“Yeay ... Oma datang, Oma datang,” seru Elvano dan Elvara serempak sambil bertepuk tangan dengan riang begitu melihat kedua nenek dari pihak ayah dan sang ibu datang. Apalagi di tangan kedua neneknya terdapat sebuah belanjaan.
“Seneng banget ya, Nak, ketemu sama Oma dan Nenek?” Savana tersenyum kecil, tangannya terangkat mengusap puncak kepala kedua anaknya dengan lembut. Kedua anak kembar itu mengangguk ceria, lalu satu-satu dari mereka menghamburkan diri ke pelukan kedua neneknya. “Oma sama Nenek bawain kita apa?” tanya Elvano penasaran, tatapannya yang polos tertuju pada kedua neneknya. Begitu pula dengan Elvara yang tak kalah penasaran. “Mana eskrim Vara, Oma?” tagihnya pada Ajeng, membuat wanita paruh baya itu tertawa pelan. “Bawain apa ya Nenek sama Oma?” goda Hana sambil mengeluarkan barang belanjaannya, makanan ringan yang sehat untuk dikonsumsi a“Mas, makasih ya buat semuanya?” Savana mengulum senyum manis, membuat lesung pipinya terlihat jelas. Ia lalu memeluk sang suami, mencium rahang dan pipinya. “Sama-sama, Sayang.” Daryan membalasnya dengan ciuman singkat di bibir. “Aku mau pindahin anak-anak ke kamarnya dulu, kamu bawa Vara, ya?” “Loh, kenapa?” kening Savana mengkerut, “Mereka kan mau tidur di sini.” Ia menatap kedua anaknya yang sudah terlelap di atas ranjang mereka, saling memeluk satu sama lain. Terutama Elvano yang seolah ingin melindungi sang adik. Daryan berdehem pelan, “Kamu ada tugas penting, Sayang. Malam ini rutinitas kita.” “Astaga, Mas!” Savana mendengus pelan. “Masih ada besok.” “Percaya sama aku, anak-anak kalau dibiasain tidur di sini ... nanti kita gak punya privasi.” Tanpa menunggu respon sang istri, Daryan turun dari ranjang dan menggendong putri
“Sayang, sini,” Daryan menarik lengan Savana agar berbaring di sebelahnya di atas ranjang. Savana menurut, menatap sang suami dengan kening mengkerut. “Kenapa, Mas?” “Aku mau tanya sama kamu, gimana soal kuliah kamu,” ucap Daryan dengan nada tenang, lembut dan santai. “Anak-anak udah pada gede, usia tiga tahun bisa lah ditinggal tiga atau empat kali dalam seminggu. Kamu gimana? Mau lanjut kuliah dan kejar cita-cita kamu, atau tetap jadi IRT?” tanyanya panjang kali lebar. Untuk beberapa saat Savana terdiam, ia memikirkan lagi. Umurnya yang sekarang, masa kuliah dan juga hal lainnya. Tapi mengingat dokter adalah cita-citanya, dia ragu untuk menolak, tapi kalau dia setuju dan berhasil meraih gelar itu—apakah dia akan menjadi dokter atau pada akhirnya tetap jadi ibu rumah tangga? Daryan kembali menambahkan, “Aku gak akan halangi keinginan kamu. Aku juga gak m
Daryan dan Savana duduk di bangku kayu yang menghadap ke area playground di salah satu pusat perbelanjaan. Suasana mall yang ramai dengan tawa anak-anak dan suara orang tua yang mengawasi anaknya membuat suasana hangat terasa menyelimuti. Elvano dan Elvara, si kembar kakak beradik itu, tengah asyik bermain perosotan dan ayunan bersama anak-anak lain, terkadang saling berkejaran kecil tanpa sengaja membuat hati Daryan dan Savana sedikit was-was. "Kadang aku masih gak nyangka, kita punya mereka berdua sekaligus," kata Savana sambil tersenyum tipis, matanya tak lepas dari gerak-gerik Elvano yang mencoba meraih mainan baru. Daryan mengangguk, meletakkan tangan di pangkuan Savana, "Iya, dua bocah kecil yang kadang bikin kita pusing, tapi juga jadi alasan kita kuat." Savana menarik napas panjang, "Jujur, aku bersyukur banget punya kalian bertiga. Rasanya hidup aku ja
Pagi hari itu ketika akhir pekan, sinar matahari menerobos masuk lewat sela tirai tipis kamar utama kediaman Daryan dan Savana. Di balik pintu yang sedikit terbuka, suara langkah kaki kecil berlari sambil tertawa terdengar mendekat. “Papa ...!” seru suara nyaring khas anak kecil, disusul tawa ceria yang menggema di lorong lantai dua. Daryan yang sedang duduk bersandar di ranjang dengan laptop di pangkuannya segera mendongak. Atas tubuhnya telanjang, hanya celana tidur longgar membalut pinggangnya. Wajahnya masih segar, meski ada sisa kantuk dan dokumen-dokumen belum selesai di layar laptopnya. “Jangan lari, Nak. Nanti jatoh,” ucap Daryan penuh perhatian, suaranya rendah namun hangat. Tapi tentu saja, si kecil Elvara tak menggubris. Dengan langkah antusias, bocah berusia tiga tahun itu memanjat ranjang dan tanpa aba-aba langsung menutup layar laptop ayahnya.
Pagi itu di rumah Radja, sarapan bersama seperti biasa yang hanya terdiri dari tiga orang. Yakin Radja sendiri dan kedua orang tuanya, Dewa dan Stella. Di sela-sela makan, Dewa membuka percakapan dengan tegas dan berbunyi perintah. “Mulai hari ini, jangan ada yang menjenguk Bella ke penjara,” katanya pada istri dan anaknya, membuat kedua orang itu mengerutkan kening. Perihalnya, sebelum ini Dewa selalu mewanti mereka untuk menjenguk sang adik sebagai satu-satunya keluarga. Tapi kenapa dengan Dewa hari ini yang tiba-tiba melarang? Itu menjadi tanda tanya bagi mereka berdua. “Kenapa, Mas? Tumben kamu melarang kami untuk jenguk adik kamu?” Stella bertanya penasaran, suaranya sinis. “Lakukan saja, supaya dia tahu kalau kesalahannya sama sekali tidak bisa di toleransi. Supaya dia tahu, kalau keluarganya juga ti
“Akhirnya, udah lega masalahnya terselesaikan,” Savana merangkul satu lengan kekar sang suami yang tengah fokus mengemudi, lalu menyandarkan kepalanya di sana. “Aku gak tahu loh, Mas, kalau kamu siapin surat itu,” ia menatap sang suami yang hanya meliriknya sekilas sambil mengulas senyum kecil. “Kamu hebat, sampai kepikiran ke sana.” “Hm,” sahut Daryan singkat. “Mas ....” Savana menarik diri, menatap serius ke arah Daryan. “Iya, Sayang?” balas Daryan tanpa menoleh. “Kamu kenapa?” tanya Savana penasaran, “Dari tadi kamu diem aja, terus jawaban kamu singkat terus. Gak kayak biasanya, aku jadi ngerasa aneh.” Daryan menatapnya sejenak sebelum kembali fokus mengemudi, menatap jalan raya yang lengang siang itu. “Kamu mau aku jawab apa? Pertanyaan kamu singkat, jadi jawabannya singkat biar balance,” ujar Daryan