Satu Minggu yang lalu.
Lantai delapan Batara Group Gedung Pusat. "Za, lo tahu gak rumor tentang CEO baru kita?" cetus Tiara memepetkan kursi kerja. Seperti biasa pasti akan ada sesi menyebarkan rumor atau gosip di sela kerja harian dengan rutinitas yang sama. "Apa emang?" timpal Moza penasaran. Mendekatkan telinga. "Katanya CEO baru kita itu pasien sakit jiwa," bisik Tiara dengan mata jelalatan mengantisipasi atensi karyawan lain yang tiba-tiba memperhatikan mereka. "Ha? Masa sih kok bisa?" tanya Moza penasaran dengan mata terbelalak karena info ini baru didengarnya. "Hush! Jangan kenceng-kenceng, bisik-bisik aja. Jangan lupa pura-pura kerja!" bisik Tiara benar-benar waspada level tinggi. "Iya iya terus kenapa kok bisa disebut pasien sakit jiwa?" bisik Moza mengulangi pertanyaannya. "Katanya Pak CEO terkenal banget di kantor New York dan kantor ini sebelumnya. Sebagai pasien gangguan kecemasan yang akan melakukan semua yang dia katakan. Seorang pendukung fanatik dari larangan berpacaran sesama pegawai," jelas Tiara menekankan suara di setiap kalimat yang ia ucapkan. "Yang paling dia benci itu berbohong. Kalau ada karyawan yang berbohong pasti akan langsung dipecat," tandas Tiara berhasil membuat Moza merinding. Mengetahui ternyata sekejam itu pimpinan baru perusahaannya. "Jangan sampai kita berurusan langsung dengan CEO baru. Untungnya kita cuma karyawan rendahan yang sudah diangkat jadi karyawan tetap," desah Tiara terdengar begitu bersyukur untuk posisinya sekarang. Walaupun pasti setiap karyawan ingin mendapatkan promosi menduduki jabatan yang lebih tinggi. Namun, kenyamanan dalam bekerja itulah yang terpenting. *** Dengan jelas Moza masih mengingat percakapan di kantor minggu lalu saat Tiara memberitahukannya tentang gosip CEO baru dengan julukan "Pasien Sakit Jiwa" yang sangat membenci kebohongan dan tak segan-segan memecat karyawannya yang berbohong. Dengan susah payah Moza menelan saliva. Merutuki perilakunya beberapa menit yang lalu dan yang lebih parahnya lagi kini ia masih harus berhadapan dengan Pak CEO di restoran ini. 'Tidak! Aku tidak bisa kehilangan semuanya! Pekerjaanku, upahku, sewa kedai bakso orang tuaku. Kalau bisa aku harus mempertahankan hal yang sudah aku mulai. Di kantor, kecil kemungkinan akan bertemu dengan Pak CEO karena aku hanya karyawan biasa dan untuk sekarang aku harus berhasil membuatnya ilfeel dengan kebohonganku kini.' "Ada yang aneh Nona Thara?" tanya Malvin menanggapi reaksi Moza. "Ah, tidak! Saya hanya sangat mengagumi, Tuan sebagai CEO Batara Group," kilah Moza menyunggingkan senyum paksa di kedua sudut bibir. "Ah iya, apakah Tuan Malvin tidak masalah jika saya suka bermain dengan pria?" cetus Moza menatap pria di hadapan yang mulai memperhatikannya. "Untuk hanya sekedar bermain dengan pria saya tidak masalah," jawab Malvin seraya meletakan cangkir berisi Hot Espresso. "Yang saya maksud bukan hanya sekedar bermain, Tuan. Tapi saya juga tidur bersama dengan pria. Satu lawan satu, satu lawan dua, dua lawan tiga. Bermain dengan pecut, rantai, saya sangat suka hal tersebut," ucap Moza dengan percaya diri. "Begitulah saya, karena saya sangat bodoh dan tidak tahu apa-apa. Yang bisa saya lakukan hanya memikirkan pria serta bersenang-senang," lanjut Moza mengibaskan rambutnya dengan genit seraya tersenyum kecil. 'Kau pasti ilfeel, kan denganku? HAHA!' "Saya suka sikap jujur, Nona. Sikap yang cukup baik," ucap Malvin kembali meraih cangkir minumannya. Doeng! "Ha! Apa?" cetus Moza tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Sebelum Malvin mengulangi perkataannya Moza segera memotong. "Saya tidak mengira kejujuran saya dihargai. Tapi, saya bukan wanita yang baik, Tuan. Saya akan memberitahu wanita seperti apa saya." Tanpa menunggu persetujuan, Moza justru merangkak melewati meja mendekati Malvin. Wanita itu tak peduli dengan atensi pengunjung lain yang terus memperhatikannya dengan tatapan melongo. 'Kumohon pergilah! Agar aku tidak melanjutkan niat gilaku ini!' rutuk Moza menatap pria di hadapan yang justru tak bergeming. "Tuan Malvin saya adalah wanita yang sangat suka bermain dengan pria di ranjang. Saya ahli dalam hal itu, gaya depan, belakang, menungging. Ah, saya bahkan berpikir ingin melahap serta membuat Tuan meleleh," goda Moza dengan gila duduk di tepi meja tepat di hadapan Malvin yang justru tak mengatakan apapun. Wajahnya datar melihat wanita gila yang terus mengutarakan hal tak senonoh. 'Ayolah katakan apapun,' rutuk Moza dibalik senyum yang tersungging. 'Sial! Rasanya aku ingin menangis,' batin Moza menahan malu. Hingga, tiba-tiba Malvin mengalihkan atensinya menatap jam di pergelangan tangan. "Saya sudah cukup mengenal Nona untuk pertemuan kali ini. Maaf saya harus pergi terlebih dahulu karena saya ada meeting penting sebentar lagi," tukas Malvin akhirnya, berhasil membuat Moza bersorak dalam hati. Setelah mendapat anggukkan dari Moza. Malvin akhirnya melangkah pergi. Mengejar jadwal meetingnya siang ini bersama klien. "Dia melarikan diri, kan? Yeah, sudah jelas begitu! Mana mungkin seorang CEO Batara Group yang terkenal hebat itu akan mau dengan wanita yang suka main dengan pria," gumam Moza, rasa khawatir misinya akan gagal menyusup ke pikirannya. Namun, dengan cepat wanita itu mengusirnya jauh-jauh. "Haha! tidak mungkin. Misiku pasti berhasil. Aku harus meminta komisiku dengan segera. Bisa-bisanya si Thara membuatku menanggung risiko sebesar ini! Awas saja, aku akan meminta bayaran beserta bonus-bonusnya," ucap Moza menggenggam jari-jemarinya dengan erat seraya mendengkus kesal. *** Dua pendingin ruangan tampak bekerja di hari yang panas ini setelah Pak Eko mengatur suhunya ke 19 derajat celcius. Hanya suara ketikan serta suara mesin print yang tengah mencetak dokumen yang mengisi ruangan yang bisa dibilang hening ini. Bagaimana tidak, setiap karyawan kini tengah fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Hingga sebuah dering telepon masuk mengalihkan beberapa atensi karyawan ke arah Moza. Wanita itu mengangguk ke arah beberapa teman kerjanya, izin mengangkat telepon. Dilihat ternyata panggilan masuk dari nomor yang tidak diketahui. "Halo ini siapa ya?" tanya Moza meminta konfirmasi orang yang menelepon. "Ini saya Malvin," jawab Malvin di seberang sana. Moza terdiam sejenak ia tidak mengira jika Malvin akan menghubunginya langsung setelah di kencan buta kemarin sempat meminta nomor teleponnya. 'Aku kira meminta nomor telepon kemarin hanya sekedar sopan santun. Lalu sekarang kenapa meneleponku?' batin Moza bertanya-tanya dalam diam. "Nona Thara," panggil Malvin memeriksa apakah wanita yang ia telepon masih menerima panggilan. Pria itu kemudian mendengar dengkus napas Moza. "Ayo kita menikah," ucap Malvin tanpa basa-basi mengutarakan niatnya. "Ha! Apa? Menikah?" seru Moza tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Membuatnya menjadi pusat perhatian seisi kantor. Menyadari hal tersebut membuat wanita itu langsung beranjak meninggalkan kantor dengan kikuk. "Dasar karyawan makan gaji buta!" Kesal Bu Manager memicingkan mata ke arah Moza. "Maaf, Bu nanti saya tegur," balas Pak Eko seraya sedikit menunduk merasa tak enak hati karena tingkah laku Moza. Kembali ke percakapan via telepon. "Iya, saya ingin menikahi Nona Thara," ucap Malvin cukup jelas setelah mendengar kalimat konfirmasi sang penerima panggilan seraya memeriksa beberapa berkas di dalam perjalanannya kembali ke perusahaan setelah bertemu klien. "Apa Pak CEO ... tidak maksud saya Tuan Malvin bercanda?" timpal Moza masih tidak percaya. Bagaimana bisa Malvin mengajaknya menikah setelah pertemuan pertama mereka dan bukankah saat kencan buta kemarin pria itu melarikan diri? Terus kenapa sekarang malah mengajak menikah?! "Apa saya terdengar bercanda?" sangkal Malvin tak mengalihkan atensinya sedikit pun. "Ha? Saya tidak pantas untuk jadi istri Tuan dan juga kita, kan baru bertemu kemarin masa langsung menikah," tolak Moza merendah. "Kenapa tidak pantas? Nona bersedia jujur kepada saya," timpal Malvin menilai sifat baik Moza di kencan buta kemarin. 'Jujur? Apa maksudnya jujur sebagai maniak seks? Dasar gila!' rutuk Moza tak percaya. "Pokoknya saya tidak mau menikah dengan Tuan!" tolak Moza mentah-mentah. "Apakah saya tidak pantas untuk Nona? Saya cukup tampan, kaya, berbakat serta perusahaan yang saya pimpin termasuk sepuluh besar perusahaan terbesar di negri ini." Malvin mempromosikan dirinya tidak ingin ditolak. Bagaimana pun sejauh ini belum ada yang pernah menolaknya. 'Aduh! Mana bener lagi.' Moza frustasi. Kalimat penolakan apa lagi yang harus Moza ucapkan? Moza benar-benar bingung. Bagaimana pun Malvin adalah pria gila dan tipenya ternyata adalah wanita nakal. Sepertinya Moza salah strategi menghadiri kencan buta kemarin dengan berpura-pura sebagai wanita nakal super gila. Karena ternyata Malvin semesum itu. 'Sialan!' rutuk Moza meratapi nasibnya.Bab 35 Menanti Hari BahagiaSejak lamaran Malvin dan Moza viral di media, nama Moza mendadak jadi buah bibir. Beberapa portal berita menyoroti kisah cinta mereka, sebagian publik mendukung, tapi tak sedikit juga cibiran yang muncul.Moza membaca komentar-komentar itu dengan hati ciut.“Dia bukan siapa-siapa.”“CEO Batara Group menikahi gadis biasa? Lucu banget.”“Pasti cuma ngincer harta.”Ia menutup layar ponselnya dengan tangan gemetar. Nafasnya terasa berat, dadanya sesak.Pintu kamar terbuka, Malvin masuk dengan langkah tenang. Ia langsung duduk di samping Moza, menatapnya penuh selidik. “Kamu kenapa?”Moza buru-buru menggeleng. “Nggak… nggak apa-apa.”Malvin mengerutkan dahi. “Kamu baca komentar orang, ya?”Air mata Moza jatuh, meski ia cepat-cepat menyeka. “Aku takut, Vin. Mereka semua benar. Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma karyawan biasa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi istrimu? Aku… aku takut bikin malu kamu.”Malvin menarik napas panjang, lalu menggenggam jemarinya erat. “Moz
Bab 34 Lamaran yang MenghebohkanRestoran mewah itu dipenuhi cahaya lilin dan alunan musik lembut. Malvin menatap Moza dengan sorot mata penuh keyakinan, sementara kotak cincin kecil di tangannya terbuka, memperlihatkan permata yang berkilau di bawah cahaya.“Moza…” suara Malvin terdengar jelas, dalam, dan penuh ketulusan. “Maukah kamu menikah denganku?”Air mata Moza langsung jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menutup mulut dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar. Sementara hatinya campur aduk antara bahagia, takut, dan tak percaya momen ini benar-benar terjadi.“Malvin, aku…” suaranya tercekat.Malvin tersenyum samar, lalu bangkit dari kursinya, berlutut di hadapan Moza. Semua tamu restoran sontak memperhatikan mereka. Beberapa bahkan bersorak kecil, sebagian lainnya mengeluarkan ponsel untuk merekam.Moza panik melihat sorotan itu. “Vin, berdiri… orang-orang lihat!”“Biar saja,” jawab Malvin mantap. “Aku tidak malu menunjukkan pada dunia siapa wanita yang aku cintai.”Moza terisak, wajahny
Bab 33 Keseriusan MalvinKeesokan harinya, sesuai permintaan Nenek Puspa, Malvin dan Moza datang ke rumah keluarga besar Batara. Udara di ruangan terasa tegang. Semua anggota keluarga sudah berkumpul, termasuk Kakek Rama yang duduk di kursi besar dengan wajah serius.Moza menunduk sepanjang jalan masuk, merasa sangat canggung. Jemarinya sesekali menggenggam ujung rok, menahan gugup. Sementara Malvin berdiri tegak di sampingnya, wajahnya tenang namun tegas.“Kamu akhirnya datang juga, Malvin.” Suara Kakek Rama terdengar berat.“Ya, Kek. Ada apa?” jawab Malvin sopan.Nenek Puspa menatap cucunya dengan pandangan lembut, lalu bergeser pada Moza. “Kami dengar kabar, Malvin. Tentang hubunganmu dengan gadis ini.”Moza sontak menegang, jantungnya berdetak kencang. Ia melirik Malvin dengan panik, seakan ingin kabur saat itu juga. Namun genggaman tangan Malvin yang tiba-tiba menyentuh jemarinya membuatnya sedikit tenang.“Benar, Nek. Aku menjalin hubungan dengan Moza. Dan aku tidak main-main.”
Bab 32 Dukungan yang Tak Terduga Pintu ruangan CEO Batara Group masih terbuka lebar. Thara berdiri di sana, menatap dengan wajah kaget antara Moza dan Malvin yang berdiri berdekatan. Tatapannya sempat beralih ke jemari Moza yang masih dalam genggaman Malvin, membuat suasana makin canggung. Moza buru-buru melepaskan tangannya, wajahnya memerah panik. “Tha… aku bisa jelasin.” Thara menghela napas panjang, lalu melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Wajahnya tidak marah, hanya penuh kebingungan. “Jelaskan apa, Za? Aku udah tau semuanya," balas Thara membuat Moza langsung ternganga. Apa maksudnya dari udah tau semuanya? Thara mendekat ke Moza, lalu meraih tangan sahabatnya. “Za, aku justru merasa lega." Moza mengerjap, bingung. “Le … lega?” "Iya, karena kamu akhirnya bisa lupain Ryan. Aku tahu kamu sebenarnya juga ada rasa kan untuk Malvin," "Itu ...." Moza terdiam, sadar jika ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Namun, Moza juga sadar siapa dirinya. “Tha,
Bab 31Ketahuan & PengakuanLangkah Moza terasa berat ketika melintasi lobi kantor Batara Group sore itu. Tas kerja disampirkan di bahu, sementara jemarinya meremas ponsel erat-erat. Sejak beberapa hari terakhir, perasaannya tak pernah tenang. Semakin sering ia bertemu Malvin, semakin besar pula ketakutan yang membayangi: kebohongannya terbongkar.Namun, anehnya, semakin lama ia bersama pria itu, ada getaran yang tak bisa ia pahami. Tatapan mata tajam Malvin, suara beratnya yang penuh wibawa, bahkan kebiasaan kecilnya menyentuh rambut setiap kali berpikir—semua membuat hati Moza berdebar tak karuan.“Aku nggak boleh baper … ini semua cuma akting. Ingat, Moza,” batinnya menegur diri sendiri.Sayangnya, logika tak pernah mampu melawan rasa.***“Masuk,” suara berat Malvin terdengar jelas ketika pintu ruangannya diketuk.Entah kenapa tiba-tiba Thara alias Moza yang menyamar diminta untuk datang langsung ke kantor menemui Malvin secara langsung. Moza melangkah masuk dengan hati-hati. Pand
"Kumohon Tuan rahasiakan kebenaran ini," bujuk Thara dengan wajah memelas. Savian mematung di tempat, ia sudah memprediksi respon Thara. Namun, ia tak menyadari jika dirinya akan segoyah ini. Thara meraih kedua tangan Savian kemudian menggenggamnya dalam satu telungkupan tangan. Wanita itu bersungguh-sungguh dengan permintaannya. "Mungkin akan sangat sulit karena di satu sisi Tuan adalah karyawan Batara Group. Tapi saya mohon untuk satu ini, demi kebaikan bersama. Karena Moza menggantikan saya juga karena saya memaksa dia. Jadi ini semua salah saya. Jika Moza sampai dipecat, hubungan persahabatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun pasti hancur. Saya mohon Tuan, tolong jangan beri tahu identitas Moza yang sebenarnya ke Malvin," pinta Thara dengan kedua bola mata berkaca-kaca menatap pria di hadapannya.Savian mendesah sepertinya ia memang sudah goyah sejak awal. "Baiklah Nona saya tidak akan memberitahukan Pak CEO tentang kebenaran Nona Moza," cetus Savian setelah tahu tentang