Pukul setengah dua siang, Savana turun dari ojek online yang membawanya ke depan lobi rumah sakit. Dengan napas tergesa, ia langsung berjalan cepat masuk ke dalam gedung hingga langkahnya menimbulkan suara kencang di lantai marmer. Tangannya menggenggam ponsel, wajahnya terlihat lelah tapi juga tampak tak sabaran ingin menemui ibunya saat menekan tombol lift menuju lantai ruang ICU. Setibanya di sana, Savana bergegas menuju ruang tempat ibunya dirawat semalam. Namun, saat ia tiba di sana, ruangan itu sudah kosong. Tak ada siapa pun di dalamnya. Savana refleks menahan napas. “Mama...?” Bisiknya. Ia langsung menghampiri perawat jaga di pos dekat sana. “Permisi ... pasien atas nama Hana Wirajaya, tadi dirawat di ICU ....” Ujarnya cepat. “Oh, Ibu Hana sudah dipindah ke ruang rawat inap sekitar setengah jam yang lalu,” jawab perawat dengan ramah, “Kamar VIP nomor 312, di lantai tiga.” Savana langsung mengangguk dan berterima kasih sebelum kembali berlari kecil menuju lift. Seti
Lorong rumah sakit terasa sunyi. Daryan masih duduk di depan ruang ICU, matanya terus melirik jam tangan. Sudah lebih dari dua puluh menit sejak Savana menghilang, tapi gadis itu belum juga kembali. Wajahnya mulai menegang. Ia akhirnya bangkit dan berjalan cepat ke arah toilet perempuan di ujung lorong. Beberapa suster yang lewat menunduk memberi salam, tapi Daryan tak menanggapi. Begitu tiba, ia menunggu di depan pintu. Saat seorang pengunjung keluar, Daryan langsung menyapa. "Permisi, di dalam masih ada orang?" Perempuan itu menggeleng, "Kosong, Tuan." Daryan mengerutkan dahi. Ia lalu mencoba menelepon Savana. Suara telepon berdering beberapa kali lalu berhenti. Nomor tidak aktif. Daryan menurunkan ponselnya dari telinga, wajahnya semakin tegang. Ia mencoba lagi, dua kali. Hasilnya sama. Nomor Savana tetap tidak aktif. Tanpa banyak kata, ia segera berbalik dan mulai menyisir area rumah sakit. Satu per satu dicek. Ruang tunggu, lorong kanan, bahkan taman belakang rumah sak
Mobil sedan Daryan akhirnya tiba di lobi rumah sakit. Savana buru-buru membuka pintu dan lekas turun tanpa menoleh pada Daryan. Pria itu hanya menatap punggung istrinya yang berlalu cepat masuk ke gedung rumah sakit. Ia kemudian kembali menjalankan mobil dan membawanya menuju basement. Langkah kaki Savana melambat saat memasuki lantai dua rumah sakit. Matanya langsung tertuju pada ruang ICU tempat ibunya dirawat. Savana bergegas mendekati ruangan ICU. Ketika sampai di depannya, ia terkejut melihat jaket Radja yang semalam dia tinggalkan ternyata masih di kursi tunggu. Savana buru-buru meraihnya, melipatnya, dan memasukkannya ke dalam tasnya. Ia kemudian duduk tenang di kursi tunggu. Tak lama kemudian, Daryan datang menghampirinya. Wajah lelaki itu datar seolah dia tak habis melakukan pertengkaran dengan Savana. Savana tak mengacuhkan Daryan. Ia menundukkan kepala. Sementara itu, Daryan melirik Savana sebelum atensinya beralih ke seorang pria dengan jas dokter yang keluar dari ru
Savana menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan luka yang mencuat tiba-tiba di dadanya. Sementara itu, Daryan, yang juga mendengar bisikan Ajeng mendadak menghentikan pergerakannya yang baru membalik piring. Tangannya menggenggam piring putih porselen itu sedikit lebih erat. “Ma, jaga ucapan,” ucap Daryan tajam. Ajeng tersenyum sinis sambil menyibak napkin di hadapannya dengan anggun, “Mama cuma nyebut fakta kalau dia memang parasit di hidup kamu. Memangnya bisa apa dia selain menyusahkan?” Savana menundukkan kepalanya lebih dalam, berusaha menahan diri agar tidak terpancing. “Dia istri aku.” Kata Daryan, kali ini lebih tajam, namun tetap tenang. Ajeng tertawa sinis, “Oh, jadi sekarang kamu bangga-banggain istri kontrakmu itu? Bagus. Memang kamu selalu unik dalam memilih drama hidup, Daryan.” Savana mengepalkan tangannya di atas pangkuannya. Ia menggigit bibirnya keras. Tapi Daryan tetap tak terprovokasi, ia justru meletakkan piringnya kembali dan menoleh langsung pada ibuny
Udara hangat dari kamar mandi menguar saat Savana melangkah keluar. Tubuhnya dibalut bathrobe putih yang masih menempelkan tetesan air di kulitnya. Rambutnya basah, sebagian menempel di bahu. Matanya langsung tertuju ke ranjang. Daryan sudah berbaring di sana. Tangannya terlipat di belakang kepala, matanya tertutup seperti sedang beristirahat. Tapi Savana tahu, dia tidak benar-benar tidur. Dengan gerakan hati-hati, ia mendekat dan berdiri di sebelah ranjang. “Mas ga mandi?” Tanya Savana, matanya menatap lurus wajah suaminya. Daryan membuka satu matanya, memandangnya perlahan dari ujung kaki hingga wajahnya yang masih merah karena uap air. “Mandi.” Jawabnya singkat. Daryan bangkit dari ranjang. Ia melangkah pelan melewati sang istri lalu berhenti di depan pintu kamar mandi. “Semua pakaian kamu yang di penthouse sudah dipindahkan ke wardrobe,” ucapnya datar tanpa menoleh, “Pakai saja yang nyaman.” Setelah itu, Daryan masuk ke kamar mandi, menutup pintu perlahan. Suara aliran air
Mobil hitam mewah itu berhenti tepat di depan pintu utama mansion Ardhanata yang megah. Savana menatap sekeliling dengan bingung, jantungnya berdegup kencang. Dia baru sadar kalau dirinya bukan pulang ke penthouse, melainkan ke mansion suaminya di mana Ajeng juga tinggal di dalamnya. "Mas, kita salah alamat," ujarnya cepat, suaranya setengah memohon. Tapi Daryan hanya membuka pintu mobil dengan tenang, "Tidak salah. Mulai malam ini, kita tinggal di sini." Savana mengerutkan kening, "Aku ga mau. Kenapa ga ngomong dulu?" Daryan memandangnya, matanya tajam tapi tetap tenang. "Ini keputusan terbaik untuk sekarang." Savana menghela napas, rasa kesal dan kecewa menguasainya. Tapi yang lebih mengganggunya adalah bayangan wajah Ajeng, wanita yang selalu membuatnya merasa hina. Dia takut bertemu lagi, takut harus berhadapan dengan tatapan sinis atau kata-kata pedas mertuanya. Daryan, yang sudah terlalu paham dengan setiap perubahan ekspresi Savana tanpa ia sadari, melangkah mendekat.