Ting tong. Baru saja Savana keluar dari kamar, tiba-tiba bel penthousenya berbunyi. Kakinya yang tadi hendak melangkah menuju dapur otomatis beralih menuju pintu. Begitu pintu dibuka, senyum hangat Minah menyapanya. "Bi Minah?" Savana terlihat antusias melihat ART di penthousenya itu, ini sudah ketiga kalinya mereka bertemu dan lumayan akrab. "Ayo masuk, bi." "Terima kasih banyak, non," balas Minah seraya melangkah masuk, "Hari ini weekend, Tuan Daryan biasanya seharian di penthouse. Tapi walaupun begitu, beliau masih kerja di ruang kerjanya." Kata Minah sambil berjalan menuju dapur diikuti oleh Savana di sebelahnya. "Oh gitu ya, bi?" "Iya. Setiap weekend saya datang tiga kali ke sini buat masak sarapan, makan siang, sama makan malam nanti," jelas Minah yang hanya diangguki oleh Savana. "Kebetulan banget tadi aku keluar kamar mau masak buat sarapan. Eh Bibi juga dateng buat masak. Kalau gitu kita masak bareng aja kayak kemaren, sekalian aku mau belajar." "Boleh, non," balas Min
"Permisi, Nyonya," seru pelayan begitu tiba di ruang tengah, menghampiri wanita paruh baya yang dia sebut Nyonya itu. "Ada tamu di luar, mau bertemu sama Nyonya." Wanita paruh baya itu adalah Ajeng, dahi keriputnya berkerut sebelum bertanya. "Siapa?" "Namanya ...." belum sempat pelayan itu menyelesaikan ujarannya, tamu yang dimaksud menyelonong masuk ke ruang tengah seolah sudah terbiasa datang ke tempat ini. "Halo, tante!" seru Bella bersemangat, kaki jenjangnya melangkah anggun menghampiri ibu dari teman masa kecilnya itu. Ajeng terkejut sekaligus senang akan kedatangan Bella, mengingat mereka cukup lama tidak bertemu. "Bel, ini kamu?" Ajeng langsung berdiri dan menyambut pelukan Bella dengan hanga,. "Kamu ke mana aja selama ini, Bel. Kenapa tidak ada kabar?" Bella melepaskan pelukannya. "Ya ampun, tante. Serius masih tanya aku ke mana aja selama ini? Aku kan kerja, sibuk banget. Maklum wanita karir, tan. Banyak banget job pemotretan di luar negeri. Emang tante beli pakaian da
Daryan dan Savana baru saja tiba di penthouse setelah melewati perjalanan pulang dari rumah orang tua Savana. Sebelumnya, Hana menawarkan mereka berdua untuk makan malam bersama di sana, tapi Daryan menolak dengan alasan ingin membawa Savana periksa ke rumah sakit. Selama perjalanan pulang, keduanya sama-sama diam. Tak ada yang membuka percakapan lebih dulu. Terlebih Savana masih kaget atas tindakan Daryan di rumahnya tadi. "Mas ...." panggil Savana pada Daryan begitu pria itu hendak masuk ke kamarnya. Daryan menoleh sedikit, satu tangannya memegang gagang pintu kamar. Tatapannya lurus pada Savana, menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya. "Kenapa mas harus berbohong sama mama saya?" Suara Savana terdengar lirih, ragu akan pertanyaannya tapi dia penasaran. Dahi Daryan berkerut tipis sebelum ia berbalik penuh menoleh ke arah Savana. "Memangnya harus seperti apa? Kamu mau saya jujur kalau saya tadi memarahi kamu karena pergi tidak bilang-bilang?" "Bukan itu maksud aku," "Lalu ap
"Selamat sore, ma," sapa Daryan pada ibu mertuanya, senyum tipis tersungging di wajahnya yang tampan. "Sore, Nak. Kamu ... dari mana?" Daryan tak segera menjawab, pria itu mengulurkan sebuah parsel buah pada Hana. "Buat mama, maaf kalau saya datangnya tidak barengan dengan istri saya. Kebetulan tadi saya ada kepentingan mendadak di kantor, jadi saya kesana sebentar dan menyuruh Savana untuk berangkat lebih dulu," jelas Daryan panjang lebar. Hana mengangguk cepat, paham akan kesibukan menantunya yang menjabat sebagai CEO perusahaan besar. Hana lantas meraih parsel buah tersebut, tak lupa mengulas senyum. "Kamu tidak perlu repot-repot bawain mama buah segala, Daryan. Cukup kamu datang, saya sudah sangat senang." Daryan tersenyum tipis, "Mana mungkin saya datang berkunjung ke rumah mertua dengan tangan kosong," "Ga masalah buat saya. Oh iya, kalau begitu silahkan masuk. Istri kamu ada di dalam. Tapi Savana tahu kan kalau kamu menyusul?" Pria itu terdiam, tak memberi respons pasti
"Savana, kenapa kamu dateng ke rumah ga bilang-bilang dulu sama mama?" Hana langsung mengajukan pertanyaan ketika mereka sudah duduk di ruang tamu sambil berhadapan satu sama lain. Savana menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca kemudian tanpa aba-aba langsung memeluk Hana dengan erat. "Ma ... maafin aku, ya?" Air matanya langsung tumpah tak bisa ditahan. Hana tersentak sebelum akhirnya membalas pelukan putrinya sembari tangannya mengusap punggung kecil Savana. "Minta maaf buat apa, Nak?" "Buat semuanya," suara Savana bergetar, wajahnya masih tenggelam di dada sang ibu. "Aku minta maaf karna ga obrolin pernikahan aku sama Mama, aku ga ada minta persetujuan mama. Dan gara-gara aku, mama dijulidin orang-orang." Hana menghela napas pendek, "Mama ngerti perasaan kamu, Nak. Tapi harusnya yang minta maat di sini itu Mama, bukan kamu." Savana melepaskan pelukannya dan menatap sang ibu kemudian menggeleng tegas. "Ngga, ini salah aku, bukan salah mama. Kenapa jadi mama yang harus minta ma
'Maaf ya mbak Bella. Aku bikin minumannya kelamaan, maklum jarak dari ruang tamu ke dapur lumayan jauh dan aku juga ga bisa jalan cepet. Itunya aku sakit banget, perih mbak.' 'Ya biasa suami istri baru nikah kalau malem pertama ga bisa ditahan, jadi langsung gas. Mana aku masih perawan kan, baru pertama kali mahkota aku dibobol. Ditambah lagi, mas Daryan liar banget semalem.' BRAK! BRAK! Bella memukul setir mobilnya berulang kali menggunakan tas branded miliknya mengingat ucapan Savana tadi di penthouse. Ia melakukannya untuk melampiaskan amarah dan rasa kekesalannya, tak peduli meski tas seharga puluhan juta itu rusak. Savana sengaja mengatakan itu pada Bella untuk memanas-manasinya. Dan gadis itu berhasil, Bella benar-benar cemburu dan iri atas apa yang didengarnya meski tak tahu kebenarannya. Setelah berhasil melampiaskan amarahnya, Bella terdiam sejenak. Ia menarik napas pelan untuk menenangkan emosinya yang masih menggebu-gebu. "Tenang, tenang. Aku marah, aku cemburu, dan