Halo semuanya, jangan lupa mampir ke buku baruku ya. Berjudul "Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku" (≧◡≦) Jangan lupa tinggalkan ulasan bintang lima dan juga jejak komentar, terima kasih(≧◡≦)
Saat ini Daryan baru saja tiba di basement apartemen istrinya. Ia tak langsung turun untuk naik ke lantai atas, melainkan memeriksa apakah sang istri sudah tiba di apartemen. Daryan mengeluarkan iPadnya, dan terlihat sang istri sudah pulang. Ia mengangkat alis saat Savana terlihat duduk di tepi ranjang dengan jumper bayi biru muda yang dipeluk erat. Wajahnya yang biasanya penuh kelabu kini terlihat hangat. Bahagia. Savana menciumi pakaian mungil itu, seolah sedang memeluk bayi. Daryan mengerutkan kening, hatinya mendadak bergetar aneh. Ia tak tahu pasti apakah itu kelegaan, haru, atau justru kecurigaan. Segera, ia meraih ponselnya dari saku jasnya dan menekan nama istrinya di layar ponsel. Savana mengangkat setelah beberapa detik, suaranya terdengar agak parau, mungkin karena tangis yang sempat reda. “Halo?” “Aku di basement,” ujar Daryan singkat. “Aku di jalan mau ke apartemen kamu. Aku pengen ketemu sama kamu sayang, boleh kan? Kamu udah pulang kan dari konseling?” Sav
“Halo, dok,” sapa Savana begitu panggilannya dengan Arfan tersambung. “Saya udah sampe di taman, Anda di mana?” matanya melirik ke sekitar taman mencari Arfan. “Di sini, saya di bangku taman. Lihat ke arah barat, saya lambaikan tangan ke arah kamu,” kata Arfan di balik telepon. Savana membawa pandangannya ke arah barat taman, dan mendapatkan Arfan sudah melambaikan tangan padanya. Ia tersenyum kecil dan memutuskan panggilan, lalu menghampiri pria itu. Arfan duduk seorang diri hanya mengenakan pakaian biasa, kemeja putih garis hitam dan celana bahan. Tak ada jas putih dokternya, hanya datang membawa diri dan sebuah kotak di pangkuannya. “Dok, Anda dari tadi?” tanya Savana begitu tiba di hadapan Arfan. Arfan segera menggeleng. “Tidak juga, saya baru sampai. Silakan duduk, Savana.” Wanita itu segera mendudukan diri di sebelah Arfan, tetap menjaga jarak. “Saya kira saya telat cukup lama, dok. Gak enak kalau sampai membuat dokter menunggu pasiennya terlalu lama, karena kan saya
“Nelpon sama siapa dia tengah malam begini?” gumam Daryan dengan kening mengerut, matanya fokus pada layar iPad yang menampilkan rekaman CCTV di kamar istrinya—Savana tengah menerima panggilan dan tampak merasa lebih tenang setelah menerima panggilan tersebut. “Apa teman kampusnya itu?” gumam Daryan lagi. Ia melipat kedua tangan di dada, lalu meraih ponsel dan mencari kontak Revanza. Tak butuh waktu lama, Revanza langsung menjawab panggilan Daryan. “Ada apa, Dar?” suara di seberang sana terdengar berat dan serak, Daryan tahu temannya itu pasti baru saja menerima nafkah batin dari istrinya. “Kalau sibuk, aku telepon besok lagi, Za,” kata Daryan dengan nada rendah, sudah menurukan ponselnya untuk memutuskan panggilan. Tapi belum sempat, Revanza langsung menjawab cepat. “Nggak, Dar. Aku udah selesai. Kalau penting, ngomong aja.” Daryan menunduk sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan mulai mengatakan maksudnya menghubungi temannya itu. “Aku butuh alat penyadap di kamar istriku,
Suara detak jam dinding menemani ruang praktik malam itu sekitar pukul sembilan malam. Seorang wanita paruh baya duduk di hadapan Arfan, matanya sembab, menyeka air mata dengan tisu yang sejak tadi tak lepas dari genggaman. “Saya gak tahu lagi harus bagaimana, dok. Suami saya sudah tujuh tahun meninggal, anak-anak sibuk dengan keluarga masing-masing. Saya cuma ... ngerasa kosong,” lirih wanita itu, suaranya bergetar. Arfan mengangguk pelan, mencatat sesuatu di notes-nya. “Perasaan itu valid, Bu. Kesepian memang bisa menggerogoti mental, apalagi kalau tidak dibagi dengan siapa pun.” Wanita itu hanya mengangguk. Arfan tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Kita bisa mulai dari rutinitas baru. Hal-hal kecil yang bisa bikin Ibu merasa ‘ada’. Kita atur sesi lanjutan minggu depan, ya?” Saat wanita itu berdiri dan mengucap terima kasih pelan, Arfan membalas dengan ramah. Namun sesaat setelah pintu ruang praktik tertutup kembali, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar dua kal
Daryan masih berdiri mematung di depan lift yang baru saja tertutup, seolah jiwanya ikut terkunci di balik pintu logam itu. Napasnya berat, bahunya turun naik. Sementara itu, Hana perlahan menghampiri, diikuti Ameer yang menatap menantunya dengan rasa bersalah. “Daryan,” panggil Hana pelan, menyentuh lengannya dengan hati-hati. Pria itu menunduk, tak mampu menatap siapa pun. “Savana ... bahkan gak mau lihat saya, Ma. Dia bener-bener marah sama saya.” Hana menggenggam lengan Daryan lebih erat, lalu memaksanya menatapnya. “Dengar, Nak. Savana bukan marah sama kamu. Dia cuma ... belum selesai berduka.” “Tapi saya suaminya. Saya yang seharusnya jadi tempat dia bersandar. Kenapa malah saya yang dia benci?” suara Daryan bergetar, mengandung luka yang dalam. Hana menatap Daryan dengan mata yang basah, tapi tetap tegar. “Karena kamu tempat paling aman buat dia, Daryan. Justru karena kamu yang paling dia percaya, makanya dia berani menunjukkan luka terdalamnya di depan kamu. Itu buka
Mobil Arfan melaju tenang di bawah langit malam yang mulai menghitam. Di dalam kabin, suasana cukup hening, hanya suara mesin mobil dan kendaraan lain. Savana duduk di kursi penumpang samping kemudi, memandang keluar jendela pada gedung-gedung tinggi dengan sorot mata kosong. Arfan meliriknya sejenak sebelum membuka percakapan dengan hati-hati. “Nyonya,” panggilnya pelan, matanya tetap fokus pada jalan raya di hadapannya. Savana menoleh, tapi sebelum Arfan membuka suara—ia lebih dulu memotongnya. “Jangan panggil saya Nyonya, dok. Panggil aja langsung nama saya, Savana.” Arfan tersenyum kecil. “Tapi itu tidak sopan bagi saya, karena Anda kan—“ “Jika saya minta seperti itu, tolong dilakukan ya, dok? Saya gak memberi perintah, saya cuma minta aja.” Ucap Savana tegas. Arfan hanya mengangguk singkat, “Baiklah, Savana. Saya cuma mau tanya, kalau boleh tahu ... bagaimana kondisi Anda sekarang? Maksud saya, secara emosi ... keseharian? Sejak Anda meninggalkan rumah sakit kemarin