Dua belas bulan berlalu sejak kelahiran anak kembar Daryan dan Savana, kini usia si kecil genap satu tahun.
Pagi itu, Savana sibuk menyiapkan sarapan di dapur, aroma bubur buah dan susu hangat memenuhi udara pagi. Di meja makan, Daryan duduk sambil mengamati kedua buah hatinya yang tengah duduk tenang di high chair. "Ayo, Nak, sini makan dulu," Savana muncul membawa dua mangkuk bubur buah, sambil tersenyum pada si kembar yang tampak antusias. Salah satu bayi—Elvano, dengan mata bulat besar, meraih sendok itu dan mencoba memasukkan bubur ke mulutnya sendiri, sementara yang satunya—Elvara tertawa kecil, menatap kakaknya. Daryan ikut membantu, mengambil satu mangkuk bubur dari sang istri. "Mereka cepat juga belajarnya, ya? Kemarin aku dengar Vano bilang 'Pa' dan 'Ma'," katanya sambil tertawa pelan. Savana menatap suaminya dengan mata penuh kehangatan. "Iya, mereka berkembang cepet.“Akhirnya, kita sampai di taman, Sayang,” ucap Savana riang pada kedua bayi kembarnya yang duduk manis di infant car seat. Dengan hati-hati ia melepas seatbelt, lalu turun dari mobil untuk mengangkat si kecil di jok tengah. Daryan yang tadi menyetir sudah lebih dulu turun. Ia berjalan ke arah bagasi, mengeluarkan stroller lipat yang praktis. “Sini, aku yang pasangin, kamu fokus sama anak-anak dulu,” katanya sambil menegakkan stroller di sisi mobil. Savana mengangguk, kemudian bergantian menggendong Elvano dan Elvara sebelum meletakkan mereka ke stroller masing-masing. Begitu keduanya nyaman duduk, masing-masing dari mereka membawa si kembar. Udara sore terasa sejuk ketika mereka mulai melangkah ke dalam taman. Suara kicau burung bercampur dengan riuh tawa anak-anak kecil yang berlarian. Rumput hijau terhampar luas, sementara beberapa keluarga lain terlihat piknik di bawah pohon rindang. “Enak banget
Dua belas bulan berlalu sejak kelahiran anak kembar Daryan dan Savana, kini usia si kecil genap satu tahun. Pagi itu, Savana sibuk menyiapkan sarapan di dapur, aroma bubur buah dan susu hangat memenuhi udara pagi. Di meja makan, Daryan duduk sambil mengamati kedua buah hatinya yang tengah duduk tenang di high chair. "Ayo, Nak, sini makan dulu," Savana muncul membawa dua mangkuk bubur buah, sambil tersenyum pada si kembar yang tampak antusias. Salah satu bayi—Elvano, dengan mata bulat besar, meraih sendok itu dan mencoba memasukkan bubur ke mulutnya sendiri, sementara yang satunya—Elvara tertawa kecil, menatap kakaknya. Daryan ikut membantu, mengambil satu mangkuk bubur dari sang istri. "Mereka cepat juga belajarnya, ya? Kemarin aku dengar Vano bilang 'Pa' dan 'Ma'," katanya sambil tertawa pelan. Savana menatap suaminya dengan mata penuh kehangatan. "Iya, mereka berkembang cepet.
“Mama setiap hari bakal main ke sini. Papa berangkat ke kantor, Mama ikut dan langsung mampir ke sini biar bisa bantuin kamu urus si kembar. Jadi kamu jangan khawatir Mama pulang,” ucap Hana pada putrinya. Savana hanya mengangguk singkat, “Aku gak maksa Mama buat dateng, Mama dateng kalau sempet aja, ya.” Tanganya terulur meraih tangan sang ibu, dan menggenggamnya lembut. “Mama selalu sempet, kecuali kalau tetangga ada acara. Lagian Mama cuma sendirian di rumah, ketimbang nganggur mending main sama si kembar. Mama kan juga pernah janji untuk bantu rawat kembar, harus di tepati dong,” Hana tersenyum kecil, lalu mengusap bahu putrinya. “Mama pulang sekarang, ya. Pelayan yang dari mansion kan ada sepuluh orang, nanti kalau kamu kewalahan bisa minta bantu mereka juga. Kamu juga harus jagain Daryan yang lagi sakit.” “Iya, Ma. Mama hati-hati, ya.” Hana mengangg
Savana sontak menatap suaminya dengan mata membesar. “Apa … maksud kamu?” suaranya bergetar, antara kaget dan tak percaya. Daryan menatap lurus ke arahnya, tatapannya dingin, tak tergoyahkan. “Aku udah pastiin lisensi medisnya dicabut. Dia nggak akan punya kesempatan buat jadi dokter lagi.” Savana terdiam. Ada bagian dari dirinya yang merasa lega karena ancaman itu sudah diatasi, tapi ada juga rasa ngeri melihat sisi dingin Daryan yang begitu kejam ketika menyangkut keluarganya. “Mas, kamu …,” Savana berbisik pelan, jemarinya meremas ujung baju tidurnya. “Kamu bener-bener tega.” “Tega?” Daryan menyeringai tipis, tapi tanpa kehangatan. “Aku akan jauh lebih tega kalau ada yang berani nyentuh anak-anak kita. Jadi, jangan ragukan lagi.” Savana terdiam, hatinya berdebar tak karuan. Untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa dinginnya suaminya bisa berubah hanya demi melindungi keluarga mereka. _____ Pagi itu, cahaya lembut menembus jendela kamar bayi yang luas dan hangat. Sav
“Kok Papa belum pulang ya, Nak?” Savana melirik ke jam dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, akan tetapi Daryan belum juga pulang dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Ia menggigit bibirnya khawatir, menatap kedua bayi kembarnya yang terlelap di dalam boks bayi yang dia bawa pindah ke kamarnya agar memudahkan untuk menghampirinya saat bangun tengah malam. “Kalian berdua tunggu di sini, ya. Mama mau ke kantor Papa aja malam ini, siapa tahu Papa ketiduran di sana,” bisiknya pelan. Savana kemudian segera bersiap-siap untuk pergi ke kantor malam ini, tanpa izin pada kedua orang tuanya—Hana dan juga Ajeng selaku ibu mertua. Namun, baru saja dia hendak pergi dan membuka pintu kamar—di ambang pintu sang suami sudah tiba dengan raut wajah yang terlihat begitu letih dan mengantuk. “Mas, baru pulang? Kamu ke mana aja?” tanya Savana dengan nada cemas, tangannya cepat bergerak membantu melepaskan jas sang suami. Daryan menatap istrinya yang tampak rapi, “K
Siang itu, Vera dan Mita benar-benar diantarkan kembali ke yayasannya. Sekarang Savana benar-benar tidak lagi menggunakan jasa mereka dan akan full time merawat anak-anaknya sendiri dibantu Hana dan Ajeng. “Savana, apa kamu tahu dokter yang dimaksud Mita tadi?” desak Hana pada putrinya, karena Savana tampak menyembunyikan sesuatu. Savana menatap ibunya dan menggeleng pelan. “Nggak, Ma. Ini aku juga lagi mikir, siapa orang yang dia maksud.” Alibinya, padahal dia tahu jelas kalau itu Arfan. “Ya udah, kalau gitu nanti biar Daryan yang urus dan cari siapa orangnya,” timpal Ajeng yang duduk sudah duduk di sofa dan tak duduk di kursi roda lagi. “Benar Bu Ajeng. Daryan pasti bisa menemukan pelakunya,” sambung Hana ikut duduk di sofa, di hadapan besannya. “Biar aku aja yang kasih tahu Mas Daryan nanti,” ucap Savana. Ia tahu kalau Daryan tahu soal ini dan langsung