“Apa, seriusan kamu kuliah lagi, Sa?” seru Rinka kaget, matanya langsung membesar. Savana tersenyum lebar, pipinya bersemu antusias. “Iya, Rin. Aku lanjut lagi mulai semester ini.” “Lanjut dari awal?” tanya Rinka cepat, nadanya penuh penasaran. Savana menggeleng sambil tertawa kecil. “Enggaklah. Suami aku yang urus semua administrasinya, jadi aku bisa lanjut dari semester empat.” “Kurang dua tahun lagi aku udah kelar sampai semester delapan.” Rinka ternganga, lalu bersandar di kursinya. “Gila sih … keren banget! Enak banget kamu ada yang support gitu.” “Iya, dia yang paling semangat malah. Dia bilang, ‘Sayang, kamu harus tamat kuliah. Aku bantu urus biar kamu nggak ribet, anak-anak juga udah bisa ngerti kalau Ma
“Mama,” panggil Elvano dari kursi belakang, suaranya jenaka tapi serius. Savana menoleh sambil tersenyum, mata hangatnya bertemu tatapan anak itu. “Ada apa, sayang?” “Gimana rasanya kuliah?” tanyanya sok dewasa, seperti sedang mewawancarai. Savana terkekeh kecil. “Seru, sayang. Mama bisa ketemu banyak teman.” “Mama punya temen?” Elvara ikut nimbrung dengan mata berbinar, benar-benar penasaran. “Punya dong,” Savana mengangguk cepat. “Banyak malah. Nanti kalau Mama ada tugas kelompok, Mama ajak mereka ke rumah, ya? Soalnya Mama gak bisa kerja kelompok di luar.” Tatapannya sekilas melirik ke arah Daryan, suaminya, sebelum kembali ke anak-anaknya. “Mama kan udah punya kalian. Gak bisa keluar rumah sembarangan kalau Papa belum kasih izin.” “Kenapa Papa gak kasih izin?” Elvano langsung menoleh, menatap ayahnya lewat kaca spion tengah. Daryan tersenyum miri
Savana duduk dengan tenang di bangku perpustakaan kampus, dikelilingi tumpukan buku tebal yang berisi materi kuliah yang harus ia pelajari. Matanya sesekali menyapu halaman buku, tapi tak lama kemudian pandangannya tertuju pada foto kecil yang menjadi wallpaper lock screennya. Foto itu memperlihatkan dua anak kembarnya yang tengah tersenyum ceria, wajah polos mereka seolah memancarkan kebahagiaan yang tak tergantikan. Savana menarik napas dalam-dalam, mengusap pelan layar ponsel seolah ingin menghirup semangat dari senyum mereka. "Mereka alasan aku harus kuat," gumamnya dalam hati. Tiba-tiba, dari sebelahnya terdengar suara lembut, "Eh, kamu kenapa ngelihatin foto itu terus? Siapa mereka? Ponakan kamu, ya?" Savana menoleh dan melihat seorang gadis yang dia yakini lebih muda darinya dengan mata penu
“Mas, makasih ya buat semuanya?” Savana mengulum senyum manis, membuat lesung pipinya terlihat jelas. Ia lalu memeluk sang suami, mencium rahang dan pipinya. “Sama-sama, Sayang.” Daryan membalasnya dengan ciuman singkat di bibir. “Aku mau pindahin anak-anak ke kamarnya dulu, kamu bawa Vara, ya?” “Loh, kenapa?” kening Savana mengkerut, “Mereka kan mau tidur di sini.” Ia menatap kedua anaknya yang sudah terlelap di atas ranjang mereka, saling memeluk satu sama lain. Terutama Elvano yang seolah ingin melindungi sang adik. Daryan berdehem pelan, “Kamu ada tugas penting, Sayang. Malam ini rutinitas kita.” “Astaga, Mas!” Savana mendengus pelan. “Masih ada besok.” “Percaya sama aku, anak-anak kalau dibiasain tidur di sini ... nanti kita gak punya privasi.” Tanpa menunggu respon sang istri, Daryan turun dari ranjang dan menggendong putri
“Sayang, sini,” Daryan menarik lengan Savana agar berbaring di sebelahnya di atas ranjang. Savana menurut, menatap sang suami dengan kening mengkerut. “Kenapa, Mas?” “Aku mau tanya sama kamu, gimana soal kuliah kamu,” ucap Daryan dengan nada tenang, lembut dan santai. “Anak-anak udah pada gede, usia tiga tahun bisa lah ditinggal tiga atau empat kali dalam seminggu. Kamu gimana? Mau lanjut kuliah dan kejar cita-cita kamu, atau tetap jadi IRT?” tanyanya panjang kali lebar. Untuk beberapa saat Savana terdiam, ia memikirkan lagi. Umurnya yang sekarang, masa kuliah dan juga hal lainnya. Tapi mengingat dokter adalah cita-citanya, dia ragu untuk menolak, tapi kalau dia setuju dan berhasil meraih gelar itu—apakah dia akan menjadi dokter atau pada akhirnya tetap jadi ibu rumah tangga? Daryan kembali menambahkan, “Aku gak akan halangi keinginan kamu. Aku juga gak m
Daryan dan Savana duduk di bangku kayu yang menghadap ke area playground di salah satu pusat perbelanjaan. Suasana mall yang ramai dengan tawa anak-anak dan suara orang tua yang mengawasi anaknya membuat suasana hangat terasa menyelimuti. Elvano dan Elvara, si kembar kakak beradik itu, tengah asyik bermain perosotan dan ayunan bersama anak-anak lain, terkadang saling berkejaran kecil tanpa sengaja membuat hati Daryan dan Savana sedikit was-was. "Kadang aku masih gak nyangka, kita punya mereka berdua sekaligus," kata Savana sambil tersenyum tipis, matanya tak lepas dari gerak-gerik Elvano yang mencoba meraih mainan baru. Daryan mengangguk, meletakkan tangan di pangkuan Savana, "Iya, dua bocah kecil yang kadang bikin kita pusing, tapi juga jadi alasan kita kuat." Savana menarik napas panjang, "Jujur, aku bersyukur banget punya kalian bertiga. Rasanya hidup aku ja