LOGIN“Savana kuliah lagi,” celetuk Rinka pada Radja ketika mereka berdua makan malam bersama di kantin rumah sakit.
Rinka terlihat tenang sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, sementara Radja menatap wanita itu serius dengan raut wajah tak terbaca. “Lo serius?” tanya Radja memastikan. “Iya, lah. Siang tadi sebelum berangkat ke kampus, dan aku belum berangkat ke sini ... kita ketemuan di cafe. Savana bilang kalau dia lanjut kuliah, di urus semua sama suaminya.” Penjelasan panjang lebar Rinka didengar baik oleh Radja, tapi ketika kata suami keluar dari pembahasan itu membuat Radja kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Dia pasti capek banget, Dja. Susulan, remedial, terus jadi istri sekaligus ibu dan mahasiswi. Hebat banget, kan?” lanjut Rinka antusias. Tentu saja Radja mengakui itu, maka dari itu dia pernah menyukai Savana yang sangat pekerja keras dan baik hati. Selain itu, visualnyaPagi itu, Elvara terbangun tanpa Darell di sisinya. Tanpa sosok yang akhir-akhir ini memeluknya, membelainya, di setiap menit dan detik. Padahal, mereka tiba di Maldives kemarin, jam satu siang. Dan semalam, entah pastinya pukul berapa. Darell meninggalkannya lagi. “Gimana cara pesen sarapan ke kamar?” Gumam Elvara, melirik telepon wireless di atas nakas. Wanita itu merubah posisinya menjadi duduk, satu tangannya terulur hendak meraih telepon tersebut. Tapi belum sempat, kamarnya diketuk pelan dari luar. Kepalanya menoleh ke arah pintu, dahinya mengernyit bingung. “Siapa pagi-pagi begini?” Ia bergumam pelan, sembari turun dari ranjang. Tapi sebelum membuka pintu, ia meraih cermin untuk melihat kondisi wajahnya yang sembab karena menangis semalam, sebelum tidur. Setelahnya, Elvara berjalan ke arah pintu. Tak peduli kondisi wajahnya saat ini, ia penasaran denga
Rahang Darell mengeras, genggaman tangannya di ponsel makin kuat hingga buku jarinya memutih. “Kamu pikir ini permainan?” “Bukan permainan,” sahut Sagara santai. “Ini pembalasan. Karena dulu, wanita itu juga menghancurkan hidup seseorang—dan sekarang, aku hanya memastikan kamu ikut merasakan rasanya dihancurkan.” Darell terdiam, dadanya sesak menahan ledakan emosi yang hampir meledak di ujung suaranya. “Kalau kamu berani sentuh ibuku lagi,” ucap Darell rendah namun tajam seperti pisau. “Aku tidak akan cuma diam. Aku akan datangi kamu, dan semua ini bakal jadi akhir buat kamu.” Sagara hanya tertawa ringan. “Kamu gak akan sempat, Rell. Karena sebelum kamu datang, ibumu mungkin sudah kehilangan segalanya sekali lagi.” “Ah ... aku hampir lupa,” suara Sagara terdengar menjengkelkan di telinga Darell. “Schedule ibumu malam ini, pukul dua belas malam di Maldives—yak
Davina menari dengan gerakan yang lentur, meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Senyum manis terulas di wajah cantiknya, namun terlihat seperti terpaksa. Jika dilihat lebih teliti lagi, wajah wanita itu tampak tertekan—namun dia tetap dipaksa untuk menampilkan tarian terbaiknya di depan para turis yang datang. Darell mengepalkan tangannya di atas meja, rahangnya mengeras—dan sorot matanya yang tajam, tak lepas dari sang ibu yang masih menari di atas panggung. Elvara mengalihkan pandangannya pada sang suami, di mana tatapan Darell tertuju pada wanita cantik di atas panggung yang menari untuk menjadi pengiring penyanyi. “Say—“ Elvara belum sempat memanggil sang suami, ketika Darell tiba-tiba saja berdiri dari duduknya—hingga membuat kursi itu berdecit pelan. Drit! Tatapan Darell langsung tertuju pada sang istri. “Kita kembali ke penginapan sekarang,” ajaknya
“Rebut kak Darell dari Elvara?” Amel berdiam diri di kamarnya sambil menatap refleksinya di cermin meja rias. Usai dari ruang kerja Sagara, jantungnya berdegup sangat cepat saat mendengar kerjaan tambahan yang diberikan pria itu padanya. Gadis itu menggigit bibirnya pelan. Ia tak pernah berfikir sejauh itu. Tapi entah kenapa, dia seolah tak mempermasalahkan perintah Sagara. “Kita lihat aja nanti,” gumamnya pelan, sembari meraih sisir di laci meja rias. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya mulai menyusun rencana pekerjaan yang baru saja dia dapatkan dari Sagara. _____ Di negara lain, Darell dan Elvara tengah menikmati makan malamnya berdua di kamar. Lebih tepatnya di balkon kamar, yang langsung memberikan pemandangan laut biru di malam hari. “Makanannya enak banget, sayang,” puji Elvara dengan mulut penuh makan
“Sakit banget, sayang ....” rengek Elvara pada sang suami yang tengah mengancingkan pakaiannya, sementara Darell sendiri hanya mengenakan handuk yang dililit di pinggang. Pria itu tersenyum kecil, matanya fokus pada gerakan tangannya yang mengancingkan pakaian Elvara. “Maaf, ya? Kalau saya masuknya tadi terlalu keras.” Bibir Elvara mencebik gemas. “Aku gak nyangka bakal sesakit ini, tahu!” Darell akhirnya selesai, lalu duduk di tepi ranjang dan memandang lamat sang istri. “Pertama kali memang begitu, karena masih sangat sempit. Lama-lama gak akan, malah nyaman.” “Nyaman apa?” mata Elvara melotot tajam, membuat sang suami terkekeh pelan. “Kecanduan jadinya,” balas Darell santai, hingga membuat kedua buah pipi sang istri merah merona seperti kepiting rebus. “Kalau masih sakit, berarti kita dinnernya di kamar aja, ya?” Elvara mengangguk cepat. “Soalnya aku gak k
“Apa, Mas?!” Savana berseru kaget, ketika sang suami menginfokan kalau ibu kandung Darell telah dipindahkan tempat persembunyian oleh Sagara. “Darell tahu?” Savana bertanya, menatap sang suami yang duduk di sebelahnya dengan serius. Saat itu, mereka berdua makan malam bersama. Hanya berdua, karena Darell dan Elvara pergi honeymoon ke Maldives. “Tentu saja Darell tidak tahu,” kata Daryan dengan suara tenang. “Aku tidak mau dia kepikiran, dan rencana liburannya jadi ditunda.” “Bener juga sih, Mas.” Savana menunduk sejenak, menatap makanan yang sudah berkurang sedikit. “Kasihan banget, ya? Aku malah jadi bayangin posisi Darell jadi posisi Elvano.” Daryan seketika melayangkan tatapan dingin pada sang istri. “Selama ada aku, kamu gak akan ngerasain hal kayak gitu, sayang.” “Iya, Mas. Aku percaya.” Savana menyahutnya dengan senyuman kecil, lalu kembali fokus. “Tapi







