini tubuh berbalut pakaian rumahan yang terlihat elegan itu dipeluk oleh Kakek Rama.

"Tenang Istriku. Jangan menangis lagi. Aku sedih jika kamu menangis terus," tukas Kakek Rama berkaca-kaca memandangi sang istri.

Malvin membuang napasnya pelan, merasa jemu dengan pemandangan di depan mata. Melihat jam di pergelangan tangan ia mendesah. Waktunya telah terbuang banyak di mansion ini. Saat ini juga ia harus menjelaskan bahwa hasrat seksual dalam dirinya tidak berlainan. Kemudian, ia harus kembali bekerja serta menghadiri rapat.

"Perlu aku tekankan saat ini. Aku normal dan aku bukan gay!" tegas Malvin memberitahu, berhasil mengalihkan atensi Kakek Rama serta Nenek Puspa.

"Syukurlah," Riang Nenek Puspa begitu antusias. Ternyata apa yang ia khawatirkan tidak benar adanya.

"Dengan apa kamu membuktikan itu? Apakah dengan mau menghadiri kencan buta besok siang?" tantang Kakek Rama mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Aku sibuk!" tandas Malvin merapatkan gigi.

"Malvin, nenek senang bahwa kamu pria yang normal. Tetapi umurmu sudah menginjak 29 tahun. Setahun lagi menginjak kepala tiga. Apa tidak ada pikiran untuk menikah?" tanya Nenek Puspa dengan lembut. Mencoba membujuk cucunya.

Walaupun ia tak terang-terangan meminta cucunya menghadiri kencan buta. Namun, dalam lubuk hati Nenek Puspa sangat ingin cucunya itu merasakan cinta kemudian menikah dan memiliki anak. Walaupun ia tahu betul, kenapa cucunya gila kerja sampai seperti ini.

"Mungkin dia ingin menikahi pekerjaannya, istriku. Padahal aku sudah susah payah menggaet anak tunggal perusahaan InterPress Group untuk kencan buta besok siang," keluh Kakek Rama membuang napasnya kesal.

Malvin kembali melihat jam di pergelangan tangan. Ia harus segera kembali serta menyelesaikan permasalahan ini.

"Aku akan pergi ke kencan buta itu. Nenek tidak perlu khawatir aku pasti akan menikah," ucap Malvin, jika ia sudah memutuskan. Maka, ucapannya mutlak akan dilakukan.

Kakek Rama dan Nenek Puspa melongo mendengar penuturan Malvin. Tidak percaya akhirnya sang cucu mengatakan keinginannya untuk menikah.

"Aku harus pergi sekarang!" imbuh Malvin ia pun segera beranjak dari duduknya. Setelah pamit pria itu langsung melenggang ke luar kamar. Meninggalkan Kakek Rama serta Nenek Puspa yang kemudian saling tatap dengan pikiran yang sama. Apakah benar Malvin berniat untuk menikah?

***

"Kosongkan jadwalku selama satu jam besok siang," pinta Malvin kepada Savian, sekretarisnya.

"Jika seperti itu. Saya harus mengundurkan rapat dengan klien. Jadi alasan apa yang harus saya berikan?" tanya Savian membenarkan letak kacamata dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya tengah sibuk menggenggam iPad memeriksa jadwal.

"Aku akan menemui calon istriku," tandas Malvin dengan santainya.

"Ha! Calon istri?" seru Savian tampak terkejut mendengarnya.

"Iya, aku akan menikahi wanita yang hadir di kencan buta besok. Siapa pun wanita itu!" tukas Malvin mengambil keputusan.

"Pak CEO sudah mengenal wanita itu?" tanya Savian memastikan.

"Belum. Besok aku akan mengenalnya," jawab Malvin dengan enteng.

"Kenapa Pak CEO ingin menikahnya?" tanya Savian akhirnya. Karena ia bahkan meragukan pikiran menikah itu terlintas di pikiran Malvin, atasannya sejak lama.

"Yeah, aku tak ingin hasrat seksualku dipertanyakan dan juga waktuku terlalu berharga jika terus digunakan untuk perjodohan. Jadi selesaikan saja permasalahan ini sekaligus," terang Malvin memberitahu. Savian langsung mengangguk mengerti. Paham betul dengan tabiat serta karakter atasannya selama ini.

Jika Malvin sudah memutuskan berarti keputusan itu sudah mutlak bahkan mungkin untuk kisah cintanya yang diputuskan tanpa ragu.

Kira-kira wanita seperti apa yang akan ditemuinya?

***

"Hiks ... hiks ... hiks," tangis Moza membaringkan wajahnya di meja.

"Jadi karena itu lo galau kek gini. Aduh! Sudah sepuluh tahun berlalu loh. Lo masih aja ngarepin si Rendy," sungut Thara duduk berhadapan dengan Moza yang galaunya gak ketulungan di kedai seblak pinggir jalan.

"Huhu .... Ya, kan gue cinta," jawab Moza mengusap air matanya.

"Lagian bisa-bisanya si Rendy malah pacaran sama cewek yang lebih muda. Bukannya lebih dewasa loh ya. Dari segi penampilan juga keknya cantikan lo," gerutu Thara ikut kesal. Melihat nasib sahabatnya yang terlanjur ngenes.

"Tapi dia itu imut gak kaya kue yang amit-amit. Hiks! Hidup gue ngenes amat ya Tuhan. Udah jomlo miskin lagi. Mana bulan ini gue belum setor buat nyicil pinjaman," keluh Moza membenturkan kepalanya merasa pusing.

Kira-kira ia harus nyari uang di mana lagi? Haruskah ia mengambil kerja sambilan sebagai freelance, tapi itu sangat menyita waktu serta tenaga. Belum lagi kerjaan di kantor. Bisa-bisa berhari-hari Moza tidak tidur mengerjakan double project. Wanita itu menghela napas merasa lelah.

"Utututu sayangnya aku. Tenang sahabatmu ini kan anaknya konglomerat." Sombong Thara yang memang anak tunggal salah satu konglomerat di negeri ini.

"Enggak! Gue gak mau ngutang lagi ke elu. Abis tiap ngutang minta jaminan mulu. Pas udah dilunasin jaminan gue yang lu ilangin. Masih inget, kan lu sama jam tangan kesayangan gue?" Sinis Moza dengan kesalnya teringat kembali dengan kejadian bulan lalu.

"Hehe, ya maaf." Thara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Atau gini aja lu mau gak kerja sambilan jadi joki gantiin gue di kencan buta besok?" tawar Thara berhasil mengalihkan atensi Moza.

"Heh! Yang kencan buta siapa yang dateng siapa!" sungut Moza menolak mentah-mentah.

"Ayolah bantu gue sesekali. Gue capek pergi kencan buta mulu. Kalo gak dateng bisa-bisa bokap gue narik kartu atm gue. Emang sih gue punya penghasilan tapi kan masih gak nyukup. Hidup sahabat lu tengah dipertaruhkan ini," terang Thara membujuk Moza dengan wajah sok memelas.

"Tinggal terima aja napa. Lu juga kan jomlo," timpal Moza memberi alasan.

"Gue mau menemukan jodoh gue sendiri dan gue gak mau kalah dari Bokap gue" aku Moza bertekad dengan kedua mata bersinar.

"Permasalahan anak konglomerat emang beda," cetus Moza membuang napas pelan.

"Nah, buat ngilangin rasa galau lo karena Rendy, mending lo gantiin gue. Patahin harapan cowok yang dijodohin sama gue. Buat kencan buta itu berakhir dan gue bakal bayar lo kontan sebagai upah kerja sambilan, gimana?" bujuk Thara lagi tak gentar.

Moza menarik napasnya pelan, seumur-umur dia belum pernah pergi ke kencan buta. Jika kali ini Thara meminta bantuannya. Sepertinya ia bisa membantu. Lagian ia juga sedang BU alias butuh uang. Ya, demi nama persahabatan serta kebutuhan hidupnya Moza akan menyetujuinya kali ini.

Kira-kira pria seperti apa yang akan ditemui Moza?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status