Amanda menahan bara kayu itu dengan tangan kosong, dan sisa kekuatannya ia gunakan untuk mendorong kayu itu ke arah pelayan yang hendak melukainya. Detik berikutnya terasa lambat, saat api melalap rambut pelayan itu. Jeritannya memenuhi isi ruangan tak lama sampai ia berlari di iringi temannya keluar dari kamar Amanda. Gadis itu masih gemetar ketakutan dengan tangan melepuh parah dan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Kembali Amanda tak sadarkan diri.
Hari sudah menjelang sore saat Amanda merasakan perih di sekujur tubuhnya. Netra ungunya terbuka sedikit saat melihat seseorang sedang mengobatinya.
“Apakah perih? Kau meringis ketika ku obati, padahal kau tak sadarkan diri.” Madam Croiz terlihat khawatir.
Amanda langsung duduk gemetar dengan posisi mempertahankan diri. Apa wanita ini juga akan mencoba membunuhku?
“Tenanglah, aku tak sama seperti mereka. Aku di pihakmu putriku,” terang Madam Croiz.
Usapan pelan di lengan Amanda entah
Terimakasih telah membaca ceritaku. Tolong dukung penulis dengan VOTE, Subscribe, dan beri bintang lima buku ini. Setiap dukungan sangat berarti untuk Author, sayang kalian banyak-banyak.
“Anda bercanda ‘kan?” Amanda tahu hal itu bukanlah sebuah lelucon tapi berdiskusi tentang menghilangkan nyawa seseorang, Amanda lebih berharap kalau dialog ini hanyalah sebuah candaan. Lagipula Madam Croiz adalah orang baik pertama yang membuatnya nyaman, di istana ini. Kuharap ia bisa berpikir kembali tentang apa yang ia ingin lakukan. Madam Croiz tampak kecewa mendengar pertanyaan Amanda. “Baiklah putriku, kuharap kau membuka kedua matamu lebar-lebar dan melihat baik-baik siapa sebenarnya monster yang kau nikahi,” desis wanita berpipi gelambir itu, dan sebelum ia beranjak keluar dari kamar Amanda, Madam Croiz berbisik, “Jangan pernah bertanya apapun pada siapapun di istana ini putriku, mereka semua kaki tangan Pangeran Hitam yang setia. Salah-salah kau bisa dilaporkan dan langsung dieksekusi.” Amanda mengangguk, kembali ia merasakan rasa perih di sekitar kulitnya yang melepuh dan panas mulai menjalar di tubuhnya. Malam ini sepertinya aku akan demam.
Pangeran Hitam terkejut mendengar laporan Andreas. “Membakar?” tanyanya geram. “Ya Tuan, sebelumnya ia melemparkan makanan karena tak menyukai apa yang dihidangkan wanita itu membakar pelayan.” Pangeran Hitam tak menanggapi apapun, dengan langkah cepat ia menuju kamarnya. Tapi tak ada tanda-tanda gadis itu di kamarnya. “Mana dia?!” “Ia pindah ke kamar lain, karena tak ingin berada di dekat Tuan. Nyonya White berada di kamar selatan,” jelas Andreas. Tampaknya keluarga penyihir itu memang gemar membakar orang! Pangeran Hitam mengepalkan kedua tangannya. BRAK! Pintu kamar Amanda terbanting membuka dengan keras, gadis itu sampai te
Rion langsung berlutut memberi hormat, Amanda mengikutinya dari belakang. Gadis itu nyaris limbung, kepalanya benar-benar berat, dan tangannya semakin perih serasa ditusuk ribuan duri. "Amanda, apa kabarmu? Aku sempat kecewa karena kau tak bersama Rion menghadapku tadi pagi," ujar Raja Abraham. Rion bergidik mendengar keramahan Ayahandanya. "Baik…," jawab Amanda lemah, yang terdengar tak bersemangat oleh Rion. Wanita ini menjawab Raja dengan malas-malasan?! "Hmm… Apa kalian sedang bertengkar?" tanya Raja Abraham. Amanda dan Illarion langsung menatap ranjang tertutup kelambu merah maroon ketika mendengar pertanyaan itu. Baginda Raja terkekeh melihat sepasang muda-mudi di had
Jantung pria itu seakan berhenti berdegup melihat luka bakar di telapak hingga lengan Amanda yang tertutup lengan baju. Sekarang Rion bisa merasakan suhu tubuh Amanda sangat panas. Perhatian Rion kembali pada luka bakar di tangan Amanda, tiba-tiba rasa takut merayap di punggungnya. Illarion langsung menarik Amanda kedekapannya dan menggendong gadis yang tak sadarkan diri itu keluar kamar Baginda Raja. Tanpa santun dan mengucapkan pamit pada Raja sebelumnya. Illarion berlari cepat ke tempat para tenaga medis kerajaan berada. “Jangan mati … jangan mati … bertahanlah,” ulangnya dalam hati. Digendongannya Amanda nyaris tak bernapas. *** Warna senja yang terlihat seperti bara api dari jendela kamar langsung terhalang gorden gelap yang ditarik oleh Pangeran Hitam. Illarion sangat benci melihat cahaya jingga itu, membua
Manik ungu Amanda melebar karena ketakutan. "Ma-maaf Tuan, hamba tak mengerti mak-maksud Tuan." "Siapa orang tuamu?" "Ba-baron Broke," jawab Amanda gagap. Dia bahkan tak menutupi bahwa Ayahnya seorang 'baron'. Berarti dia bukan pembantu di rumah itu, jika ia berbohong maka akan mengatakan hal yang sama seperti ayahnya kalau mereka bangsawan sekelas 'duke'. "Siapa Gisella?" tanya Illarion lagi. "Adikku." Alis mata Illarion naik sebelah. Adiknya? Kenapa ia diperlakukan separah itu oleh adiknya? Mereka 'kan tak saling merebut daerah kekuasaan. Illarion semakin tak paham,
"Ti-tidak … bukan aku, sungguh," jawab Amanda ketakutan. Madam Croiz! Amanda menoleh ke tempat kepala pelayan itu. "Ketika datang aku sudah menyangka bahwa Nyonya bukanlah orang yang baik. Begitu tiba Anda langsung makan tanpa menunggu Pangeran Hitam, Anda sama sekali tak menghormati Tuan kami,” cecar Madam Croiz tiba-tiba. Aku bahkan belum makan sama sekali saat pertama kali datang hingga ke esokan harinya. Apa maksud Madam Croiz? “Anda juga meminta pindah kamar, padahal Tuan sudah berbaik hati berbagi kamar dengan Anda. Sungguh Anda orang yang tak tahu budi.” Jadi aku pindah ke kamar ini bukan karena di usir oleh Pangeran Hitam? seperti penuturan Madam Croiz.
Tak berapa lama para pelayan masuk dan membereskan jasad Madam Croiz. Amanda masih berada dalam pelukan Illarion. Dekapan pria itu seolah ingin mengurangi trauma yang Amanda terima, tapi itu tak mungkin. Ia tak pernah melihat seseorang mati terbunuh di depan mata kepalanya sendiri-walau dalam hal ini, Amanda membelakangi si korban- tapi selain darahnya sendiri dan darah binatang yang akan ia masak, gadis itu tak pernah melihat genangan darah sebanyak itu dari tubuh seseorang. "Kau pindah ke kamarku, tampaknya kamar ini sudah tak bisa terpakai lagi," ujar Pangeran Hitam sambil melepaskan pelukannya pada Amanda. "Sekamar dengannya? Aku bahkan terlalu takut untuk menolak," batin Amanda dan seiringi pemikirannya itu, pandangan gadis berbadan mungil itu menggelap. Ia kembali tak sadarkan diri karena tak sanggup melihat darah yang nyaris memenuhi pojok ruangan. Den
Beberapa pelayan mulai saling melihat dengan pandangan mata ketakutan. Belum genap seminggu Pangeran Hitam menempati istana ini, tapi sudah tiga mayat mereka kuburkan. Apa hari ini akan bertambah mayat yang ke-empat? Benak para pelayan di ruang makan diisi pemikiran seperti itu. Kucing hitam itu mengejar ekornya sebentar sebelum memakan sepotong daging ayam panggang dari tangan Pangeran Hitam, “Anak pintar,” puji Illarion. “Kau harusnya memberi contoh Tuanmu, makan dengan lahap apapun yang dihidangkan,” sindir Pangeran Hitam. Sadar akan sindiran itu, Amanda langsung memenuhi piringnya dengan hidangan di atas meja dan menyantapnya. Senyum manis terbit dari bibir Pangeran Hitam, dan semua pelayan terpaku melihat adegan itu, bukan hanya karena senyuman manis yang jarang